Origami Hati
Alun-alun kota, 9.15 a.m
Sejak mengajakku makan hingga sekarang, pemuda ini tidak berhenti menatapku dengan cara yang berbeda. Aku sangat paham. Dia pasti heran melihat sikapku yang terkesan kasar.
Oh, jangan salah seorang koleris akut bisa sangat mengerikan. Meskipun aku juga memiliki sisi melankolis. Memang tidak banyak yang tahu tentang ini. Terakhir kali aku membuat Saras shock karena ulah ku terhadap mantan pacarnya yang gila.
Ku pikir aku tidak akan menggunakannya lagi. Ternyata masih ada satu lagi manusia setengah waras. Yang harus ku hadapi. Ayolah, seharusnya dia memahami situasi. Penyesalan memang datang belakangan. Dan sebaiknya sebelum memutuskan sesuatu, pahami dulu konsekuensinya. Kira-kira akan sanggup menghadapi atau tidak. Merugikan atau tidak.
Dia sendiri yang memilih untuk membuat hubungannya berakhir. Lalu mengapa sekarang harus mengganggu ketenangan orang lain.
Ck! Sekarang mood ku jadi rusak karena ini.
"Mau pulang sekarang?"
Entahlah. Rasanya aku tidak bisa memutuskan.
"Baiklah, tunggu di sini. Aku segera kembali."
Aku tidak menanggapi, hingga pemuda itu menghilang dari pandangan. Entah apa yang ingin dia lakukan. Semoga ponselnya tidak berdering lagi.
"Permisi Kak, boleh minta tolong nggak?" Seorang anak lelaki menghampiri ku. Sesaat aku terkesima. Mengapa wajahnya mirip pak guru? Tapi versi sachet. Hihihi. Gemuruh di dadaku mulai menghilang.
"Boleh. Tolong apa?" Aku bangkit berdiri. Lalu anak itu menarik lenganku, dengan tangan mungilnya. Mendadak perasaan ku menjadi hangat. Suasana hati ku tidak lagi berisik.
Kami berhenti tepat di depan pohon janda merana yang menjulang setinggi harapan.
"Layang-layang ku tersangkut. Kakak bisa mengambilkannya?"
Waduh, tinggi juga ya. Sepertinya anak ini salah sasaran. Tapi aku juga tidak tega mengecewakannya. Sayangnya tidak ada orang lain lagi di sini.
Aku melihat sekitar, dan ku temukan sebuah ranting yang ku rasa bisa digunakan.
Ternyata tidak cukup panjang untuk meraihnya. Aku berjinjit untuk menjulurkannya. Hampir sampai, sedikit lagi. Tapi tiba-tiba aku merasa kakiku tercengklak. Astaga ... sakit sekali. Aku kehilangan keseimbangan. Dan tidak cukup mampu untuk mengambil tindakan. Selain pasrah dan membiarkan tubuh ku membentur tanah.
Tapi, kok terasa lentur ya. Aku belum pernah merasakan tekstur seperti ini.
"Ekhem!"