Story Between Us

nurriyah zahed
Chapter #39

Pamit

Pamit

Banyuwangi, Juni 2011

Aku mendapatkan sebuah undangan makan malam dari seseorang. Tadinya aku ingin menolak. Bukan apa-apa, aku hanya sedang malas untuk keluar rumah. Tapi ini sangat penting, katanya. Pakai acara bilang belum tentu nanti ketemu lagi. Percayalah, aku trauma dengan kalimat sejenis ini.

Karena ini bukan acara formal, aku hanya memakai setelan kasual. Dan gaya rambut andalan ku. Setelah itu aku meminta Bang Raka untuk mengantar ke alamat yang di kirim.

Meskipun aku harus diinterogasi sebelum dia menyetujuinya.

"Masih jauh ya Bang?" Sudah hampir lima belas menit, dan kami belum sampai. Tiba-tiba mobil Abang menepi. "Coba lihat alamatnya."

Kuberikan ponsel milikku. Lalu dia mulai meneliti. Sesekali mengamati sebuah bangunan dua lantai di seberang jalan.

"Yang itu kan?" tunjuknya. Aku pun ikut memastikan. Dan semakin yakin saat tidak sengaja melihat pemuda yang baru saja keluar.

"Iya Bang, itu rumahnya."

Setelah mengantar ku, Bang Raka izin pulang.

"Ayo masuk Zoy!"

Aku mengikuti langkahnya, memasuki hunian yang didominasi warna putih. Kedua mata ku tidak berhenti dibuat takjub dengan konsep bangunan ini. Hingga harus terhenti ketika si nyonya rumah menyambut ku.

"Selamat datang cantik! Akhirnya kita ketemu lagi," sapaan ramah dan hangat ditujukan untuk ku.

"Terima kasih Tante. Senang bisa bertemu Tante lagi. Apa kabar Tante?"

"Sangat baik. Tante sudah siapkan sesuatu buat kamu. Reno bilang kamu suka semur daging."

Aku langsung melihat ke arah pemuda itu. Yang juga sedang menatap ku.

Dia bahkan bisa tahu makanan kesukaan ku.

Dia memang mengenal ku dengan baik sepertinya.

***

Ritual makan malam usai sepuluh menit lalu. Tante Tita sempat mengobrol beberapa hal dengan ku. Lalu beliau harus kembali ke ruangannya. Katanya ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Kini tinggal aku dan Reno yang sedang duduk di teras belakang.

Disuguhi pemandangan yang cantik.

"Oh iya Ren. Sebenarnya ada hal penting apa?"

"Tunggu sebentar ya!" pemuda itu beranjak.

Tiba-tiba aku teringat akan pengakuannya hari itu. Aku merasa bersalah karena tidak pernah menyadarinya. Tapi sejujurnya, hingga saat ini hatiku masih tertuju pada sosok nun jauh di sana.

Move on? Tentu aku berusaha untuk itu. Tapi jika harus melupakan kenangannya, itu mustahil. Karena sejauh ini ingatan ku baik-baik saja. Ya ... aku memang pelupa, tapi terhadap hal-hal yang sifatnya tidak terlalu penting bagiku.

Tapi anehnya, aku justru merasa lebih baik saat berkunjung ke rumah Om Roy. Memang aku langsung mengingatnya. Tapi tanpa drama. Intinya tidak ada adegan termehek-mehek gitu loh.

"Maaf Zoy, nunggu lama ya." Dia kembali, dengan mengusung sebuah box berwarna coklat.

"Enggak kok. Kamu mau pindahan apa gimana sih?" serius. Kotaknya besar dan isinya penuh. Dia terlihat seperti akan hijrah.

Lihat selengkapnya