Ketika tiba sudah di penghujung jadwal ujian akhir semester, Ayu dengan senyum secerah matahari mengajak Farah untuk berbicara banyak hal. Setelah suntuk dengan ujian yang meneror beberapa hari ini, kini Ayu sempurna sudah tertawa lepas.
"Lucu tau Fa, Karenina sampe gondok sendiri karena tingkah si Rio itu. Gue aja hampir kelepasan ketawa di sana." Ini Ayu yang sibuk bercerita terkait apa yang terjadi saat mereka ujian.
Sedangkan Farah hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Ia lalu teringat akan memberi Ayu sebuah kabar yang mengejutkan.
"Eh tau nggak Ayu. Gue keterima magang di rumah sakit coii!!"
"Hahh?? Yang bener lo Fa? Seneng banget dengernya, congrats yak!" Kedua sejoli itu saling beteriak kegirangan di tengah-tengah taman fakultas.
Setelah menyadari sedikit atmosfer yang salah tempat, mereka berdua kompak tertawa sejenak.
"Gue senang banget bisa diterima, apalagi di tempat yang familiar bagi gue. Jadi nggak susah bolak balik deh gue." Farah dengan muka cerahnya, berkata dengan begitu lega.
"Emang ngapain lo mesti bolak balik Fa?" Pertanyaan itu seketika membuat Farah tersadar, ia dengan cepat mencari alasan.
"Ehh, maksud gue itu...ee. Sebenernya itu rumah sakit yang sering dikunjungi Tante Kiara juga. Jadi kalau ada apa-apa nggak susah ke rumah sakit lain juga kan, gitu lohh Ayu."
"Ohh gue pikir apaan. Bisa aja lo," ucap Ayu menabok gemas sahabatnya. Hampir saja Ayu berpikir sahabatnya mengalami sakit kronis sehingga harus sering bolak balik rumah sakit, ternyata hanya karena sudah sering ke sana.
Sedangkan Ayu lega dengan pemikirannya, Farah sudah menahan mati-matian mukanya agar tak terlihat mencurigakan. Farah hanya nyengir dan sekali-kali tertawa dengan candaan yang dilontarkan Ayu.
Terkait kesehatan mental Farah, sebenarnya hanya diketahui oleh Tante Kiara seorang. Meski setelah bertemu kembali dengan Ayu, Farah mampu sedikit membuka dirinya. Sejujurnya ia tak pernah benar-benar membicarakan terkait bagaimana kondisi dirinya pada sahabatnya itu.
Hal ini bukan lagi mempermasalahkan terkait kepercayaan, ini memang hanya tentang keputusan seorang Farah mengenai hidupnya.
"Faa, lo mau nggak kalau semisalnya kita pergi liburan semester ini?" Ayu sudah banting setir topik setelah mereka berdua sedikit kehilangan minat bercanda.
"Boleh banget, mau ke mana?" Farah mengangguk dengan antusias.
"Ehm, tapi bareng sama...Ali? Lo tetap mau nggak?" Sedari tadi, sejak mereka bertemu setelah mengerjakan ujian terakhir mereka. Ayu sudah memikirkan jauh hari bagaimana ide ini akan ia sampaikan pada Farah.
Ia pun tak tau mengapa ia malah mendukung rencana gila Ali, namun Ayu hanya merasa mungkin ini yang terbaik untuk sahabatnya. Keengganan Farah untuk membicarakan tentang masa lalu membuat Ayu khawatir, Farah begitu membenci apa yang terjadi padanya. Hingga Ayu tak bisa berbuat banyak, ia berharap rencana ini sedikit memberikan sahabatnya ruang untuk mulai menerima.
Karena sejatinya membenci tak akan menghasilkan apapun. Justru menerima dengan hati lapang dan berdamai adalah jalan untuk kita sebagai manusia kembali hidup meski dengan memori kelam sekalipun. Kenyang dengan filosofi para dosen dan buku bacaan yang berbau kesehatan mental manusia, membuat Ayu benar-benar berubah dalam menyikapi setiap sikap manusia di sekitarnya.
Cukup lama Farah berdiam diri dengan pertanyaan Ayu yang masih menggantung. Meski Ayu sudah bersiap dengan penolakan Farah yang kejam tentang semua ini. Tapi dia tetap harus berusaha, bukan?
"Gue jamin dia nggak nanya macam-macam sama lo kok Fa. Apalagi nostalgia masa lalu, nggak akan. Percaya sama gue," lirih Ayu sedikit putus asa. Ia menatap Farah yang masih saja diam.