Pagi ini, Farah masih dengan muka bantalnya mengedarkan pandangan memperhatikan rumah yang sepi. Ia kemudian berjalan menuju taman belakang yang memperlihatkan Tante Kiara sedang sibuk menata tanamannya.
Farah berhenti tepat di depan pintu besi yang menghubungkan taman dengan dapur. Ia memandangi lama punggung Tante Kiara. Ada banyak hal yang ingin Farah sampaikan pada Tante Kiara, terutama tentang keputusannya mengenai tes DNA. Namun pikirannya malah kembali mengingat pertemuannya kemarin.
Sejujurnya, bagi Farah cukup dengan menunjukkan seluruh bukti dan cerita yang sangat masuk akal mengingat dengan kebenaran yang juga dilontarkan oleh keluarganya dulu. Ia tau bahwa pria di depannya ini memang Papanya, namun ia bahkan tak punya kekuatan untuk mengakui bahwa ia membenarkan semua itu.
Bibirnya malah berkhianat dan menegaskan keadaan.
"Aku minta tes DNA untuk membuktikan semua hal yang kalian katakan. Setelah hasil tes itu keluar, aku akan menemui kalian lagi." Setelah mengatakan sepotong kalimat itu, Farah berlalu pergi.
Selagi ia memiliki kekuatan untuk melangkah, dengan cepat ia memutus harapan di kepalanya untuk setidaknya memeluk Papanya terlebih dahulu.
Selama perjalanan menuju rumah, pikiran Farah sudah telanjur kusut. Farah sebenarnya sangat senang, karena pada akhirnya ia juga memiliki apa yang orang lain sebut sebagai keluarga. Keluarganya sendiri, bukan keluarga orang lain. Tapi di sisi lain dirinya selalu meragukan semua hal. Terlalu lama berkubang dalam kekecewaan, malah membuatnya tak tau membedakan mana yang benar mana yang salah.
Entah siapa yang bisa disalahkan dalam keadaan ini. Yang jelas sekarang, Farah harus siap dengan konsekuensi tindakannya. Tes DNA nanti akan membuktikan banyak hal. Dan Farah pun harus bisa memutuskan banyak hal setelahnya.
"Fa? Ngapain di situ? Sini dehh, Tante mau nunjukin sesuatu," ucap Tante Kiara begitu girang. Farah yang baru tersadar langsung melangkahkan kakinya menuju Tante Kiara yang sibuk tersenyum senang memperhatikan sesuatu.
"Ada apa sih Tan?" tanya Farah sesampainya.
"Ini lohh. Tadaaa." Dihadapan mereka, terdapat beberapa pot berjejer di rak susun khusus bunga kesayangan Tante Kiara.
Namun di rak bagian teratas, hanya diisi oleh satu jenis bunga yang sama. Dahi Farah mengernyit bingung.
"Bunga kamboja?" tanya Farah, memastikan.
Tante Kiara mengangguk samar, ia kembali memperhatikan lekat bunga-bunga itu seolah mengundang memori menyenangkan untuknya.
"Tapi Tante lebih senang menamai bunga ini frangipani."
Muka Farah berkerut menanyakan maksud Tantenya, memang bisa seperti itu ya ganti nama?
"Dari sekian banyak nama bunga ini, Tante memilih memakai nama frangipani. Kamu tau kenapa?" Farah menggeleng bingung.
"Karena kita sebagai manusia memang berhak memilih mendefinisikan sesuatu sesuai dengan apa yang kita yakini Fa. Jangan terlalu takut melangkah hanya karena kita berbeda dengan orang-orang. Justru meyakinkan diri kita sendiri itu jauh lebih susah ketimbang meyakinkan orang lain."