Story In Dream 2

Rain
Chapter #55

54. Deeptalk

Sebenarnya apa yang terjadi pada Farah hingga ia merasa seterluka itu? Itu juga yang masih menjadi tanda tanya di benak Papa Sakta. Terutama setelah melihat sendiri bagaimana Farah menghadapi kedatangan keluarga lamanya. Permasalahan yang masih dibiarkan hidup di atas permukaan membuat Papa Sakta sebenarnya cemas, namun ia tak bisa berbuat apa-apa dengan semua itu melihat bagaimana kondisi putrinya beberapa hari belakangan.

Sudah dua minggu lewat semenjak pertemuan keluarga itu, bahkan Farah tak pernah keluar kamar lagi. Sekali-kali saat jadwal konsultasinya Papa Sakta harus sedikit memaksanya pula untuk membawanya, magangnya pun sempat terabaikan yang beruntungnya dapat dimengerti oleh dokter pembimbingnya. Kuliah terbengkalai sampai dua pertemuan setiap mata kuliahnya, Papa Sakta semakin khawatir melihat hal itu. Maka dari itu, akhirnya Papa Sakta mulai berjalan dan mengetuk pelan pintu kamar Farah.

Tak ada sahutan sama sekali, Papa Sakta langsung memasuki kamar putrinya yang sedikit remang. Gorden tak dibuka, kasur berantakan, Farah yang duduk di karpet bawahnya. Papa Sakta ikut duduk di sebelahnya yang membuat gadis itu menoleh menatap Papanya. Kantung mata menghitam, bibir pucat dan kering, tatapan mata lesu. Inilah yang ditakutkan Papa Sakta, semuanya terjadi persis seperti apa yang pernah dikatakan oleh Tante Kiara dulu. Farah kehilangan semangat hidupnya. Dan itu bukan hal yang dengan mudah dibangkitkan kembali kecuali karena diri individu itu sendiri.

"Papa boleh nanya nggak Fa?" Pertanyaan yang entah akan direspon oleh Farah atau tidak, yang jelas beliau sedang mencoba.

Farah menatap Papanya bertanya. Di luar dugaan Farah dengan cepat merespon perkataannya.

"Kamu tau, kadang kita memang ada kalanya nggak semangat akan segala hal. Papa dulu juga pernah, waktu Papa tau kalau kami nggak bisa bersama selayaknya pasangan yang saling mencintai lainnya. Tapi pada akhirnya, kita akan menemukan kebahagiaan itu. Kalau kita mau menerima dan mengakuinya Fa." Tangan Papa Sakta membelai rambut anaknya yang kering dan tak terawat.

"Jadi, kalau memang kamu nggak mau melakukan itu sekarang. Nggak apa-apa, Papa akan menemani kamu sampai kamu bisa melakukannya." Papa Sakta beralih memeluk anaknya yang kini malah mengeluarkan bulir-bulir air mata.

Farah akhirnya menangis di pelukan Papanya,

"Mereka...mereka mengacuhkan aku Pa...nggak pernah...anggap aku ada...bahkan untuk mengapresiasi hal yang aku capai nggak pernah...."

Sepotong kalimat yang terputus-putus itulah yang mengawali percakapan paling panjang Ayah-anak itu.

"Sebenarnya dulu, dia dalam banyak hal mengacuhkan aku. Entah aku yang merasa terlalu sensitif, tapi...tapi aku hanya berusaha membuat beliau melihat aku juga. Aku sering dibandingkan yang membuat aku semakin merasa nggak berharga." Farah berhenti untuk sedikit terkekeh, menertawakan hal yang entah patut ditertawakan atau tidak.

Lihat selengkapnya