Rayfan melamun sendirian di balkon lantai 2 memikirkan semuanya. Rifa menghampirinya yang larut dalam pikirannya sendiri.
"Kakak ngapain sih? Mikirin Kak Fafa ya..." Rifa menggoda Kakaknya yang malah menampilkan wajah serius.
"Fa, kamu bisa nggak hibur Farah?" Rifa menaikkan alisnya, agak terkejut dengan pertanyaan Kakaknya. Rifa menggeleng dan ikut berdiri menghadap langit malam.
"Justru kalau lagi sedih tuh, nggak perlu dihibur Kak. Kak Fafa itu cuma butuh ada seseorang, nggak perlu ngomong, nggak perlu ngasih beribu kalimat motivasi biar bangkit. Sayangnya aku bukan orangnya Kak."
Rifa tersenyum, ia menjelaskan sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami oleh Rayfan. Sebaliknya, Rifa sangat paham akan hal itu karena ia sendiri pun pernah mengalami hal ini.
"Maksud kamu apa sih Fa? Kakak nggak ngerti." Rayfan menggeleng gusar. Rifa masih saja tersenyum dengan ketidaktahuan Rayfan itu.
"Kak Fafa cuma butuh waktu Kak, jadi jangan ganggu dia ya...."
"Farah nggak pernah baik-baik aja Fa. Kamu tau itu, setidaknya kita bisa melakukan apa pun itu agar setidaknya perasaannya lebih baik?" bantah Rayfan cepat,
Rifa jelas tau itu, tapi bagi dirinya yang memahami Farah lebih dari Rayfan. Ia mau tak mau harus membiarkan semua ini terjadi.
"Kenapa nggak Kakak aja yang nyoba menghibur dia? Kan kalian dulu dekat juga, sekarang pun masih begitu kan?" tutur Rifa tanpa beban. Jelas Rifa tak tau situasinya.
Rayfan terdiam mendengar itu, tak ada alasan yang bisa ia utarakan di sini.
"Kakak nggak bisa Fa...." Nada suara lemah nan bergetar itu membuat Rifa memperhatikan kembali raut wajah Kakaknya yang berbeda.
"Kakak ngapain lagi? Aku tau kalian keliatan nggak akur akhir-akhir ini, Kakak buat Kak Fafa marah ya? Aduhh Kak, kalau salah itu minta maaf," kata Rifa gemas.
"Tapi kesalahan Kakak rasanya nggak bisa dimaafkan Fa," ujar Rayfan pelan, ia menunduk.