Anggap saja perjuanganmu itu adalah hutang, lalu yakinkan dirimu sendiri bahwa hutang harus dibayar dengan lunas. ~SOA2002
Aku menggeliat dalam tidurku, saat tanpa sengaja mentari mengusik kulitku melalui celah-celah dinding kayu di kamarku. Belum sempat menyadarkan diri sepenuhnya, tiba-tiba suara melengking milik Ibu sudah membuatku terlonjak saking kagetnya.
"He Putri! mau sampai kapan kau tidur hah? Adikmu 15 menit lagi sudah ketinggalan tumpangan! Mau kau buat dia terlambat dan tak sekolah?!" Teriak ibu yang sepertinya sudah berada tepat di depan kamarku.
Untuk beberapa detik aku terdiam, menormalkan kembali fungsi bagian tubuhku, lalu mencoba mencerna setiap perkataan ibu. Aku yang kini tersadar telah bangun kesiangan pun segera beranjak dari ranjang kayuku dan menyingkap kain korden tipis yang dialihfungsikan menjadi penutup pintu di kamarku.
Seketika nyaliku menciut kala melihat ibu yang tengah berkacak pinggang di depanku. Matanya yang memang tidak sipit itu kini terlihat lebih besar dengan pelototan tajamnya.
Tanpa memedulikan keberadaan ibu, aku langsung berlari menuju belakang rumah untuk mencuci muka. Terlihat tidak sopan memang, tapi percayalah! Ini akan lebih baik daripada harus menyapa ibu terlebih dahulu, kemudian menghabiskan 10 menit hanya untuk mendengar celotehan paginya. Bukankah waktu 10 menit sudah bisa kugunakan untuk mengantar adikku, kan?
"Dasar anak tidak sopan kau, Put!"
Tanpa menghiraukan teriakan Ibu, aku tetap berlari ke belakang rumah dan mencuci wajahku secepat kilat.
"Ican, ayo berangkat!" Teriakku setelah berada di depan rumah, sambil mengikat rambut panjangku dengan asal.
Kulihat langkah Ican yang mendekat ke arahku dengan sebelah tangannya yang membawa kantong plastik lorek yang ia gunakan untuk membawa buku tulis dan buku pelajarannya, serta jangan lupakan sebotol air putih yang memang selalu ia bawa setiap harinya.
"10 menit lagi mobilnya berangkat, Mbak."
Kulihat wajah sayu adikku, tergambar jelas keputusasaan di sana padahal ia belum memulai apa-apa.
"Sudah sini cepat, cowok gak boleh lembek." Kutarik tangannya dengan kencang, lalu kuajak berlari tanpa memedulikan orang-orang kampung yang menatap kami heran.
"Pelan-pelan lah Put! Kasihan adikmu itu." Celetuk salah seorang warga kampung yang hanya kubalas dengan senyum tipis.
"Yaelah Put, jangan serius-serius larinya. Cuma mau anter sekolah aja kaya mau ambil bonus di tengkulak." Celetuk salah seorang warga lagi yang juga hanya kubalas dengan senyuman.
Bukan, bukannya aku bermaksud sombong atau bagaimana. Tapi aku memang sudah tidak punya waktu lagi untuk sekedar menyapa atau membalas ucapan mereka.
Untuk pagi ini, lengah sedikit saja bisa membuat adikku gagal berangkat ke sekolah dan ketinggalan satu mata pelajaran. Dan dalam hal untung rugi, jelas itu merupakan kerugian besar bagiku.
Kerikil, tanah berlumpur, dan duri-duri putri malu tak membabat habis semangatku. Naik turun pegunungan sudah seperti candu bagi diriku. Biarlah aku egois dengan tetap berlari tanpa memedulikan segala keluh adikku. Ini juga kulakukan untuknya, jadi sepertinya tak apa jika aku sedikit memaksa.
"Mbak, I–can ca–pek." Ucapnya dengan napas tersenggal.
Namun kami sudah setengah perjalanan, terasa sia jika aku membiarkannya berhenti begitu saja dan membuatnya alfa karena ketinggalan angkutan sekolah.
Kutarik lagi tangannya lebih kencang. Ia yang hampir duduk di tanah pun segera kembali berdiri dan langsung menyeimbangkan langkah kakinya dengan langkahku.