Aku selalu menyangkal bahwa aku mencintaimu, tanpa menyadari bahwa mataku selalu melemah saat menatapmu. ~SOA2002
"Cepat kumpulkan kopi yang sudah kering Putri!"
Suara ibu membuyarkan fokusku dari buku di pangkuanku. Segera kututup buku berjudul Bahasa Indonesia itu, lalu aku segera bergegas menghampiri ibu.
"Cepat kumpulkan kopi yang sudah kering di lapangan! Nanti keburu para tengkulaknya sampai di sini."
"Ibu tidak ikut ke lapangan?" Tanyaku, sebab biasanya ibu yang paling semangat soal mengumpulkan buah kopi di lapangan.
"Kau tak melihat kain di depanku yang masih polos? Cepat pergi dan selesaikan tugasmu!"
Aku melirik ke arah mori yang tergantung di gawangan. Dan benar saja, kain di hadapan ibu itu masih terlihat putih polos, belum ada goresan malam sama sekali di sana. Sepertinya ibu sudah menyelesaikan kain yang kulihat tadi pagi.
"Baik, Bu. Putri pergi dulu." Ucapku yang langsung berlari menuju lapangan.
Lapangan yang kumaksud di sini bukan seperti lapangan yang ada di pikiran kalian pada umumnya. Lapangan yang kumaksud bukanlah lapangan yang digunakan untuk bermain bola ataupun kasti, tapi digunakan sebagai lahan untuk mengeringkan buah kopi.
Jarak dari rumahku menuju lapangan tidak terlalu jauh, mungkin hanya berkisar sekitar 50-100 meter. Tentu saja jarak tersebut mampu kutempuh dengan waktu singkat, atau bahkan tidak menghabiskan waktu satu menit untuk sampai di sana.
Sesampainya di lapangan, kulihat sudah banyak warga kampung yang berada di sana. Dan sibuk dengan buah kopi milik mereka masing-masing.
"Cepat kumpulkan kopimu, Put. Katanya tengkulak akan segera datang siang ini." Celetuk Pak Sapto, tetangga yang rumahnya paling dengan dengan rumahku.
"Iya, Pak. Ini juga mau Putri kumpulkan." Timpalku ramah dan segera berjalan menuju tempat buah kopi milik bapak dijemur.
"Tumben panennya hanya sedikit? Apa banyak buah kopi yang rusak?" Batinku bertanya-tanya ketika kopi milik bapak tak sebanyak biasanya.
Jika kalian bertanya di mana bapak sekarang, tentu bapak masih berada di kebun untuk memanen buah kopi yang masih tersisa dari panen kemarin.
Jika para warga lainnya memilih untuk memanen sekaligus buah kopi mereka tanpa memilih buah mana yang lebih dulu tua, maka bapak tidak. Bapak sangat telaten dalam hal memanen kopi, sehingga Beliau hanya akan memetik buah kopi yang sudah benar-benar masak, dan meninggalkan buah kopi hijau yang nantinya akan dipanen belakangan.
Dan seperti sekarang ini, bapak sedang memetik sisa buah kopi hijau yang kemarin belum ikut terpanen.
Tanpa berpikir panjang, segera kuambil karung yang memang sudah bapak persiapkan sebelumnya. Lalu tanganku mulai menari-nari untuk mengumpulkan buah kopi, sekaligus memasukkannya ke dalam karung.