Senikmat apapun kopi buatanku, itu tetap tak akan cukup untuk menebus restu ayahmu. ~SOA2002
"Putri, ayo cepat buatkan minum untuk Tuan besar kita." Ucap ibu dengan semangat, tanpa menyadari betapa dilemanya hatiku saat ini.
Aku menatap sekilas ke tempat yang diduduki Tuan Hendriawan, biasanya pria paruh baya itu akan datang bersama tengkulak-tengkulak yang lainnya. Tapi rupanya hari ini dia hanya datang berdua bersama putranya.
"Kau masih ingat kopi kesukaanku, kan, gadis cantik?" Tanya lelaki paruh baya yang bernama Hendriawan itu, yang akrab dipanggil Tuan Bos oleh warga kampungku.
Aku hanya mengulum senyum lalu menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. Kemudian bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan minum tamu besarku.
Ya, begitulah warga kampung menyebutnya. Tuan Bos dan tamu besar. Bagi warga kampungku, Tuan Hendriawan merupakan pahlawan berjasa yang datang di tengah kesulitan kami dalam hal pangan. Beliau adalah orang pertama yang bersedia membeli panenan kopi dari kebun kami. Sebab itulah warga kampung sangat menghormati Tuan Hendriawan.
Dan dari itu pula aku mengenal Stev, lengkapnya Steven Hendriawan. Putra kandung dari Tuan Hendriawan. Lelaki dengan kulit putih khas orang kota. Hidungnya sangat mancung. Bulu matanya yang juga tebal dan lentik sangat menyempurnakan wajah tampan dan tegas miliknya.
Ah, lupakan tentang Stev. Kini saatnya aku mulai meracik kopi buatanku, yang kata orang-orang merupakan seduhan kopi ternikmat di kampung ini. Tak apa kalian menyebutku lebay atau berlebihan, tapi itulah kenyataannya. Katanya tidak ada kopi senikmat seduhanku. Itulah sebabnya, mengapa para tengkulak lebih memilih rumahku untuk dijadikan tempat istirahat daripada rumahnya Joko yang notabene adalah rumah Kepala Kampung. Ya, bapaknya Joko memang merupakan kepala di kampung ini. Itulah sebabnya mengapa ibuku tak henti-hentinya mencomblangkanku dengan Joko, yang katanya adalah orang terkaya di kampung ini. Ah, meskipun benar Joko memang orang terkaya, tetap saja aku tak akan mau dijodohkan dengannya.
"Silahkan, Tuan."Ucapku, mempersilahkan kedua tamu besarku untuk meminum kopi buatanku.
"Terimakasih."
DEG
Bukan, itu bukan suara Tuan Hendirawan, melainkan suara milik putranya. Kepalaku mendongak hingga mataku bersitubruk dengan matanya. Untuk kesekian kalinya aku mencoba meyakinkan hatiku bahwa aku tidak pernah benar-benar mencintainya. Tapi nyatanya mataku selalu melemah, aku selalu kalah ketika netra kami saling bertatap.
"Silahkan diminum Tuan besar, saya mau menjemput suami saya dulu ke kebun. Sepertinya dia lupa jika Tuan Besar akan datang hari ini." Ucap Ibu, yang menyadarkanku untuk segera mengakhiri bersitatap ini.
"Apa tidak merepotkanmu Mariyanti? Tidak apa kalau memang Heru belum menyelesaikan pekerjaannya." Timpal Tuan Hendriawan,
"Tentu tidak merepotkan Tuan. Akan sayang sekali jika suami saya tidak menemui Tuan pada kesempatan kali ini."
Kulihat Tuan Hendriawan yang mengangguk-anggukkan kepalanya.