Kata mereka aku adalah peracik kopi yang handal, namun sayangnya dalam racikan hati aku selalu gagal. ~SOA2002
Seluruh warga kampung tengah bergotong royong untuk mempersiapkan tempat penyambutan mahasiswa KKN yang rencananya akan datang ke kampungku besok pagi.
Para warga kampung yang laki-laki tengah disibukkan dengan mendirikan omah-omahan, berbeda dengan warga perempuan yang tengah memasak makanan untuk dihidangkan kepada mahasiswa KKN besok pagi.
"Putri, tolong ambilkan panci di sampingmu itu."
Itu suara Hesti, gadis seumuranku yang sudah menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Yups, mereka dijodohkan.
"Ini, Hes." Aku menyerahkan panci hitam yang barusan kuambil pada Hesti.
"Makasih, Put. Oh ya, katanya kamu mau melanjutkan sekolah ya?" Tanya Hesti tiba-tiba.
Aku yang memang tertarik dengan topik pembicaraannya pun memilih untuk mendudukkan diri di sebelahnya.
"Doakan saja ya Hes, memangnya kenapa?" Tanyaku balik.
"Alah Put, mendingan kamu nikah aja sama Joko daripada harus repot-repot sekolah. Hidup kamu udah pasti terjamin deh kalo nikah sama Joko."
Ah, aku menghelas napasku kasar. Sepertinya aku telah salah berprasangka dengan menganggap menarik topik yang akan Hesti bicarakan. Karena nyatanya ucapan perempuan itu tak jauh berbeda dengan ucapan warga kampung lainnya.
"Nah, benar itu Put. Lebih baik kau menikah saja dengan Joko. Lagipula gadis seumuranmu di kampung kita sudah pada menikah, kan?"
Aku memutar kedua bola mataku dengan malas, itu suara milik Bu Tanti yang merupakan ibunya Joko. Sangat cocok sekali jika sedang bersama dengan ibuku.
"Udah deh, Put. Kamu nikah aja. Lagian apa sih gunanya pendidikan? Semua orang di sini gak ada yang berpendidikan, tapi masih tetep bisa makan, kan? Terus kenapa harus sekolah kalo cuma buat buang-buang duit." Tambah Hesti yang membuat Bu Tanti mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku baru 16 tahun, Hes." Timpalku, berusaha menyadarkan Hesti bahwa usiaku dan usianya itu masih jauh dari kata dewasa.
"Nikah gak perlu umur Put, yang penting lelakinya tanggung jawab dan hidup kita bisa terjamin."
Aih, yang benar saja ucapan Hesti? Apakah suaminya yang hanya bisa mengandalkan warisan orang tua itu sudah sangat pantas untuk dikatakan bertanggung jawab hingga Hesti berani berbicara demikian kepadaku?
Alih-alih menjawab, aku memilih beranjak dan pergi dari hadapan Hesti. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin harapanku yang sekecil biji jagung ini goyah begitu saja hanya karena ucapan tak bermutu milik Hesti.
"Loh, Put! Mau ke mana kamu?" Tanya Hesti yang terkejut atas kepergianku.
"Mau keluar sebentar, Hes. Cari udara segar."