Fani Permata Putri adalah nama anak perempuan yang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Usianya berusia 12 tahun. Ia biasa dipanggil dengan nama Fani. Fani hanya hidup bersama Ibunya saja. Ibu yang selalu mengurus dan menyayanginya sepenuh hati adalah Bu Wati. Beliau telah lama menjadi Ibu sekaligus ayah untuk Fani sejak ayah Fani meninggalkan mereka untuk selamanya.
Bu Wati tahu bahwa anak semata wayangnya itu sedikit pemalas dan terkadang tidak menghargai waktu. Maka Bu Wati selalu mendidik dan mengajari Fani agar disiplin dan tidak menyia-nyiakan waktu.
Jam dinding di rumah Fani menunjuk pukul 04.20 pagi. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Fani masih terlelap dalam tidunya dengan selimut di tubuhnya. Tak berselang lama ada seseorang menuju depan kamar Fani, yang tak lain adalah Ibu Wati. Ya Ibunya Fani. ‘Tok,,tok,,tok’ Suara ketukan pintu dari luar pintu kamar Fani. Tapi Fani tidak merespon sedikit pun, ia tetap tidur dengan nyenyak seakan ia sedang bermimpi terbang di atas awan bersama bidadari di langit. Tidak menunggu jawaban Fani terlalu lama, Ibu Wati segera masuk ke kamar Fani. IbuWati mendapati Fani masih berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup, alias tidur.
“Fani, ayo bangun nak. Sudah mau masuk waktu subuh. Ayo ambil air wudhu lalu sholat berjama'ah.” kata Ibu dengan lembut membangunkan Fani. Mendengar suara itu Fani sedikit tersadar dari tidurnya, tapi masih menutup matanya.
“Fani, ayo nak bangun.” kata Ibu lagi seraya menggoyang bahu Fani agar terjaga.
“Iya Bu, Fani bangun, tapi lima menit lagi ya Bu?” kata Fani masih dengan mata tertutup enggan bangun dari tempat tidur.
Beberapa menit kemuian......
“Fani, Ibu membangunkanmu dari tadi sampai sekarang sudah masuk waktu subuh, kamu belum bangun juga. Sholat itu wajib nak. Kalau kamu meninggalkannya itu dosa. Apalagi kamu sudah baligh, kamu sendiri yang menanggung dosa itu nak.” kata Ibu dengan nada menggurui dan sedikit kesal pada Fani.
“Awas ya, kalau kamu tidak mau bangun juga.” lanjut sang Ibu.
“Ya Bu, Fani bangun sholat subuh, tapi sebentar lagi, bolehkan?” kata Fani dengan diakhiri bertanya.
“Ibu?” Tidak ada jawaban.
BYYUURRRR………
Air mengalir dari atas ke wajah Fani yang berasal dari gayung yang dibawa Ibu. Sontak Fani kaget dan melompat bangun dari tempat tidurnya.
"Ah,,ah,,ah.. Ibu kok Fani disiram? Memangnya Fani kucing?" Fani berkata dengan tergagap akibat guyuran air.
"Salah siapa kalau kamu diguyur air, kamu sudah kelas 6 nak, kamu sebentar lagi akan lulus dan memasuki sekolah yang jenjangnya lebih tinggi, jadi kamu harus berubah menjadi lebih baik." Ibu menasihati Fani.
"Kalau kamu tidak berubah juga, setelah lulus sekolah dasar kamu Ibu sekolahkan di Madrasah Tsanawiyah tidak di sekolah umum dan Ibu akan pondokkan kamu Fani!” kata sang Ibu dengan tegas.
"Apa Bu? Mondok? Fani kan sudah bangun, jangan dipondokkan ya..., bukannya di pondok itu ketat Bu peraturannya? Lebih baik di rumah saja. Sekarang Fani akan sholat subuh." kata Fani dengan nada memelas, kemudian berlalu mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh, mandi dan memakai seragam. Setelah itu Fani pergi ke ruang makan. Fani mendapati Ibu yang sedang menyiapkan sarapan.
"Fani, sebelum berangkat sekolah sarapan dulu." kata Ibu Wati pada Fani yang berjalan mendekatinya.
"Ya Bu, makasih." kata Fani dengan senyum manisnya. Seolah merayu Ibu agar tidak dipondokkan.
Setelah selesai sarapan Fani mencium tangan Ibu dan mengucapkan salam. "Bu Fani berangkat sekolah ya, Assalamu'alaikum" kata Fani berpamitan.
"Ya nak, Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan." kata Ibu.
"Ya Bu...." kata Fani sambil berlalu mengendarai sepedanya menuju sekolah yang tak begitu jauh dari rumahnya.
Di perjalanan Fani berpikir tentang kata 'PONDOK' Ibu ingin memondokkan Fani setelah lulus sekolah dasar. Fani merasa takut dan gelisah akan hal itu. Fani berpikir kalau di pindok itu tidak enak, mungkin banyak peraturan yang harus dipatuhi. Meskipun Fani belum pernah merasakan mondok, tapi ia beranggapan demikian.
“Mondok? Mondok itu enak atau tidak? Pasti tidak enak. Lagi pula kalau mondok berarti aku jauh dari Ibu. Aku juga harus pakai jilbab setiap hari. Iya sih aku saat mengaji pakai jilbab, tapi kan di sekolah tidak pakai jilbab. Aaaaa…. Aku bingung.” Kata Fani dalam hati.
Setibanya di sekolah, Fani bertemu dengan temannya. “Hai Fani.” Kata salah satu anak berambut pendek dengan melambaikan tangan pada Fani.
“Kau kenapa sih? Aku lihat dari jauh kau melamun. Melamun apa?” Tanya Nina pada Fani.
“Hmmmm….tidak, tidak apa-apa kok..” jawab Fani.
“Hai Fani, Nina.” Kata dua anak di belakang Fani, menyapa mereka dengan melemparkan senyuman.
Fani menoleh ke belakang dan mendapati dua anak yang menyapa adalah temannya yaitu Rini dan Rina. Mereka anak kembar yang lahir dengan ibu yang sama. Bukan hanya itu, wajah mereka juga mirip, mirip banget. Ya iyalah kan kembar.
“Hai.” Kata Fani dan Nina bersamaan.
“Oh ya, aku mau tanya, mondok itu enak tidak?” Tanya Fani pada teman-temannya. Sejenak teman-temannya diam.
Lalu Rini mulai bicara setelah keheningan.. “Mondok? Kau mau mondok?”
“……” Sebelum Fani menjawab pertanyaan Rini, bel masuk berbunyi.
KRRIIING…KRRIIING…KRRIIING…
“Eh, masuk kelas dulu yuk.” Ajak Nina. Mereka masuk kelas dan duduk di bangku masing-masing.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi Bu.” jawab semua murid dengan serempak.
“Langsung saja kita mulai pelajaran Bahasa Indonesia hari ini.” Kata seorang perempuan memakai pakaian guru dan kaca mata, memecah keramaian yang ada di kelas 6, kelas Fani. Namanya Bu Sherin.
Bu Sherin adalah guru Bahasa Indonesia yang terkenal ramah dan baik hati. Bu Sherin lebih sabar menghadapi murid yang nakal daripada guru lainnya.
Ditengah menerangkan, Bu Sherin mendapati Fani sedang melamun walau terlihat tangannya sedang menulis sesuatu.
“Fani, apa kamu sudah paham?” tanya Bu Sherin pada Fani. Fani tidak merespon.
“Fani!” suara lebih lantang dari sebelumnya.
“Eh, iya Bu.” Fani terkejut.
“Kamu melamun?” tanya Bu Sherin.
“Hmmm, tidak Bu.” Jawab Fani.
“Apa yang kamu tulis di buku?” tanya Bu Sherin.
“Ha? Bukan apa-apa Bu.” Jawab Fani yang terkejut mendapati banyak sekali kata ‘mondok’ di buku tulisnya.
Bu Sherin yang mengetahui itu, langsung berkata “Mondok? Ada apa Fani? Kamu mau mondok atau apa? Kok kamu sampai melamun seperti ini?” lagi-lagi pertanyaan dari Bu Sherin.