Hari ini tak secerah kemarin. Tapi suasana hati Fani tidak semendung cuaca hari ini. Fani senang, karena hari ini hari pertama ia memakai jilbab ketika sekolah. Namun ia belum tahu bagaimana komentar teman-temannya, ketika nanti melihat penampilan barunya. Fani tetap berusaha mengumpulkan keberanian dan keyakinan hatinya.
“Nak, kamu cantik sekali.” kata Ibu memuji Fani.
“Terimakasih Ibu, Bu hari ini hari pertama Fani sekolah pakai jilbab.” kata Fani.
“Ibu tahu kamu takut dengan komentar teman-temanmu nanti. Kamu harus yakin, bahwa yang kamu lakukan itu benar. Dan itu lebih baik dari apa yang mereka bicarakan kepadamu. Jadi jangan khawatir ya.” kata Ibu meyakinkan Fani.
“Iya bu, Fani berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum.” Fani berpamitan pada Ibu untuk berangkat sekolah.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati nak.” jawab Ibu.
Fani mengendarai sepeda dengan santai dan hati gembira. Beberapa kali ia menyapa orang yang berpapasan dengannya di jalan. Sampai di sekolah, semua mata tertuju pada Fani. Mulai dari parkiran sepeda sampai Fani masuk kelas, semua anak melihat Fani.
“Kenapa semua melihatku seperti itu? Apa ada yang salah denganku? Sepertinya pakaianku baik-baik saja.” kata Fani dalam hati. Di dalam kelas sudah terdapat banyak teman yang memandanginya termasuk Nina dan si kembar.
“Assalamu’alaikum.” ucap Fani seraya memasuki kelas.
“Wa’alaikumsalam.” jawab sebagian teman Fani. Sisanya hanya terdiam melihat Fani tampil berbeda. Nina dan si kembar terkejut melihat Fani tampil beda dengan memakai jilbab seperti Isna.
“Fani, itu kau Fani? Kau pakai jilbab?” tanya Nina.
“Kau sudah memanggil namaku, kanapa kau bertanya aku siapa? Apa ada yang salah denganku?” tanya Fani heran.
“Tidak salah sih, hanya saja kau jadi seperti anak alim dan beda.” kata Rini.
“Aku memakai jilbab juga sebagai awal memperbaiki diri agar lebih baik dari sebelumnya.” kata Fani.
“Kenapa ya, semuanya melihat aku? Apa karena aku pakai jilbab?” tanya Fani.
“Iya iyalah, dulu kau tidak pernah pakai jilbab kalau sekolah, juga perilakumu yang terkadang sedikit tomboy. Sekarang, kau berubah seperti ini.” kata Nina.
“Fani ingat, kau sudah pakai jilbab, jangan sampai kau sok alim.” kata Rina.
“Kenapa kau bicara seperti itu?” ucap Fani terkejut mendengar kata ‘sok alim’ keluar dari Mulut Rina.
Fani lalu pergi dari hadapan mereka dan ke luar kelas. Fani memilih perpustakaan sebagai tempat persembunyian dari tatapan teman-temannya yang menatap aneh ke arahnya.
Ketika itu Isna juga berada di perpustakaan, ia mendengar suara tangisan perempuan yang bersumber dari pojok kanan rak buku paling belakang. Isna pun menghampiri suara itu, ia mendapati Fani di sana yang duduk meletakkan kepalanya di atas meja dan kedua tangan menjadi bantal atau tumpuannya.
“Fani?” panggil Isna sedikit ragu.
“Isna kau...” Kata Fani tersedak.
“Kau menangis? Kenapa? Kau memakai jilbab.” ucap Isna.
“Isna, aku sudah berjilbab, tapi kenapa semua orang seperti aneh melihatku berjilbab?” ucap Fani sambil menangis.
“Fani, tidak semua temanmu yang melihatmu aneh atau bahkan tidak suka. Aku senang kau memakai jilbab. Kau harus tahu, kau sangat cantik dengan memakai jilbab itu, Fani.” kata Isna dengan tulus.
“Benarkah?” kata Fani tak percaya ada yang mengatakan itu padanya. “Iya.” Jawab Isna.
“Terimakasih Isna, kau orang kedua yang mengatakan aku cantik memakai jilbab setelah Ibuku.” ujar Fani tersenyum.
“Terus apa yang membuatmu bersedih? Aku juga temanmu, aku tidak melihatmu aneh.” tanya Isna.
“Teman- temanku yang sudah aku anggap sebagai sahabat. Rina, Rini, Nina, mereka seperti meledekku. Rina mengatakan jangan sampai aku menjadi anak sok alim.” kata Fani.
“Itu artinya mereka saying padamu Fani. Mereka mengingatkanmu agar tidak merasa paling baik ketika kau sudah memakai jilbab. Lagi pula kau tidak sendirian, aku juga berjilbab, jadi itu tidak akan jadi masalah. Bukan begitu?” kata Isna mencoba menenangkan Fani yang sedari tadi menangis.
“Kau tidak perlu menangis karena hal itu. Buktikan pada mereka jika kau tidak seperti yang mereka duga. Aku harap kau tidak menyerah dan tetap istiqomah.” kata Isna menyemangati Fani.
“Iya..., kau seperti motivator yang ada di tv.” kata Fani mulai tersenyum dan tidak menangis lagi.
“Heheh..” Isna tersenyum meringis. “Ayo masuk kelas, bel masuk sudah berbunyi.” ajak Isna. “Ayo.” kata Fani.
*******
Fani pulang mengendarai sepeda dengan perasaan yang gundah tidak seperti pagi tadi yang cerah nan indah. Fani masih terpikirkan tentang teman-temnnya, terutama Nina dan si kembar. Rina yang berkata sok alim, Fani merasa itu sindiran. Walau Isna mendukungnya, tapi tetap saja ia merasa sedih. Setiba di rumah Fani langsung pergi ke kamar. Ibu mengetahui itu langsung bertanya-tanya apa yang terjadi pada anak semata wayangnya.
“Fani kenapa nak? Kamu menangis? Ada apa?” tanya Ibu.
“Ibu….” Fani menangis memeluk Ibunya.
“Iya sayang, ada apa? Cerita sama Ibu.” kata Ibu.
“Ibu, aku tidak mau pakai jilbab ketika sekolah. Aku tidak mau jadi anak sok alim.” kata Fani dengan air mata yang terus keluar dari matanya.
“Sayang, kau jangan sedih seperti ini. Kau bilang sama Ibu kalau Isna juga pakai jilbab di sekolah.” kata Ibu menenangkan.
“Iya ibu Isna mendukung aku memakai jilbab. tapi teman-temanku yang lain?” ucap Fani masih menangis.
“Dengan kamu memakai jilbab artinya kamu menaati salah satu perintah Allah. Kamu tidak perlu mendengarkan apa yang teman-temanmu bicarakan tentangmu. Tapi apa semua temanmu meledek?” ujar Ibu di akhiri bertanya.
“Tidak,,, tapi ada seseorang yang aku anggap sebagai sahabat mengatakan sesuatu yang membuat hatiku terluka Ibu. Dia mengatakan jangan sampai aku jadi anak sok alim.” jawab Fani.
“Kamu sudah semakin dewasa, jangan menangis hanya masalah sepele. Justru temanmu itu saying padamu, ia mengingatkan agar kamu tidak menjadi sok alim, tapi alim. Kamu harus belajar menjadi baik. menjadi anak soleha, itu akan lebih baik, dari pada kamu mendengarkan ocehan-ocehan orang yang dapat melukai hatimu. Jadikan itu pelajaran bagimu untuk menjadi anak yang lebih baik. Juga ada Isna yang memakai jilbab, jadi kamu tidak sendirian bukan?” Ibu menasihati Fani panjang lebar kali tinggi. Seperti rumus matenatika saja.
“Iya Bu, Isna juga bilang kalau aku cantik pakai jilbab.” kata Fani tersenyum kucing.
“Iya nak, kamu itu cantik. Tapi,, ketika kamu menangis cantiknya hilang. Maka dari itu selalu senyum ya! Karena sesuatu masalah seberat apa pun pasti ada jalan keluarnya.” kata Ibu.
"Iya Ibu,, terimakasih…” Fani tersenyum manis.
“Ya sudah sekarang kamu sholat dhuhur dulu.”
“Iya Bu.” kata Fani lalu berlalu mengambil air wudhu.
“Ya Allah,, ketika hamba bimbang untuk memakai jilbab, engkau memberi petunjuk melalui Isna. Ketika hamba yakin atas keputusan hamba memakai jilbab, Engkau memberi hamba ujian-ujian lewat ocehan dan perlakuan dari teman-teman hamba. Hamba tidak ingin dibilang sok alim Ya Allah. Tapi hamba yakin, Engkau masih sayang pada hamba dengan mengirim Isna dan memberi Ibu yang sangat menyayangiku dan memberiku semangat. Berilah keteguhan hati hamba dan keistiqomahan hamba dalam memakai jilbab. Engkau maha segala-galanya, yang mengabulkan segala doa hambaNya. Kabulkan Ya Allah… Aamiin…..” Fani mengadu, mengutarakan isi hatinya dan berdoa pada Allah selesai sholat.
Pukul 21.00 Fani usai belajar, ia langsung pergi tidur, karena letih dan ingin bangun lebih pagi. Kira-kira pukul 02.30 pagi Fani mendengar suara. Fani bangun, ia mengikuti dan menuju arah datangnya suara, yang berada di dapur. Fani mendapati Ibu sedang memasak sesuatu.
“Ibu?” Fani memanggil dengan ragu.
“Ya nak, ada apa? Kamu sudah bangun?” tanya Ibu.
“Iya Bu. Fani dengar suara, ternyata Ibu. Ibu sedang apa? Mesmasak?” tanya Fani.
“Ibu sedang menyiapkan makanan nak.” jawab Ibu.
“Sekarang? Tapi ini kan masih jam setengah tiga Ibu.” kata Fani sambil melihat jam dinding.
“Sayang Ibu hari ini akan berpuasa, jadi Ibu masak sekarang.” kata Ibu.
“Puasa? Senin kamis?” tanya Fani mengerutkan dahi.
“Iya, kamu tidak ikut berpuasa?” ujar Ibu.
“Hmmm.. Ya, Fani juga mau puasa senin kamis.” jawab Fani.
“Sungguh? kamu mau?” tanya Ibu sedikit ragu.
“Iya Bu.” jawab Fani.
“Alhamdulillah,, semoga kamu jadi anak soleha ya nak. Oh iya, sebelum Ibu sahur, Ibu sholat tahajud dulu. Kalau kamu lama nunggu ibu, kamu duluan makan sahurnya.” kata Ibu.
“Sholat tahajud?” tanya Fani.
“Iya. Apa kamu juga mau ikut?” tanya Ibu.
“Tapi nanti Ibu ajari Fani ya?”
“Ya saying, Ibu akan mengajarimu.” Ibu memeluk Fani dengan penuh kasih sayang.
Fani mendapat pelajaran baru, yaitu sholat tahajud. Setelah sholat tahajud, Fani dan Ibu sahur lalu melanjutkan sholat subuh. Fani merasa lebih tenang setelah ia sholat dan berkomunikasi dengan Sang Pemilik Malam.
Seperti biasa, Fani berangkat sekolah pukul 06.30 pagi.Sampainya di sekolah, Fani tidak langsung pergi ke kelas melainkan ke perpustakaan. Ia masih khawatir dan merasa gelisah akan teman- temannya. Walau Ibu telah meyakinkannya.
“Isna.” panggil Fani. “Kau sudah di sini. Rajin banget.” canda Fani.
“Eh Fani, iya. Rumahku dekat dari sekolah, jadi aku berangkatnya bisa cepat dan langsung baca buku.” kata Isna.
“Memangnya rumahmu di mana? Seperti yang dulu bukan?” tanya Fani.
“Rumahku ada di perumahan mawar no 11, dekat dengan rumahnya lina.” jawab Isna.
“Oh,, itu, yang depan taman?” ucap Fani.
“Ya itu.” kata Isna.
“Isna, kau suka membaca ya?” tanya Fani.
“Iya, kenapa?” jawab Isna.
“Aku ingin mengajakmu ke perpustakaan Mastrip.” kata Fani.
“Perpustakaan Mastrip? Itu perpustakaan Jombang?” tanya Isna.
“Iya, aku suka pergi ke sana. Aku juga berniat daftar jadi anggota. Aku punya 2 formulir untuk daftar, apa kau mau?” kata Fani diakhiri bertanya.
“Daftar jadi anggota? Hmm .. Ya aku mau. Tapi aku izin Ibuku dulu ya.” jawab Isna. “Pasti.” kata Fani.
*******
Bel istirahat berbunyi….
“Fani, Isna, kau mau ke perpustakaan atau ke kantin?” tanya Nina. “Aku ikut kalian ke kantin.” jawab Isna.
“Kau Fani?” tanya Rina.
“Ya sudah, aku ikut kalian saja.” jawab Fani.