Gelisah
Bagi sebagian orang yang sudah mengenal iki sejak awal atau bahkan baru saja , mungkin sudah menerka aku seperti apa. Tanyakan saja pada mereka. Aku yang mulai tumbuh besar dan mungkin sudah mulai paham dengan waktu kapan haru tersenyum kapan harus menangis kala itu. Meskipun masih dalam tahap menuju usia Sekolah Dasar, tapi aku sudah lumayan paham tentang kebenaran dalam kehidupan. Tak melulu soal bermain, kini aku sudah harus mulai melogika. Agar aku tak ketinggalan tentunya.
Dimasa itu , seperti biasa aku masih seorang sinden tetapi sudah mulai pasif sejak setahun sebelumnya. Ayahku masih sama bekerja di perburuhan batu yang membuatnya lusuh setiap kali pulang. Ibuku masih sama bekerja untuk kami, untuk aku dan ayah. Sepertinya ibu pekerjaan nya lebih melelahkan dibanding kan ayah meskipun tak perlu ke mana-mana . Membereskan perbuatan ku saja yang selalu memberantakkan banyak hal, mungkin sudah membuat ibu Tersulut emosi bahkan saking lelahnya ia tak mampu lagi mengucapkan apapun padaku .
Kala itu, aku berada diruang tengah, seperti biasa bermain barbie-barbie kecil yang kunamai sendiri. Harusnya pada jam itu ayah sudah pulang, aku sangat merindukannya lebih dari biasanya. Entah apa yang membuatku merasakan kerinduan sedalam ini hanya untuk hitungan jam saja tak berjumpa dengannya. Sambi terus bermain, samar-samar ku dengar suara di belakang rumah . Ku kira itu ayah, aku berjalan mendekat. Tapi kala itu, benar benar tak seperti biasanya. Beberapa perkataan berhasil ku dengar. Aku memberhentikan langkah, mendengarkan nya sebentar kemudian berbalik ke depan . Kembali ke tempat semula bermain , aku duduk termenung. Memikirkan apa yang di perbincangkan ayah dan ibuku kala itu, yang ku ingat hanya tanda kegelisahan diantara mereka berdua. Aku menahan rindu ku pada ayah . Tak lama ayah menghampiriku dan memeluk ku dengan erat, matanya tampak ingin meneteskan air mata tapi ia tahan . Aku semakin tidak mengerti.
Kenyataan Pertama
Awal yang tak seperti sewajarnya, hari ini semua senyap. Kudapati ayahku tak pergi bekerja, ia duduk termenung di sebuah kursi tua yang hampir lapuk dimakan usia. Ibu duduk di samping nya, di bangku yang lain yang masih sedikit lebih kokoh. Aku berada di ruangan yang sama bergulat dengan 2 barbie kesayanganku, tetapi aku tak bermain. Aku hanya memandangi mereka . Tampak ada aroma kegelisahan di raut wajah mereka.
” Hmmm.. bagaimana ini mas ?” Sontak ibu memecah keheningan.
” Ya bagaimana, aku bingung. Kalau nanti ada yang mencari ku katakan aku tidak ada . “ ayah menjawab tanpa berpaling muka .
” Lalu, bagaimana denganmu nanti mas ?” Kembali ibu bertanya.
” Mungkin mereka akan membunuh ku, mereka jelas akan memburu ku , aku telah bersalah. Aku tak sengaja memakan makanan mereka yang tertukar denganku .”
kupikir kala itu makanan adalah nasi dicampur ayam atau kudapan lezat seperti yang ibu biasa tampilkan di bawah tudung saji meja makan. Ternyata itu lain, ayah merasa bahwa makanan itu ancaman baginya. Aku masih kebingungan dengan percakapan orang dewasa dan memutuskan untuk pergi bermain.
Tak kondusif
Semakin hari kudapati ayah selalu murung, dan ku perhatikan ia tak lagi bekerja beberapa hari ini. Niat hati hendak bertanya dan mendekat , tapi lagi-lagi kupikir belum waktunya aku bercengkerama dengan ayah. Lebih mirip aku ketakutan dengan siapapun di rumah itu. Akhir-akhir ini aku lebih sering menghabiskan waktu ku diluar , seperti tak nyaman lagi berada dirumah karena semua orang yang kudapati hanya membisu. Aku yang dasarnya tidak bisa diam pun terpaksa ikut diam ketika di rumah. Untuk itu aku memutuskan mencari teman-temanku di rumah mereka dan mengajaknya bermain sepanjang hari.
Tiba saat yang tak menyenangkan bagi anak seumuran ku yang masih duduk di bangku TK ini. Dirumah semua orang membatu, bahkan aku tak lagi diperhatikan seperti biasanya, soal makan pun selalu nenek yang mengingatkan bahkan memberikan suapan padaku. Aku benar tidak paham tentang peristiwa yang sedang aku alami. Ku amati satu persatu berargumen tentang pembicaraan ayah dan ibu Tempo hari , Sampai mereka lupa bahwa aku masih membutuhkan mereka. Aku tak lagi nyaman, semakin saja aku merindukan suasana yang biasa nya akrab di telinga dan hangat di pelukan . Di bilik kecil aku hampir menangis, tapi kutahan karena aku tahu kalau aku menangis pasti semua orang kalang kabut kubuat.