Story of Zarah

Ka Nis
Chapter #2

Tidak Harmonis

Seorang ayah tidak akan memberikan kata-kata sedih kepada anaknya, melainkan kalimat motivasi untuk menyemangati perjuangan sang anak. Tapi, yang terjadi padaku malah sebaliknya. ~Zarah Almaira.

Bada Shalat isya berjamaah di Musallah kecil di rumah kami dan setelah makan malam, kami duduk di ruang keluarga berbincang-bincang, bercanda. Dulu ada televisi di ruangan ini namun mama jual bukan karena kehabisan uang tapi karena mama tidak mau waktu kami habiskan dengan sia-sia karena menonton televisi.

Sudah jadi kebiasaan kami setelah Shalat magrib kami dzikir sampai waktu isya tiba. Setelah Shalat isya kami makan malam dan duduk bercengkerama sebentar, lalu kami belajar sekitar satu jam setelah itu pergi tidur, jam tidur kami itu paling lama jam 9 malam.

Ya, mama sudah membiasakan kami seperti ini dari kami kecil, satu hal yang membuat aku sedih dia mengajari ini kepada kami semua seorang diri sedangkan papa selalu pulang tengah malam bahkan subuh dengan bau Alkohol di mulutnya, mama berhasil mendidik kami tapi mama belum berhasil mengubah papa.

Adik-adikku sudah ke kamarnya masing-masing, tinggal Aku dan mama sedang berbicara tentang sekolah tiba-tiba papa datang, tumben dia datang jam begini.

"Kau jadi masuk di SMANSA? Jadi anak itu tahu diri sedikit! Jangan gaya-gayaan mau masuk di sekolah mahal! Liat keuangan keluarga! Bukan cuma kau yang mau di sekolahkan masih ada juga adik-adikmu yang mau di biayai."

Masuk bukannya salam bukannya menyapa langsung marah. Tahu anak ada tiga banyak biaya tapi tidak kerja, kenapa juga dia yang marah kalau aku masuk di SMANSA yang biayai sekolahku kan mama bukan dia. Malah bilang aku gaya-gayaan lagi. Bukan gaya-gayaan tapi mengejar cita-cita.

"Duduk di sini dulu, bicarakan baik-baik tidak perlu pakai marah-marah." Aku heran sama mama masih saja bicara lembut sama orang itu, tidak usah takut dosa sama suami seperti itu, yang harus di baikin dan ditaati itu suami shaleh bukannya Parasit.

Papa hanya melihat mama tanpa menuruti apa kata mama, dia masih saja berdiri di hadapanku. "Kau sekolah di sini saja! Tidak usah bergaya mau sekolah di kota, buang-buang uang saja! Di kecamatan ini ada juga sekolah yang sederajat SMA."

Masih dengan nada marahnya, masih saja bilang kalau aku ini cuma gaya-gayaan mau sekolah di kota. Memang sih di kecamatan ini ada sekolah SMK dan MA tapi aku maunya sekolah SMA yang hanya ada di pusat kota, aku mau masuk kelas IPA agar lebih mudah meraih cita-citaku nanti, agar nanti tidak belajar dari awal lagi, semua sekolah di kecamatan ini hanya ada kelas IPS.

"Zarah itu cita-citanya jadi dokter, Pa. Jadi, sekolah di SMANSA itu pilihan yang tepat untuk nanti lanjut kuliah kedokteran." kata mamaku.

"Cuih, kedokteran," Ya ampun! Sampai meludah segala memang apa yang salah dengan kedokteran? mana meludah di lantai lagi, memang dia yang bersiin! "Di kota kita tidak ada kampus untuk dokter nanti di luar kota, yang ada hanya jadi perawat atau bidan itu pun biayanya mahal, ini mau jadi dokter uang dari mana untuk membiayai?" bicaranya sambil nunjuk-nunjuk pelipisku segala, heran deh, memang dia yang biayai? mulutku sudah gatal sekali ingin membantah.

"Masalah kuliah tidak usah dibahas dulu, kan masih lama, Zarah sekarang kan baru mau masuk SMA, untuk kuliahnya nanti masih bisa kumpul uang," kata mamaku yang baik hati.

Lihat selengkapnya