Aku memerhatikan penampilanku di cermin. Seragamku baru, tapi sepatu, kaos kaki, dan tas, barang lama. Buat apa memakai yang baru jika yang lama masih bisa di pakai. Lagi pula aku juga tidak enak jika memakai serba baru sebab ada adik-adikku yang memakai seragam lama. Apa lagi Zira Awal masuk MTs, pakaian yang dia pakai adalah seragam MTs-ku.
"Kamu sudah mau berangkat?" tanya mama saat melihatku turun dari tangga. "Mau bawa motor sendiri atau mama antar?"
Aku menatapnya, wajahnya masih ada jejak merah akibat semalam. "Zarah naik angkot aja, Mah. Lagi pula takut bawa motor ke kota dan juga belum hafal jalan," sahutku.
Jarak dari desaku ke kota itu sekitar sepuluh kilometer dan aku jarang sekali ke kota. Biasanya ke kota itu setahun sekali saat mau lebaran untuk membeli pakaian obralan atau cuci gudang. Ya, seperti itulah kehidupan di desa.
"Kakak sudah mau berangkat?" tanya Zira yang juga sudah lengkap dengan seragamnya.
"Iya, harus cepat supaya dapat tepat duduk yang sesuai keinginan,"sahutku.
"Tidak sarapan dulu?" tanya mamaku.
Aku menggeleng kecil. "Tidak, Mah, Zarah puasa. Zarah berangkat dulu, Mah," pamitku sambil mencium punggung tangan mama dan mencium pipinya. "Doain hari ini berjalan dengan lancar."
Mama mencium keningku. "Pasti, tanpa kamu minta mama selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anak mama."
Ekor mataku melirik ke kamar mama, pintunya yang terbuka membutku bisa melihat ke dalam kamar. Papaku tidak ada, berarti tadi malam dia tidak pulang. Aku sih berharap selamanya dia tidak pulang ke rumah ini.
Ya Allah, maafkan hamba jika rasa ini ada di dalam hati hamba, tapi hamba benar-benar membenci orang itu. Hamba sudah berusaha menghilangkan rasa benci ini. Namun, perlakuannya semakin menjadi-jadi.
"Dek, tolong anterin ke jalan besar dong!" seruku ke Zira.
"Iya Kak."
Jarak dari rumah menuju jalan besar itu sekitar 300 meter. Lumayan jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki. Saat sampai di jalan besar aku menghentikan sebuah angkot, sebelum naik aku bertanya dulu pada sopir angkotnya, apakah angkot ini langsung menuju kota atau singgah di pasar yang ada di perbatasan sebelum masuk kota.
Iya, biasanya dari desaku harus naik angkot dua kali untuk sampai ke kota. Tapi, ada juga angkot yang langsung ke kota, dan untungnya angkot yang aku hentikan langsung menuju kota.
Saat aku naik, di dalam angkot sudah ada penumpang dua orang ibu yang sepertinya ingin ke pasar, terbukti dengan tas keranjang yang dia bawa dan seorang bapak yang berpakaian rapi.
"Sekolah di mana, Dek?" tanya salah satu ibu itu.
"Di SMANSA, Bu." Aku tersenyum sopan.
"Wah, hebat! bisa masuk di SMANSA. Anak ibu juga ikut tes tapi tidak lulus jadi dia terpaksa sekolah di Madrasah Aliya yang ada di kecamatan." Ibu itu mulai bercerita tentang anaknya yang terpaksa bersekolah di sekolah yang ada di kecamatan.