‘‘Erin kok bisa sih, nggak punya kontak Dewa Putra?’‘
‘‘Kok Mama tahu?’‘
‘‘Ditanya kok malah nanya balik.’‘
Erin menggaruk-garuk tengkuknya. Diletakkannya kucing kesayangannya di kasur lalu kembali menumpu perhatian pada Mama. ‘‘’Kan di sekolah ketemu. Bisa ngobrol.’‘
‘‘Kenapa nggak minta?’‘
‘‘Emangnya harus, Ma?’‘
‘‘Harus,’‘ kata Mama tegas dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.
---
Beberapa hari ini Erin sudah kembali masuk sekolah dan Dewa Putra kembali menjalankan kebiasaannya; ngapel ke kelas Erin setiap istirahat atau jam kosong.
Seharusnya hari ini juga.
Sejujurnya, suasana hati Erin sedang tidak baik. Dan perutnya seperti menjalani gempa internal. Ingin marah terus atau menjenggut kepala seseorang sampai gundul.
‘‘Dewa Putra mana, ya?’‘ Erin bertanya-tanya dalam hati. Di rumah pagi tadi, ia pikir moodnya akan kembali, setelah melihat Dewa Putra. Tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan cowok itu.
Karena sakit kembali menjamah perutnya, Erin hanya meringkuk di tempat duduknya sambil meremas tangannya sendiri.
Udah tanggalnya, batin Erin.
‘‘Erin si Bego doang deh, emang.’‘
Kening cewek pemilik nama itu mengeryit. Apakah Erin yang dimaksud adalah dirinya? Atau memang ada Erin yang lain? Untuk mendapat jawaban, tentu Erin harus menguping lebih lama.
‘‘Tapi jauh lebih bego si Rayhan, lah. Buat apa dia nunggu?’‘
Kalau sudah mendengar nama itu, Erin yakin, yang dibicarakan adalah dirinya. Tapi, tentang apa dan kenapa? Ada apa dengan dirinya?
‘‘Tunggu, tunggu.’‘
‘‘Kenapa?’‘
‘‘—tahu sendiri kan?’‘
Tahu apa, sih maksudnya? Gerakan tangan Erin yang meraut pensil melambat. Ia ingin mendengar lebih banyak. Sebanyak mungkin.
‘‘Seharusnya Erin sadar diri dikit lah. Rayhan, Tristan dan komplotannya kan emang sukanya mainin doang. Dia kelewat polos …’‘
‘’Gue curiga, dia mau banget sama Rayhan. Jangan-jangan udah pernah diapa-apain!’’