Regan
Untung saja Barry si Besar mengingatkanku kalau tidak seharusnya aku bertengkar dengan perempuan yang memukuliku dengan tas sialannya itu. Tidak sakit sama sekali, tapi lumayan atraktif untuk membuatku jadi tontonan satu kafe. Itu yang menyebalkan.
“Ada Pak Tanto di dalam?” tanyaku kepada sopir Ayah ketika kulihat sebuah sedan yang biasa dipakai orang kepercayaan Ayah parkir di halaman rumahku.
“Iya, Mas,” katanya.
Maka, aku memutuskan untuk masuk rumah lewat pintu belakang, lalu langsung masuk kamar saja. Ayah tidak melarangku keluyuran dengan geng motor besarku karena anak kolega-kolega bisnisnya juga tergabung di sana, salah seorangnya Barry si Besar. Namun, aku menghindari percakapan dengan Ayah. Belakangan ini, percakapan dengan Ayah hanya berputar masalah permintaannya kepadaku untuk mulai masuk kantornya. Ia pemilik perusahaan elektronik besar di negeri ini. Produknya mampu menguasai pasar Asia karena terkenal dengan inovasi tercepatnya. Semua mengakui ia pebisnis yang hebat.
“Posisi Bapak sekarang sulit. Bukti penyuapan sudah ada di penyidik,” kata-kata Pak Tanto barusan membuatku menghentikan langkah dan menajamkan telinga. “Saya takut, tidak lama lagi penyidik akan ….”
“Sudahlah. Kita lihat saja nanti.” Ayah memutus percakapan. Pak Tanto mengangguk.
Aku merasa dihantam, lalu terlempar. Ternyata yang sudah kucurigai selama ini terbukti. Ayah melakukan penyuapan dan sekarang posisinya terancam. Tinggal menunggu waktu untuk diciduk. Pak Tanto kemudian pamit, meninggalkan Ayah yang terpaku menatap dinding yang kosong.
Dulu, di dinding itu tergantung foto pernikahannya dengan Ibu. Sejak Ibu meninggal, Ayah melenyapkan semua barang-barang peninggalan milik Ibu. Ibu meninggal karena sakit. Suatu hari Ibu tiba-tiba drop dan dokter memvonisnya kanker stadium akhir. Saat itu, Ibu hanya bisa berbaring, Ayah merasa tidak berguna, dan aku merasa bersalah. Kami kacau hingga Ibu meninggal dua bulan kemudian.
Tidak seperti orang-orang lain yang menyimpan barang-barang milik orang yang sudah pergi, ia malah melenyapkannya. Ia tidak ingin terkenang akan Ibu. Ia bilang, masa lalu sudah seharusnya ditinggal di masa lalu. Ia berubah dari ayah yang lembut jadi ayah yang keras.
Sekarang, bukan kasihan yang kurasakan untuk ayahku yang kuat itu, tapi kecewa. Ia yang selama ini mendikteku untuk melakukan ini-itu dengan alasan kebaikan. Pada kenyataannya, rencananya untukku tidak sebaik itu. Aku bosan belajar. Seumur hidupku, ia selalu menyuruhku belajar. Ya, aku tahu, semua orangtua juga menyuruh anaknya belajar, tapi ayahku berbeda. Ia menanamkan moto di hidupku “belajar atau mati” karena itulah, aku belajar dan menguasai banyak hal yang ia pikir penting untuk melanjutkan bisnisnya.
Kupikir, aku bisa bernegosiasi dengan Ayah. Aku belajar apa pun yang ia mau dengan sebaik-baiknya, dengan harapan Ayah mengizinkan aku menekuni hobiku di dapur. Namun, justru satu hal yang aku inginkan itulah yang dilarangnya. Ia tidak ingin aku menjadi pastry chef seperti Ibu.
Katanya, seharusnya aku bisa memaksimalkan kemampuanku untuk menjalankan bisnis yang sudah dirintisnya bertahun-tahun daripada memulai bisnis kuliner dari nol yang berpotensi bangkrut. Ia lebih suka aku bermain-main dengan saham yang menurutnya lebih berguna daripada bermain-main dengan tepung. Ia beralasan, itu bukan hal yang seharusnya dilakukan laki-laki. Alasan yang aneh, ia bukan laki-laki kolot, jadi kurasa alasan sebenarnya adalah ia tidak ingin melihatku seperti ibuku yang sudah meninggal.
Ia lebih suka aku keluyuran dengan geng motor besarku daripada berkutat di dapur. Dengan kemampuan otakku, aku bisa menyelesaikan skripsiku dalam waktu seminggu. Aku sengaja menunda-nundanya untuk menguji kesabaran Ayah, seperti Ayah menguji kesabaranku.
Kurebahkan diriku di atas ranjang yang empuk, tapi tubuhku justru terasa terguncang. Aku merasa tidak mengenal diriku, tidak mengenal ayahku. Lebih dari itu, aku kehilangan arahku.
***
Tante Miranda duduk di sofa depanku dan menaruh tasnya di sampingnya. Orchid Café miliknya sudah hampir tutup. Kursi-kursi sudah dinaikkan ke meja yang sudah dibersihkan. Ia juga sudah mau pulang, hanya beberapa staf kebersihan yang masih ada. “Kenapa, Regan?” tanya Tante Miranda di tengah deru halus vacuum cleaner.
“Ayah memang terlibat kasus penyuapan,” kataku pelan.
Tiba-tiba Tante Miranda meluruskan punggungnya, wajahnya tegang, dan alisnya bertaut. Kami pernah membahasnya dan ini artinya bahaya. Tante Miranda adalah sahabat Ibu. Salah seorang terdekatku. Ia bercerai dengan suaminya sebelum mereka punya anak. Jadi, ia tinggal sendiri. Orchid Café adalah hidupnya.
“Aku kecewa sama Ayah. Aku nggak bisa di sini Tante. Kecuali, kesaksianku dibutuhkan untuk penyidikan,” kataku. Tante Miranda tahu bagaimana hubunganku dengan Ayah.
Tante Miranda mengangguk, ia pasti juga mengerti bagaimana perasaanku. “Tapi, Tante khawatir ayahmu perlu kamu di saat begini.”