Alana
Beberapa hari setelah itu, kamera reality show kuliner itu mulai sering muncul tiba-tiba di hadapanku. Bukannya aku keberatan diikuti kamera, hanya saja, aku lebih suka kalau ini kamera reality show bertema fesyen, gaya hidup, kecantikan, dan semacam itu. Aku lebih suka mereka berlama-lama menyorot ruang wardrobe-ku, bukan dapurku. Bukannya dapurku jelek. Tidak. Aku punya dapur yang mewah dengan marmer dan kitchen set yang serasi.
Aku punya peralatan masak yang canggih dan kulkas besar. Intinya dapurku megah, bersih, dan rapi. Tentu saja karena bukan aku yang menggunakannya, melainkan asisten rumah tangga. Tapi, menyorot meja riasku pasti lebih menyenangkan. Bahkan, aku tidak keberatan kalau mereka mau menggeledah tasku untuk menemukan kosmetik dan parfum apa yang aku pakai.
Momen paling menyenangkan dalam reality show ini adalah ketika tadi pagi mereka tiba-tiba datang ke rumahku dan membangunkanku. Sebenarnya tidak bisa dibilang tiba-tiba karena aku sudah tahu akan ada ritual seperti ini dari video episode terdahulu di YouTube. Jadi, sebelum mereka membangunkanku, aku sudah bangun berjam-jam sebelumnya untuk merapikan wajahku dan meriasnya dengan make-up natural.
Aku juga menata rambutku dengan gaya berantakan tapi seksi. Setelah semua persiapan tampil dengan konsep “gadis natural yang baru saja bangun tidur” selesai, mereka belum juga datang. Jadi, aku menunggu mereka sambil tidur dalam posisi duduk. Posisi yang aman untuk menjaga keutuhan make-up dan tidak menimbulkan kantong mata.
Benar saja, ketika mereka mengetuk kamarku, Jovan kagum melihatku, si gadis natural yang baru saja bangun tidur, tapi tanpa kantong mata. Sebelumnya, rekor ini hanya bisa dicetak oleh Sleeping Beauty-nya Disney. Mereka lalu merekam persiapanku untuk pergi ke lokasi tantangan. Kupersilakan mereka masuk ke ruang wardrobe-ku, lalu aku menerangkan panjang lebar tentang pakaian dan kosmetik mana yang kubawa.
Sebenarnya aku sudah bilang kepada sutradaranya, ingin mengundurkan diri dari reality show dengan tema yang tidak aku suka ini dengan alasan liburan. Tapi, kemudian Jovan nimbrung dan memojokkan aku seolah aku takut kalah saing dengan Belinda.
Akhirnya, aku tidak jadi mundur. Dengan dagu tegak aku melajutkan reality show ini. Yang paling aku takutkan bukannya kalah, melainkan terlihat bodoh di depan kamera. Aku, kan, tidak tahu apa-apa dan tidak punya waktu untuk belajar-setidaknya-praktik kilat di dapur.
Aku memutar otak, mencari strategi. Dengan bantuan manajemenku aku meminta negosiasi dengan production house-nya supaya jadwalku dilonggarkan, lagi-lagi, dengan alasan bahwa ini adalah waktu liburanku. Untunglah mereka mengabulkannya.
Jadwal syuting yang tadinya lima atau enam hari, menjadi dua minggu kurang. Ritmenya, jika hari ini syuting, hari berikutnya libur, dan hari Minggu juga libur. Pada hari yang seharusnya libur itu, aku akan belajar membuat kue yang akan menjadi tantangan besok. Dengan alasan yang sama juga, aku meminta dicarikan rumah sewa terpisah dari penginapan tempat para kru tinggal. Mereka menyetujuinya karena mereka tahu bahwa aku adalah jaminan rating bagus dan iklan mahal.
Mereka membawaku dengan sebuah van bersama Jovan dan kamerawan. Sedangkan kru lainnya dalam van terpisah. Ini masih terlalu pagi untuk sebuah perjalanan, juga karena tidurku kurang tadi malam, jadi aku kembali tidur di dalam van. Tentunya setelah memaksa kamerawan berjanji untuk tidak mengambil gambarku. Lebih tepatnya menyogoknya.
Tubuhku berguncang-guncang sehingga aku terbangun setelah entah berapa jam aku tertidur. “Baru saja mau kami bangunkan,” kata Jovan sambil memakai kembali celemeknya. “Kita sudah mau sampai. Jadi, dalam tiga detik kamera akan on, dan kami akan memakaikan penutup mata, ya.”
“Haaah, sekarang? Tunggu! Aku kan baru bangun tidur! Aku belum melihat seperti apa wajahku,” protesku sambil mencoba meraih beauty case-ku, tapi gagal karena tenaga Jovan yang berbadan subur lebih kuat menarikku.