Alana
“Wah … maaf, Kak. Strawberry cheesecake-nya sudah habis,” kata pelayan kafe dengan ramah.
Sayangnya keramah-tamahan itu tidak berpengaruh untukku. Aku tetap ingin meledak. “Apaaa?! Kenapa bisa habis?!” jeritku. Beberapa orang di kafe itu mendelik heran ke arahku, lengkungan bibir pelayan tadi jadi ke arah sebaliknya. “Aku udah janji sama Aidan akan bawa strawberry cheesecake. Sekarang cheesecake-nya kamu habisin, terus aku gimana?” Sudahlah, percuma aku melolong, dia cuma bisa bengong.
Ini semua gara-gara fotografer yang datang telat tadi. Semoga saja dia menjadi batu. Kalau fotografer—yang kukutuk menjadi batu—itu tidak terlambat, tentu aku tiba di kafe ini tiga puluh menit yang lalu dan tidak akan kehabisan strawberry cheesecake. Demi strawberry cheesecake pula, aku bahkan tidak sempat menghapus make-up pemotretan tadi. Aduh, tadi make-up artist-nya pakai merek apa ya? Semoga saja bukan pupuk sulap jerawat. Kosmetik murah yang kalau nempel agak lama sedikit bisa bikin jerawat tumbuh gemuk dan subur.
Jadi, sekarang bagaimana? Masa gara-gara kehabisan strawberry cheesecake aku nggak jadi datang ke apartemen Aidan, sih? Ini, kan, kali pertama Aidan mengundangku ke apartemennya. Sebuah langkah bagus dalam kemajuan hubungan kami. Apartemen itu kan property pribadi, kalau seseorang mengundangmu masuk, berarti ada kemungkinan ia juga akan mengundangmu masuk ke dalam hidupnya. Dan, itu semua akan berantakan gara-gara strawberry cheesecake. Beginilah perasaan Bandung Bondowoso ketika ayam berkokok.
Tiba-tiba pandanganku terpaku kepada seorang laki-laki berjaket kulit keren dengan pakaian serbahitam. Ia duduk di sofa sudut kafe. Di mejanya ada strawberry cheesecake yang masih utuh bertengger dengan manisnya. Oh, aku sampai terharu melihatnya.
Aku langsung memelesat ke arah lelaki itu, tapi setelah agak dekat, aku melambat. Langkahku jadi ragu. Laki-laki itu duduk dengan gerombolan teman-temannya. Kalau teman-temannya orang normal, mungkin tidak akan jadi masalah. Masalahnya, temannya yang sekitar sepuluh orang itu—semuanya, termasuk dia—berwajah macam preman dan bergaya macam bandit. Mereka pasti pembunuh bayaran. Minimal tukang jagal.
Hanya ada satu orang yang tampak normal. Seorang perempuan yang tampak lebih tua dari cowok-cowok itu. Ia mengenakan blus tanpa lengan dengan leher berdraperi dan celana jins. “Ayo nyanyi!” perintah perempuan itu galak.
“Nggak ah, Tante. Kaya ulang tahun anak kecil aja,” kata salah seorang dari mereka, yang paling besar, takut-takut.
Yang dipanggil Tante memelotot dan langsung menjewernya.
“Aaa ...,” jerit si besar.
Yang lain langsung melihatnya horor. Lalu, dengan wajah melas, mereka bertepuk tangan dan bernyanyi pelan, hampir berbisik, “Happy birthday to you ....”
Hanya satu orang yang terlihat bahagia menikmati penyiksaan teman-temannya, yaitu cowok dengan jaket kulit keren tadi.
Si tante belum puas. “Yang kenceng dong, ah ... gimana, sih, ... ulang tahun temennya sendiri juga!”
Otomatis mereka bernyanyi lebih keras dengan wajah lebih melas. “Happy birthday ....”
Aku menunggu mereka dengan sabar sampai kor mereka berakhir dan bertepuk tangan. Cowok berjaket keren yang berulang tahun itu meniup lilin berbentuk angka 17. Hah, konyol! Bohong banget. Dia pasti lebih tua dariku. Setidaknya dia sekitar 24 tahun. Lalu, dia meraih pisau dan akan memotong cheesecake-nya!
“Tunggu!” jeritku tepat sebelum pisau itu mengenai cheesecake-nya.
Tatapan gerombolan sangar itu langsung mengarah padaku.
Ini sama saja masuk ke kandang macan yang sedang tidur sambil tiup trompet. Jadi, aku akan punya dua masalah. Pertama, aku akan mengambil kue ulang tahun seseorang. Kedua, seseorang itu dan teman-temannya mungkin pembunuh bayaran. Tapi ... demi strawberry cheesecake yang ada di mejanya itu, aku memberanikan diri melangkah mendekati gerombolan itu.
“Permisi,” potongku tidak sabar. Pesta anggota tukang jagal nusantara itu pun terhenti. Mereka memperhatikanku dengan tatapan aneh.
Apanya yang aneh, sih? Sepatu Manolo Blahnik setinggi tujuh senti, sudah pasti fashion item yang nggak mungkin punya salah. Dress floral Dolce & Gabbana ini juga barang hot. Lalu, tote bag Fendi ini, memang bikin terkesima sih, barang baru yang bahkan belum masuk Indonesia. Tapi, bukan berarti mereka boleh melihatku dengan aneh begitu, dong.
Beberapa dari mereka mengenakan kaus bertuliskan “X Klub Motor Besar”. Oh … jadi mereka anak geng motor besar. Pantas saja sebelum masuk kafe tadi, aku melihat jajaran motor-motor besar di parkiran. Tapi, memangnya mereka harus pakai kostum begini, ya? Mereka rata-rata mengenakan jaket kulit. Gradasi warnanya dari hitam ke cokelat tua saja. Hmmm apa mereka belum tahu ada jaket kulit sintetis warna-warni sekarang?
Dulu memang terlihat murahan, tapi sekarang jadi pilihan. Sejak kampanye perlindungan hewan langka, pemakai jaket sintetis jadi lebih terlihat manusiawi. Desainer-desainer pun menciptakan jaket-jaket sintetis dengan berbagai pilihan model. Apa aku perlu memberi tahu mereka tentang perkembangan jaket sintetis ini?
Nah, cowok yang berkulit paling hitam itu, kenapa dia ikut-ikutan pakai jaket hitam juga? Kenapa dia nggak coba jaket kulit warna pink pudar. Jangan salah, sekarang cowok-cowok banyak, kok, yang pakai warna itu dan baik-baik saja.
Lihat, kebanyakan dari mereka memanjangkan rambut dan mengikat ekor kuda. Kira-kira, apa cowok-cowok ini juga rajin keramas dan creambath di salon? Aku jadi membayangkan saat mereka datang ke salon. Mbak-mbak salon pasti langsung kocar-kacir sambil teriak, “Rampok!”
Lalu, sepatu bot. Oke, kalau ini aku juga suka. Beberapa dari mereka sudah pandai memilih bot yang modelnya sedang in. Lainnya, tampak seperti barang curian dari koboi zaman batu. Pernak-pernik seperti kalung dan gelang rantai seperti jadi aksesori wajib geng ini. Bahkan, kulihat tato tersembul dari balik lengan jaket kulit atau kaus tanpa lengan mereka. Pemilihan motif pun sepertinya sudah dipertimbangkan masak-masak. Semua bentuk itu mengacu pada satu kesimpulan, yaitu “mematikan”. Naga, ular, harimau, kalajengking, tengkorak, dan pisau. Oh, sebaiknya aku tidak berlama-lama berurusan dengan mereka.
“Ehmmm ….” Suara salah seorang dari mereka, entah yang mana. Rupanya bandit-bandit ini sudah menungguku bicara, sementara aku mengomentari selera fesyen mereka dalam hati.
“Selamat ulang tahun,” kataku dengan ceria. Tidak ada yang membalas, termasuk cowok yang berulang tahun. Mereka masih melihatku heran seolah aku pakai pakaian astronaut. Mungkin mereka tidak suka basa-basi. “Oke, gini, aku perlu bantuan ....” Aku memberanikan diri. “Aku perlu kue ulang tahun kamu. Iya, aku tahu kamu lagi ulang tahun, tapi ... aku benar-benar perlu cheesecake-nya,” bujukku baik-baik. “Kamu jual berapa?”
Transaksi dengan persatuan tukang jagal nusantara ini harus berlangsung cepat. Laki-laki pemilik kue ulang tahun itu mengangkat punggungnya dari sandaran sofa dan menatapku curiga dengan matanya yang dalam dan tajam. Kenapa begitu, sih? Aku kan minta baik-baik, nggak tiba-tiba nyolong.
Cowok berjaket kulit itu menengadah. Dengan begitu, aku bisa melihatnya lebih jelas. Ngomong-ngomong ... cowok itu punya lekuk wajah yang begitu tegas, paduan alisnya yang hitam dan matanya yang tajam begitu mengagumkan. Hidungnya mancung, saking sempurnanya hidung itu, aku jadi curiga itu barang palsu. Dan, bisa-bisanya ada bentukan kumis, janggut, dan jambang halus yang terukir tepat. Memberi kesan yang sangat … maskulin, khas cowok model iklan deodoran.
Dari jajaran anggota tukang jagal nusantara ini, aura leader paling santer tercium dari cowok ini. Selera fesyennya juga nggak jelek-jelek amat jika dibandingkan teman-teman satu gengnya. Jaket dan botnya bukan merek sembarangan dengan harga selangit. Cuma dewa yang bisa bayar. Dia pasti bukan orang sembarangan.