Pagi ini, perut Nara yang bergoyang dangdut menyapa. Biasanya matahari menyapa di celah ventilasi. Ia berusaha membuka matanya dan memegang perut sepertinya kelaparan. Ia beranjak dari tempat tidur, merapikan selimut dan mengambil handuk yang tersampir.
Crekkk, Nara membuka pintu kamarnya; memang menimbulkan bunyi khas karena tidak diolesi minyak. Ia tidak mendengar suara dari bawah mungkin Kak Yani belum bangun. Segera, ia masuk ke kamar mandi karena wangi dari sabun mandi sudah menghipnotisnya.
Nara mengenakan pakaian dengan motif batik, ia mempunyai beberapa warna; hijau, ungu, merah, dan hitam. Ia padankan dengan celana jin berwarna hitam. Ia menyisir rambutnya dengan rapi dan memulaskan bedak pada pipi.
“Nara,” teriak Kak Yani.
“Iya Kak.”
Nara buru-buru mengambil tas dan mengunci pintu kamarnya. Suara langkah kakinya terdengar karena berjalan terburu-buru.
“Hati-hati, Nara,” kata Kak Yani duduk di sofa.
“Iya Kak,” balasnya dengan napas terengah-engah.
“”Nara, kita beli nasi uduk di bawah. Mau tidak?”
“Iya mau, Kak.”
Mereka berdua keluar dari rumah yang disebut mes. Kak Yani berjalan terlebih dahulu karena ia yang tahu tempatnya. Terlihat dari jauh, sebuah warung terbuat dari geribik bercat putih. Ada seorang Ibu sedang melayani pembeli yang lain, giliran mereka tiba.
“Mau berapa bungkus, Neng?” tanya Ibu penjual nasi uduk.
“Makan di sini saja, Bu. Dua piring, jangan terlalu banyak.”
“Iya, Neng. Pakai sambal tidak?”
“Pakai, Bu.”
“Silakan duduk di sebelah, Neng.”
Sebuah meja panjang dengan tiga kursi plastik, tepat di samping warung. Kak Yani dan Nara duduk berhadapan. Ibu penjual nasi uduk memberikan dua gelas air putih untuk mereka.
“Kak, sopir tahu tidak kalau kita ada di sini?” tanya Nara.
“Pasti tahu, Nara. Lagi pula, sopir yang mengantar Kak Yani belum datang.”
“Iya sudah, Kak.”
“Tenang saja. Mereka pasti menunggu lagi pula ini belum jam 7.”
“Iya, Kak.”
Ibu penjual nasi uduk menghampiri mereka dengan membawa dua piring berisi nasi uduk. Nasi uduk dengan pelengkapnya yaitu telur goreng, sambal, kering tempe, kerupuk, serta taburan bawang goreng di atasnya.
“Neng, ini nasi uduknya.”
“Terima kasih, Bu.”
Nara mengambil sikap doa sebelum makan, laku diikuti oleh Kak Yani. Mereka makan secara perlahan dan diringi obrolan ringan. Tidak butuh lama sepiring nasi uduk sudah habis dilahap mereka berdua. Tidak lama suara klakson motor memberikan sinyal pada Kak Yani.