Pagi yang cerah terlihat dari awan yang biru, jika berjalan ke arah rumah bos terlihat pemandangan yang menakjubkan. Terlihat birunya laut, kapal-kapal kecil yang bersandar dan dinginnya udara pagi. Semoga suasana di kantor tidak sedingin udara pagi ini. Tidak ada yang beda dan masih sama dengan hari sebelumnya. Jalan ke rumah bos, sarapan di sini, dan pergi ke kantor dengan mobil yang sudah siap bersama sopirnya.
Penjemputan mobil juga tidak ada yang berbeda, masih dengan rute yang sama. Tiba-tiba ponsel Jarot berbunyi panggilan telefon. Ia menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan telefon.
“Halo. Iya Kak Lingga.”
“Jarot, kamu sudah jalan ke arah Kak Gemani?”
“Iya ke arah sana. Gimana?”
“Jemput saya dahulu, sudah jauh belum.”
“Belum jauh kok. Iya saya jemput.”
Panggilan telefon ditutup oleh Jarot dan ia memutar mobilnya menuju arah yang berbeda. Ia cukup cepat membawa mobil dengan keahliannya mungkin sebelum kerja di sini, ia kerja sebagai sopir bus. Terlihat dari caranya memegang setir mobil.
Tiga puluh menit kemudian sampai di depan rumah Kak Lingga. Seorang pria mengenakan pakaian kemeja berwarna abu serta celana kain berwarna hitam. Kemeja yang dimasukkan membuat penampilannya berwibawa. Kurang satu pada penampilannya, dasi.
“Hai, Nara,” sapa Kak Lingga.
“Hai, Kak.”
“Saya ikut mobil sini. Tidak papa kan?”
“Tidak papa, Kak.”
“Rapi benar Kak Lingga. Mau ada acara apa?”
“Kak Jenar meminta ditemani menemui klien, katanya sih mau nagih pembayaran batu.”
“Jam berapa Kak?”
“Kurang tahu. Sepertinya sebelum makan siang. Nanti saya bilang untuk pergi denganmu.”
“Iya, Kak.”
Nara melihat wajah semringah Jarot ketika akan diajak. Ia tidak habis pikir bukankah seharusnya memang mengantar. Lalu ada apa dengan sendirinya itu. Apa ia merasa bosan jika duduk saja di kantor?. Entahlah Nara mengalihkan pandangannya keluar.
Kak Gemani sudah menunggu dari tadi. Ia duduk di bangku milik bengkel. Wajah sedikit kesal diperlihatkan oleh Kak Gemani.
“O ada Lingga. Rapi benar.”
“Iya Kak. Maaf menunggu lama tadi Jarot jemput saya dahulu.”
“Iya tidak papa. Mau pergi kemang, Ga?”
“Mau nagih sama Kak Jenar.”
“O ke tempat itu.”
“Iya Kak.”
Tujuan terakhir sebelum sampai ke kantor, menjemput Kak Jenar dan Mbak Elok. Mereka berdua sudah menunggu di depan rumah Kak Jenar. Mobil menepi tidak jauh dari mereka berdiri.
“Lama amat Jarot,” tegur Kak Jenar.
“Maaf, Kak. Jarot menjemput saya,” bela Kak Lingga.
“Pantas saja lama. Nanti jam 10 kita pergi sama Jarot. Biar cepat selesai dan pulang. Saya kesal sama Bapak dan anaknya. Uang saja yang dibicarin, malam itu saya tidur malah ditelefon terus,” gerutu Kak Jenar.
Mereka termasuk Nara yang berada di dalam mobil hanya mendengarkan tanpa berani memberikan komentar. Lalu Nara membatin melihat suasana yang tiba-tibq menjadi hening, apakah mereka hanya berbicara jika ada hal penting. Nara langsung ingat dengan perkataan Kak Yani untuk tidak memberikan komentar jika tidak ditanya.
Sesekali mobil menyapu mobil yang lain, sehingga debu menyapu jalanan. Mobil mengantar sampai di kantor, seperti biasa Mbak Elok turun dari mobil terlebih dahulu untuk membuka pintu kantor.
Suara mesin fax berbunyi terdengar dari ruangan Kak Jenar.
“Nara ikuti Jenar ke ruangannya. Ada laporan penjualan di mesin fax,” kata Kak Gemani.
“Iya, Kak.”
Nara mengekori Kak Jenar berjalan sambil menunggu membuka pintu ruangannya.
“Ada apa Nara?” tanya Kak Jenar.
“Saya diminta untuk mengambil laporan penjualan.”