Suara kicauan burung seolah membangunkan Nara, ia masih memakai selimut kesukaannya. Suara gemricik air keran terdengar sampai kamar. Perlahan, ia mencoba membuka mata yang begitu lengket. Tubuhnya berkeringat karena sinar matahari yang menyapa. Berhasil, ia membuka mata dan melipat selimut dengan rapi.
“Heh sudah pagi lagi,” ucap Nara melihat burung yang bertengger pada ranting pohon.
Nara membawa handuk dan membuka pintu kamar, jarak lima langkah menuju kamar mandi. Ia membersihkan diri dan tidak lupa mencuci pakaiannya. Selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi, Nara keluar dengan balutan handuk menutupi tubuhnya. Ia lupa membawa pakaian ke kamar mandi.
Nara membuka lemari dan menemukan pakaian dengan motif batik, rata-rata pakaian yang dimiliki beragam motif batik. Ia memakai pakaian, memulas wajah dengan bedak tabur, dan mengoleskan pewangi pada ketiak. Ia siap untuk membuka pintu kamar dan berjalan ke bawah.
Nara duduk di sofa ruang televisi yang bersebelahan dengan ruang tamu. Ia menunggu Kak Yani.
“Tidak biasanya, kamu cepat sekali.”
“Iya, Kak.”
“Ayo kita berangkat. Kamu kunci pintu.”
Kak Yani berjalan lebih dahulu sedangkan Nara mengunci pintu; pintu masuk yang terbuat dari kayu dan pintu gerbang. Keduanya berjalan menanjak seperti biasa dilakukan setiap akan pergi sarapan.
“Sarapan, Neng,” sapa seorang Pria berumur 65 tahun.
“Iya, Pak,” balas Kak Yani.
Kak Yani membuka gerbang yang lumayan berat dengan ketinggian yang lumayan. Terdapat satu gerbang ukuran kecil sebelum yang harus dilewati sebelum ke pintu utama.
Makanan sudah berjejer di meja dengan rapi mungkin Pembantu di rumah menyiapkan walaupun hanya memanaskan saja. Kak Yani berjalan ke arah penanak nasi berada. Ia ingin memastikan nasi masih ada sebelum mengambil piring.
Kak Yani menggangguk, tanda untuk Nara mengambil dua piring, dua sendok dan garpu. Mereka meletakkan tas di kursi di samping mereka. Mereka mengambil nasi terlebih dahulu dengan jarak lima langkah. Di ruangan itu terdapat dua meja makan; satu meja berukuran besar dan memanjang cukup untuk 8 orang duduk di kursi, satu meja lagi berbentuk bulat dengan meja dibuat berputar cukup untuk 4 orang duduk di kursi.
Nara celingak-celinguk mencari keberadaan anak bos. Ia belum pernah melihat seperti apa sosok ana bos. Gosip di kantor mengatakan kalau ia boros karena setiap seminggu sekali meminta uang pada Kak Gendhis. Bos mempunyai dua anak dan Nara belum bertemu dengan keduanya.
Mereka menikmati sarapan sembari melihat jam di dinding. Suara klakson memberikan tanda untuk mereka menyelesaikan sarapan. Keduanya berjalan bersamaan ke tempat mobil di parkir.
Nara berlari kecil supaya cepat sampai, tetapi tidak dengan Kak Yani. Ia berjalan santai seperti tidak diburu waktu.
Mobil yang membawa Nara, berangkat. Mobil yang dikendarai Jarot tidak menjemput Kak Lingga sehingga mobil dikendari dengan cepat. Sosok wanita yang menunggu tidak ada, tetapi dari kejauhan terlihat sosok itu sedang berjalan cepat mungkin ia merasa bersalah karena berpikir Nara dan Jarot menunggu terlalu lama.
“Maaf menunggu,” ucap Kak Gemani menaiki mobil.
“Tidak papa, Kak,” balas Jarot.
Jarot menjalankan presneling mobil dan kemudi, mobil bergerak. Penjemputan selanjutnya adalah Kak Jenar. Debu-debu halus dan kemacetan menemani menuju rumah Kak Jenar.
Seorang wanita mengenakan tas berwarna hitam dan tas kecil berwarna merah. Ia menerima telefon mungkin dari bos. Ia sulit untuk membuka pintu mobil dan Nara membantu membuka pintu mobil.
Kak Jenar duduk di sebelah Nara, wangi parfum bermerek mengisi udara di mobil. Wanginya membuat Nara ingin bertanya, tetapi jelas saja harga tidak akan membohongi. Bahkan, tas yang dipakai mungkin berharga dua juta. Wajar saja karena jabatannya di kantor bisa membeli dengan mudah tanpa berpikir panjang.
Tepat sepuluh menit sampai di kantor, Satpam membuka pintu gerbang berwarna hijau dan menyapa dengan seyumannya. Mobil berhenti dan mereka satu per satu turun dari mobil. Mbak Elok tidak ikut dengan mereka karena diantar oleh suaminya.
“Nara, laporan penjualan,” kata Kak Jenar membuka pintu ruangan.
“Iya, Kak.”
“Pakaianmu motif batik semua?”
“Iya, Kak.”
Nara menunggu di samping mesin fax karena laporan penjualan belum dikirim dari pabrik. Suara mesin fax terdengar sangat jelas, laporan penjualan tercetak sangat jelas. Namun, ia memfotokopi supaya tinta tidak hilang dan terlihat jelas. Tidak lupa ia menghancurkan kertas hasil cetak mesin fax. Ia berjalan menaiki tangga menuju ruangannya bersama Kak Gemani dan Kak Lingga.