DI SUDUT kantin yang lebih mirip terminal bus daripada tempat makan, Anggra duduk dengan gaya sok berwibawa—sepatu rapi sempurna, tangan nyelonjor di meja, dan tatapan kosong ke arah lontong sayur yang sudah dingin. Di sebelahnya, Zidan sibuk mengaduk-aduk es teh seperti juru ramal mencari petunjuk di dasar gelas, sementara Bima dan Raka sedang asyik debat topik yang tidak jelas juntrungannya.
"Gue tetap yakin kalo alien itu ada!" Ujar Bima dengan penuh keyakinan, menunjuk ke langit-langit kantin seolah-olah makhluk luar angkasa sedang nongkrong di situ sambil makan gorengan.
Raka menatapnya lama, lalu mengangkat satu alis. "Serius? Lo percaya alien ada tapi nggak percaya kalo nasi Padang lebih enak dimakan pake tangan? Prioritas lo tuh gimana sih?"
Bima mendesah dramatis, meletakkan tangannya di dada seolah baru saja dihina. "Raka, lo tuh manusia yang kurang wawasan. NASA udah nemuin exoplanet yang bisa dihuni, dan kemungkinan besar ada kehidupan di sana. Coba pikir, kalo alien itu ada, mereka pasti juga punya budaya makan sendiri. Siapa tau mereka punya versi nasi Padang mereka sendiri, tapi dimakan pakai tentakel."
Raka menatapnya makin tidak percaya. "Lo tuh kenapa sih? Lo mimpi didatengin alien terus diceramahin soal etika makan?"
Zidan, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut buka suara. "Woi, ini kantin, bukan forum debat akademik. Makan aja dulu, alien juga nggak akan peduli kalo lo kelaperan."
"Tapi coba pikir deh," Bima kembali menyela, matanya berbinar penuh semangat. "Kalo alien itu punya telepati, apakah mereka masih perlu ngobrol saat makan malam? Atau semua komunikasi cukup terjadi di otak mereka? Bayangin kalau lo bisa langsung ngerti rasa makanan tanpa perlu nelen."
Raka mendecak. "Itu bukan makan namanya, tapi pengalaman rasa virtual. Kalo kayak gitu, buat apa punya mulut? Buat pajangan?"
"Ya mungkin mulut mereka bukan buat ngobrol, tapi buat sesuatu yang lain, misalnya buat bernapas atau mengeluarkan suara ultrasonik kayak lumba-lumba," Bima menanggapi dengan penuh teori.
Zidan hanya menggeleng, mencoba tetap waras di tengah teori absurd ini. "NASA aja belum bisa nemuin bukti pastinya kalo alien punya telepati, tapi lo udah bisa seyakin itu kalo mereka nggak perlu ngobrol saat makan?"
"Tapi beneran, bro! Lo tau nggak, nih, kalo ada teori alien yang lebih cerdas—mungkin dia berkomunikasi pake gelombang elektromagnetik daripada suara biasa? Itu udah dibahas di beberapa penelitian soal kemungkinan cara komunikasinya makhluk luar angkasa," Bima menambahkan dengan wajah serius.
Raka menghela napas berat. "Gue bisa terima kalo alien ada, tapi kalau mereka makan tanpa ngobrol, itu nggak masuk akal. Masa mereka nggak perlu debat sama temen aliennya kayak kita gini?"
Di tengah kehebohan itu, Fiona tiba-tiba muncul dengan nampan berisi bakso yang mangkoknya lebih besar dari kepalanya sendiri. Dia menarik kursi di sebelah Anggra tanpa permisi, lalu menatap isi meja mereka dengan kening berkerut.