DI DALAM kamar yang hanya diterangi cahaya layar laptop dan lampu tidur redup, Fiona menyandarkan kepalanya ke bantalan kursi. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, mengetik balasan untuk Jihan yang sudah menunggu di ujung lain dunia maya.
Anggra: "How's ur day? Lo kayaknya sibuk banget akhir-akhir ini."
Balon chat Jihan muncul beberapa detik kemudian.
Jihan: "Capek, tapi masih aman lah,"
Jihan: "Eh, tapi kalo ngobrol sama lo bisa jauh lebih enteng, hehehe."
Fiona tersenyum kecil, meski Jihan tidak bisa melihatnya. Ada sesuatu dalam caranya mengetik yang terasa begitu nyata—seolah kehangatan itu bisa dirasakan hanya dengan membaca kata-katanya. Setiap percakapan mereka, seperti menciptakan ruang baru yang hanya bisa mereka tempati berdua.
Sejak pertama kali Fiona—atau lebih tepatnya Anggra mengirim pesan iseng di aplikasi kencan, semuanya berkembang tanpa rencana. Jihan membalas dengan polos, lalu mereka terus berlanjut hingga menjadi rutinitas yang aneh tapi adiktif. Fiona tidak pernah berniat memulai hubungan ini, tetapi setiap kali Jihan muncul dengan pertanyaan sederhana seperti, "Lo udah makan?" atau "Hari ini ngapain aja?", dia merasa sulit untuk mengabaikannya.
Kadang Fiona lupa kalau dia sedang berpura-pura. Kata-kata yang ia ketik sebagai Anggra seringkali mencerminkan dirinya sendiri, hanya saja dengan sentuhan lebih maskulin, lebih lugas. Jihan menyukai sisi itu. Jihan menyukai Anggra.
Jihan: "Menurut lo, gue aneh nggak sih? Padahal kita belum pernah ketemu, tapi lo kayak selalu ngertiin gue."
Fiona menelan ludah. Ia mengetik balasannya dengan hati-hati.
Anggra: "Nggaklah, nggak aneh. Kadang orang yang nggak lo kenal langsung justru bisa lebih ngerti lo daripada orang yang ada di sekitar lo setiap hari."
Jihan lama tidak membalas. Fiona menggigit ujung kukunya, sedikit gelisah. Ia menatap layar, menunggu, lalu akhirnya notifikasi muncul lagi.
Jihan: "Iya sih, lo benar. Gue emang lebih nyaman cerita sama stranger, makanya gue cerita ke lo, hahaha ... kayak, gue bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi."
Fiona menahan napas. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengakui segalanya-bahwa dia bukanlah Anggra, bahwa dia hanya seorang gadis yang tanpa sadar telah jatuh ke dalam percakapan ini terlalu dalam. Tapi di sisi lain, ia takut. Takut menghancurkan tempat aman yang telah mereka bangun bersama.
Di meja kecil di sampingnya, ponsel Fiona bergetar. Nama Anggra muncul di layar.
Dengan cepat, Fiona mengangkatnya.
"Lo sibuk?" tanya Anggra dengan suara berat khasnya.
Fiona menatap layar laptopnya, lalu menghela napas. "Enggak." Jawabnya, "lo bisa kirimin foto nggak, Bang? Yang biasa aja. Nggak perlu kelihatan banget muka lo-nya."
Hening sejenak, lalu Anggra mendesah. "Jihan lagi?"
"Kenapa dia?"
"Nggak sih, gue cuma mau ngasih dia semangat aja." Fiona menutup matanya.
Anggra menggerutu pelan, tapi tak menolak.
Beberapa saat kemudian, notifikasi masuk di ponselnya—sebuah selfie sederhana, pencahayaan sedikit redup, dan wajah Anggra hanya terlihat separuh. Tepat, sangat cukup untuk menjaga ilusi ini tetap berjalan.
Fiona memperhatikan foto itu sejenak, kemudian tersenyum simpul.