DI RUMAH yang luas dan megah itu, hanya ada kesunyian yang sesekali dipecahkan oleh suara televisi dari ruang tengah. Orang tua mereka, seperti biasa, sibuk dengan urusan bisnis dan jarang pulang sebelum larut malam. Satu-satunya orang dewasa yang tinggal bersama mereka hanyalah Bu Sari, asisten rumah tangga yang sudah mengabdi selama belasan tahun. Meski begitu, rumah itu tetap terasa kosong.
Fiona berjalan ke dapur dengan segelas air di tangannya. Dari jendela, ia bisa melihat beberapa teman Anggra sudah berkumpul di teras, mengobrol santai sambil sesekali tertawa keras. Mereka menunggu Anggra, yang pasti sedang bersiap-siap untuk sesuatu yang sudah bisa ditebak Fiona.
Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar di tangga. Anggra muncul dengan jaket kulit hitamnya, celana jeans gelap, dan sepatu boots yang sudah menjadi ciri khasnya setiap kali akan turun ke jalanan. Ia berjalan santai menuju pintu, tapi Fiona sudah lebih dulu menghadangnya di ruang tamu.
"Lo seriusan?" Tanya Fiona tanpa basa-basi.
Anggra mengangkat alisnya, lalu menoleh ke arah jendela, melihat teman-temannya yang masih menunggu. "Iya. Kenapa?"
Fiona mendengus pelan. "Lo nggak capek tiap kali nama dia muncul, lo langsung terpancing?"
Anggra menyeringai tipis. "Gue nggak terpancing. Gue cuma nggak suka kalau dia merasa bisa ngalahin gue."
Fiona melipat tangan di dadanya, menatap kakaknya dengan ekspresi skeptis. "Dan lo pikir itu alasan yang cukup bagus buat ngelakuin sesuatu yang bisa bikin lo celaka?"
"Gue tahu batas gue, Fi," balas Anggra santai. "Lo terlalu khawatir."
"Gue khawatir karena lo abang gue," Fiona mendesah, nada suaranya sedikit melembut. "Dan kalau sesuatu terjadi sama lo, lo pikir siapa yang bakal urusin? Mamah sama Papah? Mereka bahkan nggak tahu lo ngelakuin hal ini."
Anggra terdiam sejenak, tapi hanya beberapa detik sebelum ia menghela napas panjang. "Dek, gue udah janji sama anak-anak. Gue nggak bisa mundur."
Fiona menatapnya dengan frustrasi, lalu akhirnya menyerah. Ia tahu bagaimana keras kepalanya Anggra. "Baiklah. Tapi setidaknya, jangan bertindak bodoh."
Anggra tertawa kecil, mengacak rambut Fiona sebelum berjalan ke pintu. "Gue selalu bertindak dengan kepala dingin. Jangan khawatir."
Fiona hanya bisa menggeleng pelan saat Anggra keluar menemui teman-temannya. Perasaannya tetap tidak enak, tapi ia tahu, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah keputusan kakaknya. Yang bisa ia lakukan hanyalah berharap malam ini berjalan tanpa masalah.
Setelah Anggra pergi, rumah kembali sunyi. Fiona berdiri di ambang pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini hanya menyisakan suara deru motor yang semakin menjauh. Ia menarik napas panjang, lalu menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya.
Di rumah sebesar ini, keheningan terasa lebih menusuk. Ia berjalan ke ruang tengah, lalu menjatuhkan diri ke sofa dengan malas. Matanya menatap langit-langit, mencoba mengusir rasa khawatir yang mengendap di benaknya. Namun, pikiran tentang Anggra yang tengah balapan liar di jalanan tidak bisa sepenuhnya ia abaikan.