SABTU sore, Jihan dan Dina akhirnya tiba di sebuah kafe tersembunyi yang mereka temukan dari rekomendasi di media sosial. Letaknya cukup terpencil, tersembunyi di balik gang kecil dengan lampu-lampu gantung yang memberikan nuansa hangat sejak pertama kali mereka melangkah masuk. Bangunan kafe ini bergaya rustic dengan dominasi kayu dan tanaman rambat yang menjuntai di beberapa sudutnya. Aroma kopi yang khas langsung menyambut begitu mereka membuka pintu.
"Gila! Ini sih cozy banget, setuju nggak?" Dina berseru pelan, matanya berbinar melihat interior yang estetik dengan pencahayaan temaram. Beberapa pelanggan terlihat sibuk dengan laptop mereka, sementara yang lain duduk santai menikmati obrolan ringan.
Jihan hanya mengangguk, tersenyum tipis. Ia memang suka tempat seperti ini—tenang, tidak terlalu ramai, dan punya atmosfer yang mendukung untuk sekadar membaca buku atau menikmati segelas kopi dalam diam.
"Nggak salah pilih tempat, kan?" Katanya sambil berjalan ke meja di dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar.
Mereka duduk berhadapan. Dina langsung membuka menu dan mulai mengamati daftar minuman dengan antusias. "Gue pengen sesuatu yang manis. Lo mau pesan apa?"
Jihan menatap menu sebentar, lalu memilih Caramel Macchiato dengan sedikit modifikasi—tanpa vanilla syrup dan tambahan satu shot espresso. Ia memang lebih suka rasa kopi yang lebih dominan. Sementara Dina, seperti dugaannya, memesan minuman cokelat dengan whipped cream yang melimpah.
Saat pesanan mereka tiba, Jihan mengaduk pelan minumannya, mengamati busa tipis yang terbentuk di permukaan. Dina, di sisi lain, sudah sibuk memotret minumannya dari berbagai sudut. "Ini pasti bakal aesthetic banget kalau gue upload ke story," katanya sambil tersenyum puas.
Jihan hanya tertawa kecil. "Lo lebih banyak motoin makanan daripada makannya, Din."
Dina mendengus pelan, lalu akhirnya menyesap minumannya. "Gue harus capture the moment dulu, Ji. Biar kenangannya ada. Lo juga harus coba sesekali."
Jihan menggeleng kecil. Baginya, menikmati momen secara langsung lebih berarti daripada sibuk mengabadikannya di layar ponsel. Ia lebih suka mengingat sensasi hangatnya kopi, suara lembut musik jazz yang mengalun di latar, dan cahaya matahari sore yang menyelinap masuk melalui jendela besar di sebelahnya.
Sambil menikmati minumannya, mereka mulai berbincang tentang berbagai hal—tentang sekolah, tentang rencana akhir pekan, bahkan tentang buku yang sedang dibaca Jihan. Suasana terasa nyaman, tanpa tekanan. Di tempat ini, waktu seakan melambat, memberi mereka ruang untuk bernapas dan menikmati kebersamaan yang sederhana.
"Lo tau nggak, Ji? Gue seneng banget kita akhirnya bisa hangout bareng lagi gini. Rasanya udah lama banget nggak ada waktu santai kayak gini," kata Dina sambil tersenyum.
Jihan mengangkat alisnya sedikit, lalu tersenyum kecil. "Iya, ya. Kadang kita terlalu sibuk sampai lupa buat nikmatin hal-hal kecil kayak gini."
Dina mengangguk setuju, lalu menyesap minumannya lagi. Di luar, matahari mulai meredup, menyisakan semburat jingga yang perlahan-lahan tenggelam di balik gedung-gedung. Jihan menghela napas panjang, merasa damai.