Sembilan tahun kemudian,
Panasnya udara Jakarta siang ini seolah merefleksikan perasaan Nevano Abraham, pemuda berusia 27 tahun itu. Baru saja Nevano menjejakan kaki di kota kelahirannya setelah menempuh perjalanan dua puluh jam dari New York kemari sekitar satu jam lalu, tetapi ia malah harus mendengar permintaan papanya—Rafianto Abraham—yang sangat menyebalkan.
"Jadi, Papa nyuruh aku pulang ke Jakarta cuma harus ngurusin perusahaan Papa yang mau bangkrut itu?" geram Nevano sambil mendengkus.
Rafianto yang tengah mengiris steak di piring, menatap putra sulungnya sambil menghela napas panjang. "Papa tidak bisa mengurus dua perusahaan sekaligus. Siapa lagi kalau bukan kamu yang bakal mengurusnya?"
Nevano menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Senyuman mengejek tersungging di bibirnya. "Kenapa nggak suruh anak kesayangan papa aja, si Levi? Kenapa harus Nevano?"Â
"Kamu adalah putra tertua di keluarga ini. Jadi, sudah sepantasnya kalau kamu membantu papa di perusahaan."
Nevano tiba-tiba mengeluarkan dengus tawa. Ucapan papanya itu terasa sangat menggelikan.
"Kenapa kamu tertawa?" Rafianto menyipitkan mata.
Saat itu seorang pelayan datang menghampiri meja mereka, memberikan buku menu pada Nevano yang memang baru tiba beberapa saat lalu di restoran berbintang lima ini. Salah satu restoran favorit Rafianto Abraham untuk menyantap makan siang. Menu yang tak jauh-jauh dipesan oleh pria berusia 55 tahun itu adalah Steak Wagyu kadang kala Foie Grass yang merupakan hati angsa berlemak. Rafianto memiliki selera yang tinggi dalam urusan makanan. Tak heran bila yang menjadi kesukaannya adalah makanan-makanan mewah berharga mahal. Dan hal inilah yang menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang paling dibenci Nevano terhadap papanya.
Nevano mengangkat tangan ke arah pelayan sebagai tanda bahwa ia tak ingin memesan. Makan bersama Rafianto termasuk dalam salah satu daftar kegiatan yang paling dibenci Nevano berikutnya.
Pelayan itu mengangguk, menuang segelas air dan berlalu pergi.
"Aku nggak mau!" Nevano menjawab tegas sambil memasang wajah serius. "Ngurus perusahaan bangkrut bukan keahlian Nevano, Pah. Dan Nevano juga punya kehidupan sendiri."
Rafianto mendesah. Sudah paham betul kalau putra sulungnya itu tidak akan mau menerima tawarannya. Nevano adalah tipikal yang sangat keras kepala, susah diatur dan mau menang sendiri. Sejak remaja sampai sekarang, rasanya pria berusia 55 tahun itu lelah sekali mengurusnya.
Berkali-kali Nevano sering bikin masalah dan cukup membuatnya kerepotan. Belum lagi, putra sulungnya itu tidak akur dengan putra keduanya yang bernama Fahlevi Abraham. Putra hasil pernikahan keduanya bersama Kinanti Atmaja, seorang model terkenal tanah air pada masanya.
Jangan ditanya seberapa besar kebencian Nevano pada Fahlevi dan ibunya itu. Jelas ia akan menjawab dengan lantang dan tak segan-segan menyumpahi ibu dan anak yang dianggapnya membawa sial dalam kehidupannya.
"Maksudmu kehidupanmu yang kacau selama di New York?" Rafianto mengukir senyum dinginnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat berisi foto-foto Nevano saat tinggal di negeri paman sam itu. "Beberapa kali terlibat perkelahian di club, mengemudi dalam keadaan mabuk, bolos kuliah, mengamen di tempat hiburan." Rafianto menjejerkan satu per satu foto tersebut di atas meja di hadapan putranya. "Sangat mengesankan, Nevano."