Nevano mengempaskan tubuh ke kursi putar di balik meja sambil mendesah. Para Dewan Direksi sialan itu berhasil memaksanya berkeliling gedung cuma untuk menyapa bawahan mereka. Kaki pemuda itu pegal sekali. Bayangkan hampir seluruh lantai ia kunjungi dan bibirnya terasa kebas karena kebanyakan senyum.
Jangan bilang ini adalah ide papa yang sengaja menyuruh dirinya melakukan kegiatan menyebalkan itu dengan alasan menyambung silahturahmi antara atasan dan bawahan. Lihat saja, Nevano pasti memprotes.
Pemuda itu menyandar pada kursi putar dengan ekspresi keruh. Baru beberapa jam saja, ia sudah merasa bosan. Bekerja di kantor bukanlah kesukaannya. Tapi ya, tetap saja mau sebebal apapun, Nevano paling sulit untuk melawan keinginan papanya.
Rafianto sangat otoriter dan pandai menjungkir balikkan hidup seseorang yang dianggapnya benalu atau tak menguntungkan. Lagipula, Nevano sadar kalau ia masih membutuhkan papanya dan tentu saja tidak ingin sampai dikeluarkan dari hak ahli waris. Ia tidak akan membiarkan ibu tiri serta adik tirinya menguasai kekayaan mereka. Oh, tidak bisa!
"Apa jadwal kita selanjutnya?" Nevano berpaling ke arah Mia, sekretarisnya yang sejak tadi setia mengikuti kemana pun.
"Setengah jam lagi kita akan meeting bersama para kepala departemen di ruang meeting, Pak," sahut Mia.
Nevano mengetuk-ngetuk jemari ke pegangan kursi. Otaknya tiba-tiba teringat dengan karyawan perempuan yang tak sengaja dilihatnya di lantai tujuh tadi. Karyawan yang mirip sekali dengan gadis di masa lalunya itu.
"Bisa bawakan saya data seluruh karyawan di kantor ini sekarang? Saya ingin melihatnya," pinta Nevano.
"Baik, Pak." Mia mengangguk.
"Dan juga segelas kopi hangat, ya. Kepala saya mau meledak gara-gara berkeliling tadi," tambahnya yang membuat Mia tampak menahan tawa.
"Bapak harus terbiasa karena jadwal Bapak ke depannya akan sangat sibuk."
Mendengar itu, Nevano mengembuskan napas keras-keras. Ia sudah bisa membayangkan betapa menyebalkan hari-hari yang akan dilaluinya di sini.
"Tapi, Bapak tenang saja ...." Mia berjalan mendekat sambil menatapnya penuh arti. "Kalau Bapak kesulitan, saya siap membantu Bapak kapanpun dengan senang hati. Dan apapun yang Bapak perintahkan pasti akan saya turuti."
Nevano tersenyum. Jelas sekali apa maksud ucapan sekretarisnya itu. "Terima kasih, Mia."
"Kalau begitu, saya akan menyiapkan semua yang Bapak minta tadi." Sebelum pergi, wanita bertubuh sintal itu menyentuh sekilas lengan Nevano di atas meja seraya tersenyum menggoda, lalu berjalan menuju pintu.
Nevano menatap punggung sekretarisnya sambil tersenyum miring. Satu lagi wanita yang sangat mudah ditebak dan gampang terjerat oleh pesonanya. Jelas sekali apabila Nevano mengajak wanita itu untuk tidur dengannya sekarang, wanita itu pasti takkan sanggup menolak.
Sejak pertama kali mereka diperkenalkan, Mia tak henti berusaha menarik perhatiannya. Saat mereka berkeliling kantor untuk melihat para karyawan divisi bekerja, Mia juga beberapa kali melakukan skinship padanya. Entah itu bersentuhan tangan, bahu, kaki dan juga anggota tubuh lain.
Nevano hanya mengukir senyum bila Mia mulai memberikan sinyal flirting . Mungkin ia bisa mempertimbangkan wanita itu sebagai alternatif hiburan di kala ia bosan. Lagipula, Mia bukanlah pilihan buruk untuk diajak bersenang-senang.
Nevano memutar kursi menghadap dinding kaca di belakangnya. Dari sini pemandangan kota Jakarta terlihat begitu menawan. Gedung-gedung tinggi berlatar langit biru jernih membuat pemuda itu kembali teringat pada karyawan perempuan yang berada di lantai tujuh tadi.
Bila dugaannya benar kalau gadis itu memang gadis yang ada di masa lalunya, rasanya Nevano ingin tertawa. Setelah sembilan tahun ia tak pernah pulang ke Indonesia, lucu sekali takdir kembali mempertemukan mereka sebagai atasan dan bawahan.
Tak berapa lama, pintu ruangan terdengar dibuka. Mia masuk membawakan map berisi data karyawan juga secangkir kopi untuknya. "Silakan diminum, Pak. Dan ini data karyawan yang Bapak minta."
"Thank's, Mia." Nevano menyunggingkan senyum lebar, memperlihatkan dua lesung pipi yang dalam.
"Apa Bapak perlu yang lain lagi?"
"Nggak usah. Cukup ingatkan saya jadwal meeting nanti bila sudah tiba waktunya."
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Sekali lagi, Mia menyentuh bahu Nevano sekilas sambil memberi senyuman penuh arti dan bergegas meninggalkan ruangan.
Nevano mengalihkan atensinya pada map dokumen itu, membuka lembaran pertama sambil menghirup pelan-pelan kopi yang dibawakan Mia tadi. Satu per satu wajah karyawan beserta profil mereka terpampang di sana. Gerakannya terhenti ketika ia membalik lembar ke-8. Di sana tertera profil seorang karyawan perempuan yang telah menjadi fokusnya sejak tadi.
Zora Kaureen. 25 tahun. Assistant Plan Manager.
Nevano menyunggingkan senyum lebar. Dugaannya sama sekali tidak salah. Zora Kaureen. Gadis yang pernah ditidurinya di masa lalu ternyata memang menjadi bawahannya. Pemuda itu merasa beruntung tak menolak permintaan papanya mengelola perusahaan ini. Siapa yang sangka ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.
Kenyataan ini otomatis menumbuhkan antusiasme dalam diri Nevano. Well, rasanya cerita ini akan menjadi semakin menarik saja.
💫
Zora menggigiti kuku jarinya yang tak henti gemetar sejak tadi. Pikirannya terus saja terfokus pada CEO baru yang ia lihat di koridor beberapa saat lalu. CEO bernama Nevano Abraham dan menjadi bahan gosip seluruh karyawan kantor. Betapa mereka memuja visual Nevano yang bak dewa Yunani, juga pesonanya yang tak bisa ditolak.
Zora mulas membayangkan betapa mengerikan Nevano yang sebenarnya andai semua orang di kantor ini tahu. Nevano adalah mimpi buruk dalam hidupnya. Mimpi yang sudah sejak lama ingin ia hapus. Ingin ia lupakan. Namun, kenapa takdir harus mempertemukan mereka kembali? Dan mengapa di saat dirinya menjadi bawahan lelaki brengsek itu?
Zora betul-betul tidak ingin terlibat lagi dengan pemuda itu.
"Ra? Lo kenapa dari tadi diem aja?" tegur Resi yang baru saja selesai menyusun makalah proposal pada setiap meja rapat.
Saat ini mereka sedang berada di ruang meeting. Sepuluh menit lagi mereka akan memulai rapat dengan Nevano.
Zora menggeleng. "Nggak ada apa-apa."
"Muka lo pucet banget. Lo sakit?" Resi menatapnya lekat.
Zora menggigit bibir dan kembali menggeleng.
"Kalo lo sakit, ntar abis meeting lo minta izin aja sama Pak Arizal."
"Kalo gitu, boleh nggak gue-" Suara Zora terputus karena para peserta rapat dari Departemen lain mulai masuk mengisi kursi-kursi yang kosong.
Resi segera mengajak Zora untuk duduk bersama Pak Arizal dan Dino yang menjadi perwakilan Depertemen Perencanaan dan Pengembangan. Mereka berempat duduk di kursi tengah, berhadapan dengan para staff dari departemen produksi.