Sembilan tahun lalu,
Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu.
Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak.
"Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis.
Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora terasa kelu untuk membalas perkataan Nevano yang terasa begitu menohok. Apalagi saat netranya tanpa sengaja menangkap bercak darah yang tercetak di atas tempat tidur.
Darah kegadisannya.
Ya, Tuhan! Rasanya Zora tak sanggup lagi berada lebih lama di dalam ruangan ini. Ia benar-benar benci pada dirinya sendiri.
Nevano menegakkan tubuh, lalu memandang arah yang dilihat Zora sembari tersenyum miring. "Lo tahu, gue bener-bener nggak nyangka lo masih virgin dan belum pernah having sex." Ia tergelak seolah itu adalah hal yang sangat lucu.
Zora membuang muka. Ucapan Nevano semakin membuat perasaannya remuk redam. Ia tak berkata apa-apa dan segera berbalik menuju kamar mandi untuk berpakaian. Di dalam sana, Zora memandangi wajahnya yang sudah tak karuan karena terus-terusan menangis. Matanya sembab memerah, sementara rambut panjangnya awut-awutan. Ia benar-benar kacau, sekacau pikirannya saat ini.
Zora tahu keputusannya pasti akan mengecewakan orang-orang di sekelilingnya. Namun, gadis itu sudah tak memiliki pilihan. Hidupnya terlalu pelik hingga membuatnya muak. Andai saja Tuhan memberikan sedikit kemudahan untuk mendapatkan jalan lebih baik, mungkin ia takkan pernah memilih perbuatan nista ini dalam hidupnya.
Gadis itu memutar keran di wastafel, memercikkan air ke wajah, mengusap-usap rambutnya agar kembali rapi, lalu mulai mengenakan seragamnya yang tampak kusut dan lembab. Semua itu ia lakukan dengan tergesa-gesa.
Setelah semuanya rapi, Zora bergegas keluar dari kamar mandi dan berjalan cepat menuju meja nakas. Mengambil uang yang telah disiapkan Nevano dalam amplop sebagai bayaran atas tubuhnya.
Ia sedikit menoleh ke tempat tidur di mana Nevano terlihat masih duduk di sana, sedang menyulut sebatang rokok dengan santai tanpa beban. Pemuda itu telah mengenakan celana jins, sementara tubuh bagian atasnya belum berpakaian.
Ketika Zora berjalan cepat menuju pintu, pemuda itu pun serta-merta menghampirinya.
"Aku rasa urusan kita udah selesai. Aku mau pulang sekarang," ketus Zora sewaktu Nevano mencekal pergelangan tangannya.
"Gue akan suruh supir gue anter lo pulang. Ini masih jam empat pagi."
"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri," tolak Zora.
Nevano pun melepaskan cekalannya.
"Masalah ini, aku harap kamu nggak bakal bilang ke siapa pun," pinta Zora sebelum pergi. "Dan aku harap kita nggak perlu saling nyapa atau pun pura-pura kenal di sekolah."
"Nggak semudah itu, Zora." Suara Nevano menghentikan gerakan Zora yang tengah memutar kenop pintu.
Zora berbalik dan Nevano memberikannya tatapan penuh intimidasi.
"Let's be honest about this, mungkin lo mau tidur sama gue karena alasan uang, tapi apa lo tahu alasan gue melakukan ini sama lo?"
Zora meneguk ludah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Melihat dari sorot mata dan gelagat Nevano membuat Zora menggigil. Jelas sekali ada alasan besar yang melatarbelakangi pemuda itu melakukan hal ini padanya, di samping sosok Nevano yang memang brengsek. Namun, Zora tak bisa menebak dengan pasti.
"Lo adalah satu-satunya cewek yang gue bayar mahal hanya untuk making love. Selama ini gue bisa tidur sama siapa aja sesuka gue tanpa perlu susah-susah membayar," lanjut Nevano sambil mengembuskan asap rokoknya ke arah gadis itu.
"Kalau begitu apa alasan kamu berbuat ini sama aku?" tanya Zora kemudian. Baru tersadar bahwa sejak tadi tangannya gemetar.
Nevano tak segera menjawab. Dibelainya anak-anak rambut Zora yang menutupi kening. Kemudian, ia menyunggingkan senyum seraya menarik wajah Zora mendekat. Aroma nikotin menguar dari tubuhnya. Aroma yang sudah sangat melekat tiap kali Zora berdekatan dengan pemuda itu.
Nevano lantas berbisik di telinga Zora dan sukses membuat tubuh gadis itu menegang seketika, "Karena Levi ...."
-
Zora menghela napas seraya menatap langit senja kemerahan dari jendela bus yang terbuka. Ingatan tentang kejadian menyakitkan di masa lalu terus berputar dalam benaknya. Bolehkah ia membenturkan kepalanya keras-keras agar kenangan menyakitkan itu menghilang tanpa bekas?
Ia sudah muak sekali. Muak menjalani hidup yang terasa begitu menyesakkan. Muak menghadapi berbagai masalah dan juga beban yang harus ia tanggung. Kenapa juga dari sekian banyak orang di bumi ini, ia harus kembali bertemu dengan Nevano? Pemuda sialan yang telah menghancurkan hidupnya berkeping-keping. Ia tahu, sebagian besar yang terjadi memang buah dari kesalahannya sendiri. Dan ia betul-betul menyesalinya seumur hidup.
Zora mengembuskan napas panjang, lantas bangkit berdiri ketika sang kernet bus mengatakan nama tempat yang menjadi tujuan pemberhentiannya.
Bus itu perlahan-lahan berhenti di depan sebuah gang. Zora bergegas turun dan mulai berjalan menuju rumahnya yang berjarak 150 meter dari jalan raya besar.