Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi.
Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja.
Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari.
Ting!
Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut.
Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang?
"Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano terdengar bertanya pada Mia ketika pemuda itu melangkah melewati pintu lift.
"Jam sembilan, Pak," sahut Mia.
Nevano menatap arlojinya tanpa menghentikan langkah. Zora menarik napas lega. Pemuda itu tampaknya tidak menyadari kehadirannya atau mungkin tengah berpura-pura, yang jelas Zora tidak ingin berbasa-basi dengan Nevano saat ini. Beberapa karyawan lain yang berada di sekitar terdengar menyapa Nevano dengan ramah. Hanya dirinya saja yang mematung tanpa berani bersuara.
Ting!
Suara denting lift yang ditunggu Zora sejak tadi menjadi hal terindah yang ia dengar. Tanpa membuang-buang waktu, gadis itu segera masuk ke lift bersama dengan beberapa karyawan lain.
"Zora!" Suara rendah Nevano meruntuhkan ekspektasi Zora untuk segera terbebas dari situasi ini.
Gadis itu menoleh. Dilihatnya Nevano tengah menatap lurus ke arahnya. "Ya, Pak?" katanya kemudian.
"Siang ini kamu ke ruangan saya, ya? Saya mau lihat perkembangan ide bisnis yang sudah kalian jalankan."
Zora tercengang. Bukannya mereka diberi waktu satu minggu untuk menyelesaikan laporan proposalnya? Kenapa mendadak Nevano meminta hari ini?
"Tapi, Pak. Semuanya belum rampung, kami masih harus melakukan riset hari ini."
"Saya tunggu selepas makan siang," tegas Nevano tanpa tedeng aling-aling.
Zora melengos. Tetapi kemudian, ia mengangguk pasrah. "Baik, Pak. Saya akan beritahu ini pada yang lain. Nanti Pak Arizal atau Bu Riska akan ke ruangan Bap—"
"Saya minta kamu yang datang. Bukan orang lain."
Oke, kali ini Nevano yang asli sudah kembali ke habitatnya.
"Kenapa harus saya, Pak?" gumam Zora. Tatapannya menajam. Sesungguhnya, gadis itu tidak ingin Nevano mengambil celah untuk menindasnya lagi.
"Karena kamu yang mencetuskan ide itu." Nevano mengeluarkan senyuman smirk-nya. "Jadi, ke ruangan saya siang ini selepas makan siang. Saya tunggu."
Percakapan ini secara tidak langsung membuat semua orang memusatkan perhatian ke arah mereka, terutama Mia yang sejak kemarin merasa curiga dengan interaksi Nevano terhadap Zora.
Zora tak menjawab. Perasaannya benar-benar jengkel. Namun, sebagai bawahan tentu ia harus bersikap profesional, tak boleh membantah. Apalagi Nevano menjabat sebagai CEO di sini. Membantahnya sama saja menggali kuburan sendiri.
"Baik, Pak. Saya akan ke ruangan Bapak nanti," jawab gadis itu kemudian dengan suara tak bersemangat.
Nevano tersenyum. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu pun segera meneruskan langkah menuju pintu keluar. Mia masih sempat memandangi Zora selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyusul Nevano.
Zora menarik napas panjang bersamaan dengan pintu lift yang mulai menutup. Dipandanginya lampu indikator yang bergerak berurutan menuju lantai atas. Saat itu, ia merasakan pandangan orang-orang di dalam masih tertuju padanya. Zora menunduk, merapatkan diri ke dinding. Ia benci suasana seperti ini. Mengingatkannya tentang masa lalu.
"Jadi, itu ya cewek yang ML sama Nevano?"
"Dih, najis. Bukannya dia itu peraih beasiswa prestasi di sekolah kita?"
"Nggak nyangka peraih beasiswa, tapi moralnya bobrok begitu."
"Iya. Malu-maluin sekolah aja. Jijik banget liatnya!"
Zora merasakan sekujur tubuhnya gemetar. Hinaan-hinaan itu merasuk kembali ke dalam pikirannya tanpa bisa dienyahkan. Bagaimana caranya ia bisa terlepas dari kenangan itu jika terus berhadapan dengan Nevano yang menjadi sumber utama mimpi buruknya?
Lift berdenting beberapa kali dan akhirnya tiba di lantai 7. Gadis itu buru-buru keluar. Tak tahan lagi untuk menghindari tatapan orang-orang di dalam sini.
"Ra, lo ke mana aja? Udah ditungguin dari tadi." Suara Resi terdengar berseru ketika Zora baru saja menjejakkan kaki di depan pintu ruangan divisinya.
Zora meringis. "Sori, telat. Tadi kena macet."
"Udah-udah, sini dulu. Lo dicariin Pak Arizal sama Bu Riska." Resi langsung menyeretnya menuju meja kepala tim mereka.
Zora mengikuti dengan jantung berdebar. Berharap ia tidak mendapatkan omelan yang menyebalkan pagi ini. Pak Arizal terlihat sedang mengobrol bersama Bu Riska dan beberapa karyawan lain.
"Pak, Bu, ini Zora-nya sudah datang," beritahu Resi yang membuat semua orang mengalihkan atensi mereka pada Zora.
"Nah, Zora. Coba kamu kemari!" Pak Arizal memberi isyarat agar Zora mendekat.
Zora maju tiga langkah. Sedikit lega ternyata keterlambatannya tidak menjadi masalah. Padahal ia sudah pasrah jika harus dimarahi.