Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total.
Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan.
Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan hatinya yang tersisa? Entahlah. Pemuda itu terlalu kacau untuk mengambil kesimpulan.
"Oh ya, Tuan. Jadinya mau pesan apa?" Pelayan wanita itu tiba-tiba menyela seraya kembali menghampiri Levi yang masih membeku memandangi Zora.
Pemuda itu seketika tersentak, lantas mengalihkan pandang. Buru-buru ia bangkit. Selera makannya lenyap. Ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Semuanya terlalu mengejutkan dan ia tak pernah mengharapkan kebetulan ini terjadi. Sama sekali tidak pernah.
"L-Levi?" Suara lirih itu sedikit menahan gerakan Levi yang sedang bergerak mendorong pintu.
Namun, Levi memilih melanjutkan langkah. Meski benar mungkin gadis itu memang Zora, ia tak peduli. Baginya, Zora yang ia cintai sudah mati. Jadi, bertemu kembali dengan gadis itu takkan mengubah apapun yang telah terjadi.
Sesampainya di luar, Levi tampak tergesa-gesa menuju mobilnya terparkir. Gemuruh jantung pemuda itu seolah merefleksikan betapa kalut perasaan yang dirasakannya sekarang. Ia hanya ingin pergi dari sini secepatnya. Menghindari Zora sejauh mungkin. Dari sekian banyak kemungkinan dan kebetulan yang bisa terjadi, bertemu lagi dengan gadis itu adalah hal yang tak pernah diharapkannya.
Sementara itu, dari balik jendela di dalam restoran, Zora hanya bisa tertegun memandangi kepergian Levi. Ia ingin sekali mengejar, tapi rasa malu dan tahu diri membuat gadis itu mengurungkannya. Pemuda itu terlihat sangat baik-baik saja. Ia sudah tumbuh dewasa dan sangat jangkung, hingga Zora nyaris tak mengenalinya. Sayang, sorot benci yang terpancar dari kedua netra Levi mau tidak mau membuat hati Zora teriris.
"Kamu atau aku ... semuanya udah berakhir, Zora. Pergilah. Atau aku aja yang memang sebaiknya pergi."
"Levi, please, aku akan jelasin."
"No. Don't dare to explain anything! Kamu tahu betapa muaknya aku sama semua ini dan kamu malah membuatnya jadi makin sempurna!"
Zora menunduk. Kilasan balik percakapan terakhir mereka menyisakan perasaan pedih yang sukar untuk diutarakan.
Andai saja waktu bisa kembali diputar. Andai segalanya bisa diperbaiki. Mungkin semuanya akan jadi berbeda. Namun, sudah terlambat untuk menyesali apa yang terjadi. Gadis itu hanya berharap Tuhan memberikan kesempatan untuknya meminta maaf dengan layak. Walau bagaimanapun, kisah yang terukir di antara keduanya lebih dari sekedar manis jika harus dilupakan begitu saja.
💫
Nevano menatap tumpukan dokumen di hadapan yang harus ia periksa dan tanda tangani dengan perasaan jengkel. Sesekali ekor matanya melirik arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul setengah dua lewat. Bukannya tadi ia sudah jelas mengatakan pada Zora agar ke ruangannya segera selepas makan siang? Mengapa gadis itu belum juga datang?
Nevano merenggut bolpoin dari atas meja sambil mendesah gusar. Tangannya membalik satu persatu halaman dokumen tersebut dengan kasar. Setelah ini pun ia masih harus melakukan janji temu dengan seorang klien untuk perpanjangan kontrak kerja. Rasanya Nevano lelah sekali, tapi ia tak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan ayahnya.
Suara denting ponsel di atas meja menyentakkan pikiran Nevano yang masih dirundung kesal. Pemuda itu pun bergegas meraih dan memeriksa. Ternyata sebuah pesan dari Pak Septian yang mengingatkan acara makan malam keluarga nanti malam di rumah Rafianto dan ia tak boleh melewatkannya.
Makan malam keluarga? Nevano mendengkus, meletakkan kembali ponsel ke atas meja tanpa berniat membalas. Orang-orang itu tak pernah sekalipun ia anggap keluarga. Jijik dan muak adalah dua kata yang paling menggambarkan perasaan Nevano tiap kali bertemu mereka. Jadi, jelas acara seperti itu hanyalah omong kosong tak berguna.
Ketika itu pintu ruangannya tiba-tiba diketuk seseorang. Nevano menoleh dan segera menyahut, "Masuk!"
"Pak, karyawan yang bernama Zora itu sudah datang," ujar Mia di ambang pintu.
"Suruh saja dia masuk," kata Nevano sambil menatap arlojinya. Tepat pukul dua. Hmm ... tunggu saja, Zora. Kamu bakal merasakan akibat karena membiarkan seorang Nevano menunggu.
Tak berapa lama, seorang gadis dengan rambut hitam sepunggung masuk ke dalam ruangan. Nevano mengangkat mata sekilas ke arah gadis itu, kemudian kembali berkutat pada berkas dokumen di hadapannya.
"Siang, Pak!" sapa Zora, mendekat ke arah meja seraya mengangsurkan sebuah laporan yang ia bawa. "Ini laporan yang bisa kami berikan hari ini, selebihnya kami akan paparkan saat meeting nanti."
Nevano mengangkat tangan, memberi isyarat agar Zora menghentikan gerakannya. "Tunggu saja di situ. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan saya."
Zora mundur dua langkah dan berdiri diam. Map laporan yang dipegangnya didekap ke dada. Ekor matanya sempat melirik dua tumpukan dokumen di atas meja yang kemungkinan harus diselesaikan Nevano secepatnya.
Satu menit.
Dua menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.