Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham.
Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialan—Kinanti dan Levi—resmi menjadi penghuni di sana.
Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya.
Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju serambi depan bangunan utama. Berbagai macam tanaman bunga dan lampu-lampu cantik menghiasi setiap sisi jalan setapak yang dilalui pemuda itu. Ia ingat sekali, taman ini sebenarnya dirancang khusus oleh bundanya saat istana ini tengah dibangun. Dulu sekali sebelum kebahagiaan itu direnggut paksa oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
Mengingat kenangan itu membuat lubang di hati Nevano kembali menganga. Rasanya akan sulit bagi Nevano terbebas dari dendam dan kebencian yang telah lama mengakar dalam hatinya. Mungkin bisa saja hilang, setidaknya sampai ia bisa membalaskan apa yang terjadi pada bundanya di masa lalu.
Ketika Nevano sampai di dalam, seorang pelayan langsung menyambut dan mengantar pemuda itu menuju area ruang makan di mana keluarganya sudah berkumpul di sana. Mereka melewati lorong yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan lain. Sepanjang perjalanan, kandelir-kandelir kristal tampak menghiasi langit-langit ruangan yang dilewati Nevano. Tak banyak foto keluarga yang dipajang. Semuanya didominasi oleh lukisan-lukisan pemandangan dan juga abstrak yang dalam sekali lihat bisa ditebak berharga fantastis.
Ketika mereka nyaris dekat dengan area ruang makan, lantunan piano sayup-sayup terdengar diiringi gelak tawa riuh. Suasana yang begitu hangat dan menyenangkan, tetapi sedikit banyak membuat hati Nevano terasa getir.
"Tuan Nevano sudah datang," beritahu pelayan tersebut begitu mereka sampai.
Semua orang menoleh pada Nevano, tanpa terkecuali. Kehadiran pemuda itu membuat suasana yang tadinya hangat penuh kekeluargaan mendadak sunyi. Namun, Nevano seperti biasa, hanya mengeluarkan senyuman smirk khasnya sembari berjalan santai menuju kursi kosong yang tersedia. Paling ujung dan agak berjauhan dari yang lain.
Seorang pelayan menyajikan sepiring Fillet Mignon dan menuangkan segelas air pada gelas kosong di dekat Nevano. Nevano refleks mengangkat tangan, menyuruh si pelayan mengganti air putih dengan segelas wine. Bukankah menikmati steak lebih lezat bila dipadukan dengan red wine? Lagipula Nevano yakin acara malam ini akan terasa memuakkan dan segelas alkohol tentu bisa sedikit membantu menetralkan suasana hatinya.
"Kenapa kamu baru datang?" tegur Rafianto yang telah menunggunya sejak tadi. Pria itu duduk di kursi utama sebagai kepala keluarga.
"Bukannya bagus kalau Nevano datang terlambat?"
Rafianto menghela napas mendengar jawaban sinis Nevano. Tak mengherankan baginya jika putra sulungnya akan bersikap menyebalkan di sini. Rafianto hanya berharap agar makan malam hari ini bisa berjalan lancar tanpa adanya pertengkaran.
Nevano mengedarkan pandang sejenak. Menatap orang-orang yang hadir dalam ruangan ini. Levi dan Kinanti duduk saling berseberangan, berjarak tiga kursi darinya. Kedua orang itu tak sedikit pun melirik ke arah Nevano, seolah-olah ia tak kasat mata. Ya, memang sebaiknya begitu. Lagipula Nevano juga tak ingin berbasa-basi pada mereka.
Kemudian tatapan pemuda itu jatuh pada seorang gadis berparas sedikit oriental yang duduk di sebelah Levi. Kening Nevano sedikit berkerut, merasa penasaran. Namun, ia memilih tak mengatakan apa-apa.
"Jadi, bagaimana dengan jalannya perusahaan? Apa semuanya baik-baik saja?" Rafianto memulai pembicaraan.
Nevano menggoyang-goyang pelan gelas berisi wine di tangan sebelum meminumnya sedikit. Rasa manis berpadu sepat seketika menyapa indera pengecapnya.
"Not bad," sahut Nevano, meletakkan kembali gelas ke meja dan mulai mengiris-iris steak di piring. "Apa yang Papa harapkan dari sebuah perusahaan bangkrut."
"Perusahaan itu masih berpotensi jika kamu bisa mengurusnya dengan baik." Rafianto menatapnya serius.
Nevano teringat dengan ide bisnis cukup briliant yang dicetuskan Zora beberapa hari lalu. Ia jadi sedikit menyetujui perkataan papanya. "Ya, memang nggak semuanya buruk. Ada hal-hal menarik dalam perusahaan itu," sahutnya sambil tersenyum tipis.
"Papa bisa bantu jika memang kalian masih kekurangan modal atau membutuhkan sesuatu."
"Nggak perlu. Nevano udah punya strategi mengurus perusahaan itu. Papa tinggal lihat saja hasilnya."
"Baguslah. Papa berharap kamu bisa membuktikan diri kamu. Mengurus perusahaan itu akan mudah bila kamu tekun dan tahu apa yang terbaik. Lagipula, sudah saatnya juga kamu bersikap dewasa sekarang."
Nevano tertawa kecil mendengar ucapan papanya. Tiba-tiba merasa lucu. Ada apa dengan pria tua itu malam ini? Kenapa jadi begitu sok perhatian?
"Jadi, malam ini Nevano disuruh kemari cuma harus mendengarkan petuah papa?"
Rafianto menghela napas. Tak ingin membalas kesinisan putra sulungnya itu. Ia tahu jika diladeni, maka Nevano akan semakin menjadi. Pria itu pun akhirnya mengalihkan atensinya pada Levi yang sejak tadi berdiam diri.
"Nah, Levi. Kamu sendiri kapan akan mulai praktek? Papa sudah menghubungi direktur rumah sakit supaya kamu bisa segera praktek di sana."
Levi mengangkat mata, menatap lurus papanya dengan perasaan tak enak hati. "Maafin Levi, Pah. Tapi, Levi masih perlu ikut program adaptasi dan kemungkinan prakteknya di RS Pemerintah, bukan rumah sakit Papa."
"Memangnya kenapa?" Rafianto tampak kecewa.
"Karena memang begitu prosedurnya dan Levi masih harus belajar lagi."
"Bukannya kamu sudah lulus sertifikasi? Kamu bahkan lulusan terbaik di Oxford. Apa lagi yang perlu kamu pelajari?"