How do I live without the ones I love?
Time still turns the pages of the book its burned.
Place and time always on my mind.
I have so much to say but you're so far away.
(Avenged Sevenfold ~ So Far Away)
❣
Ombak biru itu bergulung-gulung memecah bibir pantai. Semilir angin bertiup beriringan dengan burung camar yang beterbangan, sesekali memutar dan menukik. Dari sini matahari senja yang kemerahan tampak bersiap turun dalam peraduan.
Dingin dan berangin. Semua itu bagaikan keindahan yang menari dalam sudut benak berbalut duka serta kegetiran tak berujung di sekujur badan.
Tanpa beralaskan kaki, seorang bocah terlihat berjalan menerjang ombak pasang yang bergulung. Air asin seketika membasahi ujung-ujung pakaian yang ia kenakan. Menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka.
Tatapan si bocah terpaku pada kilasan merah yang terapung-apung di atas air di ujung sana.
"Bunda!" teriak si bocah sekeras mungkin, berusaha mencapai warna merah terapung itu. "Bunda!"
"Tuan, jangan ke sana!" Seorang lelaki dengan cambang lebat buru-buru mengejar.
Namun, si bocah terus menerjang ombak dalam kepanikan. Isak tangisnya larut bersama buih di sekitar.
Bunda!" Sekali lagi ia berteriak sampai tenggorokannya sakit. Namun, kilasan merah itu kian jauh terbawa ombak. Terus ke tengah dan ke tengah hingga menjadi titik dalam pandangan.
"Ya Tuhan!" seru si lelaki terkejut luar biasa. "Panggil bantuan cepat! Nyonya sepertinya tenggelam dan terseret arus!" Ia menyuruh orang-orang yang berada di belakangnya agar segera bertindak. Kemudian, bergegas kembali menyusul si bocah yang saat ini sudah separuh terendam dalam air.
"Tuan, jangan ke sana! Berbahaya!" Si lelaki akhirnya berhasil mencapai si bocah dan segera menariknya dalam rangkulan.
Si bocah meronta. Meminta dilepaskan, tetapi tenaga si lelaki lebih kuat darinya. "Bunda! Bunda!" Ia terus berteriak. Kalut dan panik.
"Tuan, mohon tenanglah! Kami akan menolongnya."
Namun, jelas sudah terlambat. Bantuan yang datang di menit berikutnya sama sekali percuma. Sosok dalam busana merah yang terapung dalam sapuan ombak telah menjadi raga kaku. Tak ada lagi sisa-sisa kehidupan di dalamnya.
Dan jeritan si bocah mengiringi matahari yang tenggelam di ujung cakrawala. Menyisakan duka lara berselimut kegelapan malam dan dinginnya udara menembus sukma.
Pada akhirnya, kematian itu datang tanpa bisa dielakkan.
-
Nevano tersentak dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdetak tak beraturan. Peluh membanjiri sekujur tubuh. Mimpi, ia tersadar. Hanya mimpi buruk berisi kilasan masa lalu yang menyakitkan.
Ia menarik napas dengan susah payah. Tiba-tiba saja merasa kehausan. Tangannya menggapai-gapai ke atas nakas. Mencari segelas air di sana. Namun, ia terlonjak ketika merasakan ada sesuatu yang ganjil.
Ini bukan kamarnya.
Pemuda itu bangkit, memicingkan mata menatap sekeliling. Benar sekali. Nuansa putih dengan tirai cokelat berenda ini memang bukan tempatnya biasa beristirahat. Di mana ini? Hotel?
"Morning, My Bae. You wake up?" Suara serak seorang perempuan di sebelah Nevano membuat pemuda itu tersentak dan menoleh. Lexa terlihat meringkuk di balik selimut, sedang tersenyum dengan mata mengantuk. Ia mengulurkan tangan, mengusap lembut bahu telanjang Nevano.
Nevano beringsut menjauh. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam sampai dirinya bisa berakhir di sini. Dan tiba-tiba rasa sakit menghantam kepalanya.
"Kok gue bisa ada di sini, sih?" Akhirnya ia bertanya, menyerah karena otaknya tak bisa dipakai untuk bekerja lantaran rasa berdenyut itu semakin hebat.
"Kamu semalem mabuk berat, Bae. Kita ketemu di cafe Median dan pulangnya ke hotel ini," jelas Lexa.
Nevano mengernyit. Sakit kepala ini rupanya efek mabuknya semalam. Berapa banyak yang ia minum sampai ia tak sadar apa-apa dan mengalami hangover parah?
Sambil menghela napas, pemuda itu bangkit. Baru menyadari kalau ia tak berpakaian. Baju yang ia kenakan semalam berserakan di lantai. Astagaaa! Kenapa ia sama sekali tak ingat apapun?
"So, we're had sex last night?"
Pertanyaan itu membuat Lexa tersenyum. "Then, what else can we do beside that?"
Great! Nevano mendengkus. Bercinta dengan seseorang dan ia sama sekali tak ingat apapun? Apalagi yang menyebalkan dari ini?
"Hape gue mana?"
Lexa menunjuk ke atas nakas, lalu kembali berbaring di dalam selimut sambil menguap.
Nevano meraih benda tersebut dan langsung memeriksa jam. Sudah pukul sembilan lewat. Sial! Ia harus berangkat ke kantor sekarang juga. Banyak pekerjaan yang menunggunya di sana dan ia sudah sangat terlambat.
Pemuda itu segera mencari kontak Pak Septian dan langsung menghubunginya.