Mungkin bagi sebagian orang saat melihat Nevano untuk pertama kali adalah pemuda itu memiliki kesempurnaan fisik tanpa cela, kehidupan mewah yang menyenangkan dan segudang keberuntungan lainnya. Namun, tak banyak yang tahu kalau pemuda itu adalah iblis yang bersembunyi di balik raga manusia. Intimidatif, manipulatif, egois dan berbahaya. Setidaknya, itulah kesan yang Zora dapatkan sejak pertama kali ia mengenal pemuda itu dalam hidupnya.
"Zora ... Kaureen ...." Suara baritone itu menarik perhatian Zora yang baru saja hendak menaiki tangga menuju kelasnya di lantai dua.
Gadis itu mendongak, mendapati seorang cowok bertubuh jangkung, mengenakan seragam yang tak dimasukan, tindikan di salah satu telinga, handband di tangan kanan dan dasi yang dilonggarkan. Cowok itu berdiri dua tangga di atasnya, bersedekap. Menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Ah, Zora mengenalinya.
Cowok itu merupakan si anak sendok emas. Putra sulung dari pengusaha konglomerat, bernama Nevano Abraham. Vokalis band sekolah mereka. Kakak tingkat yang terkenal urakan, badung dan suka buat masalah. Tipe cowok yang sangat dielu-elukan oleh semua murid perempuan. Namun, Zora tidak menyukainya karena Nevano bukanlah pribadi yang baik.
"Maaf, Kak. Aku mau lewat," gumam Zora ketika Nevano tak juga menyingkir dari hadapannya.
Nevano tak menjawab. Alih-alih memberi jalan untuk Zora, ia justru melangkah turun menghampiri gadis itu. Menghadangnya dengan gestur congkak sementara kedua tangan diselipkan di saku celana.
"Aku mau ke kelas, Kak." Zora mengangkat mata, mengadu tatap dan memasang raut tegas.
Nevano seketika tersenyum, memunculkan lesung di kedua pipinya. Tapi, ia masih tetap bergeming sembari memandangi Zora dengan kedua mata elangnya penuh minat.
Zora menghela napas jengah. Berusaha melewati Nevano di antara susuran tangga, tapi cowok itu lebih dulu menggeser tubuh menghalanginya.
"Gue mau kenalan sama lo," katanya sambil mengulurkan sebelah tangan dan sorakan riuh seketika terdengar di dekat mereka.
Itu suara teman-teman Nevano yang sedang duduk di puncak tangga.
"Woi, No! Pantang liat yang bening dikit lo sosor mulu!"
"Tau nih. Dia itu adek kelas, No. Kasian masih polos."
"Elah, kayak nggak tahu aja sama buaya kita. Kambing tetangga aja diembat asal kelaminnya cewek."
Gelak tawa mewarnai percakapan itu.
Zora mencebik. Mengabaikan uluran tangan Nevano seraya menjawab dalam nada dingin, "Aku tahu kok siapa Kakak."
Nevano menaikkan sebelah alis.
"Kakak yang suka gangguin Levi selama ini, 'kan?"
Ucapan itu menarik sudut bibir Nevano membentuk senyuman lebar. Namun, ia tak menjawab. Hanya kedua matanya yang tampak berkilat senang.
"Tolong berhenti gangguin Levi. Bukannya kalian saudara?"
"Saudara?" Nevano mengeluarkan dengus tawa. "Gue nggak pernah merasa dia saudara gue."
"Tapi, tetap aja. Kakak udah keterlaluan gangguin dia."
Nevano semakin tertawa. Kakinya maju selangkah, menghimpit Zora yang posisinya saat ini berdekatan dengan tembok.
"Ngomong-ngomong soal Levi, gue memang penasaran apa hubungan lo sama dia. Kalian sering banget sama-sama. Berduaan ke mana-mana. Kalian pacaran?"
"Bukan urusan Kakak!" ketus Zora.
Nevano menyipitkan mata. Sedikit merasa gemas dengan reaksi garang yang ditunjukkan Zora. Sebuah ide terbersit dalam benaknya. Ia kemudian menoleh pada teman-temannya yang masih memerhatikan dari puncak tangga. Memberi isyarat seraya berseru antusias, "Mangsa baru, woi!"
Ucapan itu membuat kedua mata Zora melebar. Sebelum ia sempat bertindak, Nevano langsung mencekal pergelangan tangannya sambil berkata, "Ayo, ikut gue!"
Zora cepat-cepat berontak, tetapi cekalan Nevano begitu erat hingga ia kesulitan untuk melepaskan diri. "Tunggu! Kakak bawa aku ke mana?"
"Kita ngobrol dulu bentar."
Zora merasa jantungnya berdebar tak karuan. Matanya menatap sekeliling. Beberapa siswa yang berada di sekitar memandangi mereka dengan penasaran. Namun, tak ada yang berkomentar apapun.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah gudang kosong paling sudut sekolah. Di sana, Nevano langsung mendorong Zora masuk dan mengunci pintunya sementara ketiga teman-teman Nevano tampak berjaga di luar.
"Apa-apaan sih ini? Kakak udah gila, ya?" bentak Zora. Kali ini ia tak kuasa lagi menahan amarah.Â
Nevano menyandar pada daun pintu. Senyum smirk andalannya terbit menghiasi wajah. "Tenang aja. Di sini aman. Nggak bakal ada yang dengerin kita."
"Mau kakak tuh apa sih?" Kedua tangan Zora terkepal. Siap melakukan perlawanan bila Nevano bertindak kurang ajar padanya.
"Jadi lo pacaran sama Levi?" tanya cowok itu sambil menatapnya lekat.
"Pacaran atau nggak, kenapa kakak pengen tahu?"
"Karena itu penting." Nevano menegakkan tubuh. Sorot intimidasi mulai terpancar di kedua netranya, membuat nyali Zora sedikit menciut. Ia maju selangkah. Tangannya terulur membelai rambut Zora. "Apapun mengenai Levi, gue harus tahu."
Zora menepis tangan Nevano dari rambutnya dengan kasar. Tak mengerti apa yang ada di pikiran cowok di hadapannya ini.Â
"Kalau kakak mau cari gara-gara, sebaiknya berhenti sekarang."
"Gue cuma pengen kenal dekat sama lo. Nggak perlu galak-galak."
"Makasih. Tapi, aku nggak mau."