Oh, look what you've done
You've made a fool of everyone
Oh, well, it seems like such fun
Until you lose what you had won
(Look what you've done ~ Jet)
❣
Zora setengah berlari menuju toilet terdekat yang bisa dicapai karena tak sanggup lagi menahan perasaannya. Orang-orang di sekitar sempat memerhatikan dirinya keluar dari ruangan Nevano dalam keadaan berantakan dan begitu tergesa-gesa.
Kenapa Nevano begitu kejam padanya? Apa kesalahan yang ia perbuat sampai pantas diperlakukan seperti ini? Zora betul-betul tak habis pikir.
Ia nyaris menabrak seseorang di pintu toilet dan langsung mendapat kernyitan sinis. Zora diam saja, tak menghiraukan. Gadis itu bergegas masuk, menuju wastafel. Tangannya memutar keran dan membasuh wajah seiring dengan air mata yang mulai mengalir. Sekujur tubuh Zora gemetaran. Sakit, sedih, terluka, hancur—semua perasaan itu berkumpul jadi satu dalam rongga dada. Untung saja tak ada siapa-siapa selain dirinya di sini, jadi tangisan gadis itu tak mengganggu siapapun.
Kejadian tadi betul-betul melukai Zora. Nevano memang bajingan. Apa pemuda itu masih belum puas ingin menghancurkan hidupnya? Kenapa ia harus direndahkan seperti ini?
Zora mendongak, memandang wajahnya yang tampak sembab melalui cermin. Ia baru tersadar salah satu kancing kemejanya hilang. Mungkin disebabkan perlakuan kasar Nevano tadi saat membuka paksa pakaiannya. Ia semakin terhenyak ketika tak sengaja menangkap bekas kemerahan tercetak di bagian bawah leher. Bayangan Nevano menciumnya begitu beringas kembali merasuki benak Zora, membuat gadis itu bergidik. Jelas ia tidak mungkin bisa bernapas dengan leluasa jika terus-terusan di sini. Iblis itu pasti akan selalu mengganggu, menyiksa serta membuatnya tak berdaya.
Zora memejamkan mata, kedua tangan mencengkram pinggiran wastafel erat-erat. Jantungnya bergemuruh menahan emosi yang menggelora. Satu tamparan tadi bahkan tidak cukup untuk membalas apa yang dilakukan pemuda itu padanya. Namun, ia bisa apa? Ia sama sekali tak berdaya untuk melawan.
"Apa kamu lupa sama kenangan kita di masa lalu, Zora?" Ucapan itu kembali berdengung di kepala Zora.
"Saat kamu datang ke rumah saya secara sukarela. Kamu menyerahkan tubuh kamu untuk saya nikmati. Malam itu, saya nggak pernah melupakannya. Bahkan, saya masih inget suara rintihan kamu dan bagaimana kamu memohon sama saya supaya melakukannya pelan-pelan."
"Ya, Tuhan!" Zora semakin terisak. Bodoh sekali bukan dirinya itu. Menjaga kehormatan saja ia sama sekali tidak becus.
Menyesal? Jelas itu yang dirasakan gadis itu. Begitu besarnya hingga ia nyaris tak bisa bernapas. Namun, menyesali keadaan sama sekali tak mengubah apapun. Mungkin ini adalah hukuman yang pantas ia tanggung atas kesalahannya pernah membiarkan Nevano menidurinya. Mungkin ia memang pantas diperlakukan seperti ini.
"Munafik, sok suci, dan sok jual mahal."
Lagi-lagi hinaan menyakitkan itu terngiang di dalam benaknya.
Ya, Nevano benar. Ia memang gadis yang paling munafik dan sok suci. Ia selalu memakai topeng dalam menjalani hidupnya selama ini. Tapi, apakah itu salah? Apakah salah jika ia berusaha menutupi rahasia kelamnya di masa lalu? Toh, ia cuma ingin hidup dengan benar. Menata kembali apa yang telah hancur.
Lagipula, semua orang pernah melakukan kesalahan, bukan? Dan Zora hanyalah seorang manusia biasa. Nevano juga tahu benar alasan yang melatarbelakangi dirinya hingga berani melakukan kesalahan bodoh itu. Jadi apa yang diperbuat Nevano jelas tak bisa dibenarkan.
Zora melesitkan hidung, kembali memercikkan air ke wajah yang kian sembab oleh air mata. Tersadar bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kegilaan Nevano. Ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi permainan laki-laki iblis itu lagi. Tapi, bagaimana caranya? Apakah ia harus berhenti saja dari pekerjaan ini? Lalu, menghilang sepenuhnya dari kehidupan pemuda itu agar ia bisa tenang?
Tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu menggema ke arah toilet. Zora buru-buru mematikan keran, lantas bergegas masuk ke salah satu bilik kamar mandi paling ujung. Sedikit bersyukur lantaran toilet ini kosong selama ia di sini.
Gadis itu berusaha tak bersuara di dalam bilik. Telinga ia tajamkan sewaktu mendengar dua orang wanita masuk dan membicarakan sesuatu.
"Liat nggak karyawan yang namanya Zora tadi? Gila ya, abis dari ruangan Pak Nevano penampilannya begitu. Abis ngapain dia?"
"Iya anjir, nggak habis pikir gue. Apa dia nggak takut kena tegur?"
"Gue curiga, keknya dia punya hubungan deh sama Pak Nevano."
"Mungkin aja. Lagian Mia juga bilang gitu 'kan kemarin? Dan keknya tuh cewek agak gimana gitu."
"Gimana apanya?"
"Gampangan."
"Ya elah, lo juga kalo digoda Pak Nevano pasti nggak bakal bisa nolak. Secara Pak Nevano segitu cakepnya."
"Ya, nggak di kantor juga kali. Bisa 'kan nyewa hotel atau di mana kek. Gini-gini gue masih punya moral."
Zora mengepalkan jari-jemarinya yang terasa dingin. Percakapan itu semakin membuat hatinya sakit dan secara otomatis mengingatkan situasi di masa lalu. Di mana orang-orang menggunjingkan dirinya yang murahan. Rela ditiduri karena uang. Pelacur dan sebagainya.
Zora menarik napas yang terasa sesak, seolah-olah persediaan oksigen di paru-parunya sirna. Air mata pun kembali deras mengalir. Rasanya menyakitkan sekali mengulangi mimpi buruk ini. Tuhan, bisakah ia bahagia sekejap saja?