Life is like a piano.
The white keys represent happiness and the black show sadness.
But as you go through life's journey, remember that the black keys also create music.
- Anonymous -
❣
Siang itu gerimis membasahi hampir seluruh jalanan ibukota. Levi membawa mobil Mercedes Benz putihnya membelah jalanan yang basah dengan kecepatan sedang. Ekor matanya sesekali melirik jam digital di atas dasbor. Ia memiliki janji temu dengan Evelina hari ini di sebuah restoran. Mereka ingin makan siang bersama.
Sebenarnya janji temu ini adalah ide dari Kinanti yang merasa gemas melihat putranya tak juga kunjung gencar dalam usaha pendekatan. Padahal mereka sudah dijodohkan selama 2 tahun, tapi tetap saja Levi bersikap dingin dan kaku terhadap calon tunangannya itu, seolah-olah mereka baru berkenalan kemarin sore.
Semula Levi hendak menolak ide janji temu ini lantaran ia masih harus mengurus keperluannya untuk memulai program adaptasi karena ia lulusan luar negeri. Levi memang sudah mempersiapkannya sejak masih di Inggris kemarin agar saat berada di sini tak perlu kerepotan lagi, tapi tetap saja birokrasi dan prosedur yang rumit di negeri ini membuatnya sedikit terhenyak. Levi pikir ia akan bisa langsung memulai praktek kompetensinya di RS Pemerintah atau rumah sakit universitas tanpa perlu melewati prosedur yang memusingkan. Namun, rupanya apa yang ia harapkan tak berjalan sesuai rencana.
Setelah mengurus SK dan berkas-berkas ijazahnya pada KEMENRISTEKDIKTI yang untungnya tak memakan waktu lama, Levi langsung mendaftar ke KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan tinggal menunggu placement test dari Kolegium Dokter Indonesia untuk bisa mendapatkan surat pengantar ke FK (Fakultas Kedokteran) di universitas tujuannya guna melaksanakan program adaptasi tersebut. Setelah itu baru ia bisa mendapatkan surat STR (Surat Tanda Registrasi) kedokteran bila telah dinyatakan lulus. STR adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan sebagai tanda resmi praktek kerja seorang dokter di Indonesia.
Dan semua prosedur itu bisa memakan waktu 1-2 tahun.
Levi menghentikan laju mobil ketika telah sampai di tempat tujuan, yaitu sebuah restoran berlantai dua di daerah pusat kota. Restoran itu bergaya klasik retro dengan warna abu-abu serta biru dongker yang mendominasi bangunannya. Cukup menarik dalam sekali lihat.
Pemuda itu pun segera turun begitu selesai memarkir, mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan pada Evelina bahwa ia sudah sampai.
Eve:
Masuk aja, Kak. Aku ada di lantai dua.
Levi pun membalas oke, lalu berjalan melewati pintu kaca. Seorang pria berpakaian jas rapi yang Levi duga adalah manager restoran ini, menghampirinya. Levi mengatakan kalau ia ingin menemui seorang teman di lantai dua dan pria itu pun memanggil pelayan untuk mengantar Levi ke sana.
Saat telah sampai di lantai dua, Levi mengedarkan pandang ke sekeliling. Mencari siluet Evelina di antara beberapa pengunjung yang hadir.
Gadis itu terlihat duduk di salah satu meja tak jauh dari tangga, sedang menunduk menatap layar ponsel, mengenakan dress panjang warna pastel—begitu selaras dengan kulitnya yang seputih susu dan rambutnya yang sedikit kecokelatan. Untuk standar visual perempuan, sejujurnya Evelina memang cukup cantik.
Sambil menghela napas, Levi pun langsung menghampiri gadis itu.
"Hai, Eve!" sapa Levi yang membuat Evelina mengangkat wajah.
"Kak Levi!" balas Evelina seraya tersenyum semringah.
"Udah nunggu lama?" Levi menarik kursi dan duduk di hadapan gadis berparas sedikit oriental tersebut.
"Nggak kok. Paling baru sepuluh menitan," sahut Evelina santai.
Seorang pelayan memberikan buku menu kepada mereka berdua.
Levi meneliti nama-nama makanan di hadapannya dengan seksama. Sesuatu yang membuatnya malas makan di restoran adalah karena riwayat alerginya terhadap gluten yang tak bisa ditolerir, sehingga ia harus sedikit berhati-hati dalam mengonsumsi makanan di luar.
"Tenang aja, Kak. Semua menu restoran ini gluten free. Jadi, Kak Levi nggak perlu khawatir." Evelina seolah menyadari apa yang dipikirkan Levi saat ini.
Pemuda itu sedikit menarik napas lega. Ia pun akhirnya memesan menu yang paling aman untuk dimakan, yaitu Rib Eye Steak, sementara Evelina memesan salmon panggang.
Setelah mencatat pesanan keduanya, pelayan itu pun segera pergi.
"Gimana sama program adaptasinya, Kak? Tante Kinanti bilang kalau Kak Levi lagi sibuk ngurusin itu supaya bisa dapet izin praktek di sini." Evelina memulai percakapan. Seperti biasa gadis itu selalu bersikap ramah pada Levi, meskipun Levi sendiri tak bisa menyembunyikan kecanggungannya tiap kali mereka bertemu.
"Ya, sejauh ini lumayan lancar. Mudah-mudahan nggak ada kendala atau hal-hal ngeribetin ke depannya," sahut Levi sambil menatap gadis itu.
"Aku nggak nyangka ternyata dokter lulusan luar negeri susah untuk bisa praktek di negara ini karena harus menjalani prosedur yang ribet."
"Ya begitulah, Eve. Makanya sampe ada pepatah yang bilang 'kalau mau kuliah di luar negeri jangan ambil kedokteran.' Soalnya ya, emang begini faktanya."
"Terus kenapa Kakak milih kedokteran waktu di Oxford?"
Pertanyaan itu membuat Levi sedikit terdiam. Ekspresi wajahnya berubah sendu sesaat. Jika memang ditanya alasan besar mengapa memilih dokter sebagai cita-cita, mungkin naif bagi Levi kalau ia menjawab penyebabnya adalah panggilan jiwa. Tidak. Ada alasan besar yang membuatnya ingin menjadi dokter saat itu. Alasan yang sangat klise dan konyol, tapi begitu berkesan di hati.