Dari balik pantulan cermin bulat yang terpajang di dinding, Zora memandangi wajahnya yang tampak pucat dan tak bersemangat. Hari ini adalah hari Senin. Hari di mana ia sedang membawa nasibnya di ujung tanduk. Bagaimana tidak? Keputusan Zora untuk resign benar-benar sudah tak bisa diganggu gugat.
Nekat. Jelas itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keputusan Zora saat ini, mengingat ia belum memiliki pekerjaan lain setelah resign nanti. Sebagai tulang punggung keluarga, menjadi pengangguran adalah sesuatu yang buruk. Belum lagi, ia akan terkena pinalti atau denda karena berhenti di masa kontrak kerja.
Namun, apa lagi yang bisa dilakukannya? Bagi Zora, bertahan di bawah bayang-bayang Nevano lebih mengerikan daripada harus membayar denda atau menjadi pengangguran. Setidaknya, ia ingin hidup tenang tanpa perlu menghadapi gangguan Nevano lagi.
Bunyi ketukan di pintu kamar menyentakkan pikiran gadis itu. Suara Zia terdengar memanggil dari luar. Zora pun menyahut, lantas mengikat rapi rambutnya membentuk ekor kuda. Kemudian, dipandangi amplop putih berisi surat pengunduran dirinya yang teronggok di atas meja rias sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam tas bersama flashdisk berisi laporan proposal, serta materi presentasi yang sudah diselesaikannya kemarin. Ia berkali-kali menarik napas dan mengembuskannya keras-keras. Berusaha menyemangati diri agar tak lagi terjebak oleh keragu-raguan yang menyiksa.
Zora bergegas membuka pintu kamar dan mendapati Zia telah rapi mengenakan seragam, tengah berdiri tegak di depan pintu. Adik perempuannya itu sekarang duduk di bangku kelas 7.
"Kak, aku mau berangkat sekarang," katanya kemudian.
Zora menatap jam dinding di seberang ruangan. Pukul setengah tujuh lewat. "Sarapan kamu udah dimakan?"
"Udah kok, Kak."
Zora menatap adiknya sebentar, lalu berjalan ke meja makan. Memeriksa mangkuk berisi oats yang dibuatnya tadi sebagai menu sarapan Zia dan isi mangkuk itu terlihat masih utuh tak tersentuh.
"Tuh, belum dimakan."
Zia menekuk wajah ketika tatapan Zora beralih ke arahnya.
"Makan kok tadi," jawab gadis itu pelan.
"Berapa sendok?"
Ragu-ragu, Zia mengangkat jarinya ke atas, memberi isyarat tiga.
Zora menghela napas. "Kenapa kamu nggak mau makan? Nanti kamu lemes di sekolah."
"Bosen, Kak. Lagian oats tuh nggak enak."
Zora mendesah, mencoba memaklumi keluhan adiknya yang begitu polos. Bisa dibilang, hampir seumur hidup gadis berusia 13 tahun dengan kulit putih pucat itu hanya diperbolehkan memakan makanan berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan dan juga sayur-sayuran rebus. Tak mengherankan bila Zia merasa bosan ataupun muak. Tetapi mau bagaimana lagi, semua makanan tersebut yang paling disarankan dokter atas penyakit yang diidapnya.
Saat berumur 4 tahun, Zia divonis mengidap penyakit jantung bawaan dan baru terdeteksi saat itu. Dokter menduga ada kemungkinan diturunkan dari ibu mereka yang juga mengidap penyakit sama dan telah meninggal setahun sebelumnya. Kelainan jantung yang diidap Zia adalah jenis defek septum ventrikel atau cacat septum atrium, yaitu kelainan jantung yang terjadi akibat adanya celah atau lubang di antara kedua bilik jantung. Sejauh ini, pengobatan Zia masih berupa obat-obatan ringan serta jadwal rutin ke dokter. Karena lubang yang terdapat di bilik jantung Zia masih kecil, jadi dokter belum menyarankan operasi. Hanya saja, Zora selalu mewanti-wanti dirinya agar bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kapan pun.
"Ya udah, nanti Kakak ganti menu sarapannya sama yang lain." Zora akhirnya mengalah.
"Nggak perlu makan oats lagi?" Zia sontak membulatkan mata antusias.
"Iya, tapi cuma untuk satu minggu ini aja."
Seketika gadis remaja itu mengerang kecewa. "Kakak mah gitu."
"Kamu mau sembuh nggak?"
"Ya, mau. Tapi, nggak perlu makan oats mulu, 'kan? Atau ikan rebus. Atau brokoli kukus."
Dengan sabar, Zora berjongkok di hadapan adik perempuan semata wayangnya itu. Adik yang begitu ia sayangi di dunia ini, bahkan mungkin melebihi dirinya sendiri. "Kamu harus inget kata dokter. Supaya kamu sehat terus, kamu perlu jaga makan. Kalo kamu sakit nanti kamu nggak bisa ketemu oppa kamu di Korea."
"Oppa?" Zia terkikik geli.
"Iya, itu. Siapa sih namanya? Kakak lupa."
"Jaehyun, Kak. Jung Jaehyun! Ya ampun, masa Kakak masih aja nggak inget?" Zia geleng-geleng, merasa gemas. Tentu saja, sebab hampir setiap hari ia menyebutkan nama bias kesukaannya itu di depan kakaknya.
"Nah, iya. Makanya kamu harus sehat biar bisa ketemu sama Oppa Jaehyun." Zora berkata sembari tersenyum.
"Iya, iya!" Zia balas tersenyum. Ucapan itu sedikit banyak membuat dadanya mengembang penuh harap.
Zora mengelus puncak kepala gadis itu, kemudian berjalan ke meja dapur. Mengambil kotak bekal berisi makan siang untuk Zia yang telah disiapkannya sejak subuh tadi. Setelah memasukkannya ke dalam tas adiknya, mereka pun bergegas menuju pintu depan.