Stuck With Mr. Devil

Poetry Alexandria
Chapter #15

| 14 |🌹SWMD🌹

Ting!

Suara lift yang berdenting sama sekali tak membuyarkan Zora dari lamunan. Pikiran gadis itu masih melayang ke tempat lain. Memikirkan surat pengunduran dirinya yang kini berada di tangan Nevano membuat perutnya mulas. Kenapa semua yang ia rencanakan selalu saja tidak berjalan mulus?

Nevano pasti akan mencari cara agar ia tidak bisa melepaskan diri dari sini. Memikirkan hal itu membuat Zora semakin cemas. Tidak. Tidak. Gadis itu menggeleng kuat-kuat, mencoba menghalau segala pemikiran buruk di otaknya. Ia harus bisa resign dari perusahaan ini apapun yang terjadi.

Zora terus bergeming dengan pandangan kosong. Ia tersentak ketika seseorang tak sengaja menginjak ujung sepatunya dan membuat gadis itu baru tersadar bahwa ia sudah sampai di lantai tujuannya. Gadis itu pun buru-buru menerobos keluar

"Auww!" Zora melenguh sewaktu bahunya tak sengaja menabrak keras sisi pintu lift yang hendak menutup kembali. Tangannya refleks mengusap-usap bahunya sambil menyusuri koridor lantai 12 di mana ruang kantor HRD berada.

Pikiran Zora bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya ia sampai disuruh menghadap HRD? Apakah ia melakukan kesalahan? Sejauh ini Zora selalu melakukan pekerjaannya dengan baik, bahkan ia sering menjalani lembur dan tak pernah melanggar peraturan kantor. Jadi, pemanggilan ini cukup membuatnya heran.

Gadis itu mengedarkan pandang. Sedikit kagum melihat suasana Departemen HRD yang terasa menyenangkan. Mereka menerapkan konsep tata ruang landskap atau berpanorama dengan tema green gardening, di mana setiap sudut ruangan diberikan elemen hias berupa tanaman hidup dan juga pepohonan sintetis yang semakin mempercantik pemandangan. Sangat berbeda dengan lantai tujuh tempat divisinya berada.

Zora mempercepat langkah. Para karyawan di sini terlihat sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga nyaris tak ada yang memerhatikan sewaktu ia lewat. Namun, Zora tetap saja merasa ada sesuatu yang aneh ketika beberapa dari karyawan tersebut tak sengaja bertemu tatap dengannya, lalu mereka refleks berbisik-bisik.

"Zora!" Suara panggilan itu membuat langkah Zora terhenti.

Gadis itu menoleh ke belakang, mendapati Alin sedang tergopoh-gopoh berjalan ke arahnya. Sebagai karyawan yang bekerja di bagian personalia, bukan hal yang mengherankan bila Zora bisa bertemu dengan satu-satunya sahabat terbaiknya itu di sini.

"Ada apa, Mbak?"

Yang ditanya terlihat menarik napas panjang. "Lo dipanggil sama Pak Barata, ya?"

Zora mengangguk. Pak Barata adalah nama dari manager HRD yang ingin Zora temui.

Alin langsung menarik pergelangan tangan Zora, menjauh sedikit dari keramaian. Begitu mereka sampai di sudut ruangan yang agak sepi, perempuan dengan rambut lurus sebahu itu seketika berbicara dalam nada panik, "Aduh, Ra. Gawat banget!"

"Gawat kenapa?" Zora menatapnya bingung.

Alin sesekali mengedarkan pandang. Raut cemas menghiasi wajahnya. "Ini soal lo. Gue nggak tahu kenapa gosip yang beredar makin parah. Tapi, gue juga kaget pas dengernya barusan."

"Gosip aku? Emang aku kenapa, Mbak?"

"Gue juga nggak ngerti, tapi pasti ini gegara mulut julidnya si Mia sama temennya yang suka ghibahin lo di belakang. Masa sih lo dibilang ...." Alin tak meneruskan kalimatnya. Ia tampak begitu kesal dan marah.

"Udah lah. Nggak apa-apa. Yang penting omongan mereka nggak bener, Mbak. Jangan terlalu dipikirin." Zora berusaha menenangkannya. Ia sudah bisa menebak apa yang ingin dikatakan Alin selanjutnya.

"Lo masih bisa tenang?" Alin menatap Zora gemas. "Padahal gara-gara gosip itulah, lo sampe dipanggil sama Pak Barata tau!"

Zora sontak membelalakkan kedua mata. "Serius? Jadi, aku dipanggil gara-gara masalah ini?"

"Iya. Sebenernya apa sih yang terjadi? Apa Nevano ngelakuin sesuatu sama lo? Kenapa gosipnya bisa sampe separah ini?"

Zora terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia mengatakan sejujurnya tentang apa yang dilakukan Nevano kemarin pada dirinya? Memikirkan itu membuat jantung Zora berdebar was-was.

"Ra, kenapa lo diem aja? Tuh, 'kan pasti Nevano ngelakuin sesuatu sama lo. Iya, 'kan?"

Zora mengusap hidungnya. Tiba-tiba merasa gugup. "Aku—aku sebenernya pengen ngajuin resign hari ini, Mbak."

"Damn! Lo udah gila?" sembur Alin, melototkan mata.

Zora menunduk. "Aku nggak bisa kerja di sini lagi. Aku pengen menghindar dari Nevano."

"Tapi, masalahnya kalo lo resign, lo mau kerja di mana? Sementara lo butuh uang buat pengobatan Zia dan ngidupin bokap lo. Lo harus pikirin itu."

"Iya, aku tau. Emang ini terlalu beresiko." Zora menelan ludah pahit. "Tapi, apa yang bisa aku lakuin, Mbak? Nevano udah keterlaluan."

"Kalo lo resign, lo mau kerja apa?"

"Aku bisa ngelamar di tempat lain. Apapun pekerjaannya. Yang terpenting nggak ketemu Nevano lagi."

Alin mengulurkan tangan, mencengkram kedua bahu Zora yang tampak gemetaran. Ia jadi merasa khawatir melihat raut sendu yang terpancar di wajah sahabatnya itu.

"Ya udah, pokoknya apapun yang terjadi, gue akan selalu ada di samping lo. Sebagai sahabat, gue pasti bantuin lo, Ra. Lo tenang aja."

Zora tersenyum penuh haru. Ucapan itu begitu menghangatkan hati dan memberi energi positif untuknya. "Makasih, Mbak. Makasih banyak."

Lihat selengkapnya