Roda ban mobil BMW 7 series itu berdecit ketika Nevano membelokkannya ke arah pekarangan istana keluarga Abraham dengan kecepatan tinggi. Ia nyaris menabrak sederet pepohonan palem yang tumbuh berbaris di sekitar tempat parkir. Lalu, turun dengan membanting kasar pintu mobil dan berjalan tergesa-gesa menuju bangunan utama.
Beberapa orang pelayan yang berada di sekitar buru-buru menghampiri putra sulung Rafianto Abraham tersebut, bermaksud untuk bertanya basa-basi ada keperluan apa sampai kemari. Ya, memang hal yang mengejutkan bila Nevano bisa menginjakkan kaki ke tempat ini secara tiba-tiba. Apalagi melihat ekspresi kemarahan yang terpancar di wajah pemuda itu, jelas akan ada satu lagi keributan yang mungkin akan terjadi.
"Di mana Papa?" tanya Nevano kepada para pelayan tersebut sambil terus melangkah menelusuri lorong demi lorong yang menghubungkan tiap ruangan. Ia sempat menghubungi Pak Hendris, sekretaris papanya saat perjalanan kemari dan pria itu mengatakan Rafianto sedang berada di sini.
"Tuan sedang mengadakan pertemuan. Sebaiknya Tuan Nevano tidak mengganggu Tuan Rafianto sekarang."
Nevano menghentikan langkah. Netranya otomatis menyorot tajam ke arah wanita yang merupakan kepala pelayan dalam istana ini. "Lo ngelarang gue ketemu sama papa gue sendiri?"
Pelayan wanita itu mengerjap. Tak menyangka akan mendapatkan jawaban menohok dari Nevano. Kemudian ia pun buru-buru menggeleng. "Bukan itu maksud saya, Tuan. Saya hanya-"
Nevano memutar bola mata. Kakinya kembali melangkah menyusuri lorong. Tak ingin menggubris kepala pelayan sialan itu. Ia lalu berbelok menaiki tangga utama di ruang tengah. Seingatnya, papanya sering melakukan pertemuan di ruang aula yang berada di lantai dua.
Sewaktu mencapai puncak tangga, Nevano tak sengaja berpapasan dengan Kinanti. Wanita itu seketika terkejut melihat kehadiran Nevano di rumah ini.
"Nevano?" katanya dengan suara tercekat.
Nevano mendengkus. Memilih mengabaikan wanita yang merupakan ibu tirinya itu. Jangan harap dirinya mau berbasa-basi dengan Kinanti. Meski kiamat sekalipun, ia tak akan pernah sudi melakukan hal menjijikan itu.
Begitu sampai di lantai dua, Nevano semakin mempercepat langkah. Di lantai ini, suasana mewah nan elegan menyambutnya. Banyak barang-barang antik dan mahal yang menghiasi tiap sudut ruangan. Namun, yang paling mencolok dan membuat Nevano muak adalah sebuah foto pernikahan yang terpajang di salah satu dinding. Foto pernikahan papanya dengan Kinanti.
Ah, inilah salah satu alasan utama Nevano benci menginjakkan kakinya kemari. Melihat pemandangan menjijikan itu membuat sekujur tubuh Nevano bergetar menahan emosi.
"Tuan Nevano?" Suara Pak Hendris dari sisi kiri Nevano membuat pemuda itu menoleh.
"Mana papa? Gue mau ketemu sama dia," sahut Nevano tanpa basa-basi.
Pak Hendris tampak menghela napas sejenak. Kemudian, ia membimbing pemuda itu berjalan menuju ruang aula yang berada di sayap timur bangunan rumah. Nevano mengikuti pria itu tanpa berkata apa-apa.
Pak Hendris segera membukakan pintu tertutup yang berada di hadapan mereka ketika sampai. Di dalam sana, Rafianto terlihat sedang berbicara dengan dua orang pria berpakaian rapi di tengah ruangan.
Melihat kemunculan Nevano, Rafianto pun langsung mengakhiri pembicaraannya dengan dua pria itu.
"Kita lanjutkan ini nanti. Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan putra saya."
"Baik, Pak. Kalau begitu kami permisi dulu. Kami tunggu kabar baiknya," ujar pria yang berperawakan kurus jangkung sambil mengangguk. Ia dan temannya segera beranjak meninggalkan tempat itu.
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Rafianto mengalihkan atensinya ke arah Nevano. "Ada apa kamu tiba-tiba kemari?" katanya dengan suara parau. "Bukannya kemarin kamu selalu menghindari papa? Bahkan, mengangkat telepon papa pun kamu nggak mau."
Nevano maju dua langkah. Ekspresinya terlihat semakin kelam. Ia sama sekali tak ingin repot-repot mendudukan diri di salah satu sofa di mana papanya sedang duduk saat ini.
"Sebenernya apa yang papa rencanain? Kenapa papa ikut campur urusan kantor?"