Stuck With Mr. Devil

Poetry Alexandria
Chapter #17

| 16 |🌹SWMD🌹


"Bunda!"


"Bunda!"


Seorang bocah berusia sembilan tahun berlarian dengan penuh semangat menaiki tangga. Tangannya yang memegang selembar kertas, berkali-kali ia acungkan ke atas.

"Bunda!" teriaknya lagi, dengan lincah melompati satu demi satu anak tangga di hadapan. Senyum manis terkembang di bibir mungilnya. Memunculkan dua lubang indah di kedua pipi bulat si bocah.

"Tuan Nevano, hati-hati! Nanti Tuan bisa jatuh!" Seorang pelayan yang sejak tadi memperhatikan buru-buru mengingatkan.

Namun, si bocah tak menggubris ucapan pelayan itu. Justru ia semakin antusias melompati anak tangga tersisa, demi mencari sosok wanita yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Ada sesuatu yang ingin ia pamerkan pada bundanya itu.

"Bunda!" panggil si bocah lagi begitu mencapai puncak tangga. Ia pun berlari-lari kecil mengitari ruangan. Kepalanya ia toleh ke kanan-kiri dengan napas terengah-engah. Saat melintasi bagian sayap kanan bangunan rumah, ia tanpa sengaja melihat siluet bundanya di dalam sebuah ruangan, sedang duduk memainkan keyboard dengan mata terpejam.

Tanpa membuang-buang waktu, Nevano pun segera masuk dan menghampiri bundanya itu. Perasaan antusias kini berubah menjadi euphoria yang meluap-luap dalam dada. Ia selalu menyukai bundanya saat memainkan musik. Rasanya seperti melihat pemandangan indah tersaji di depan mata.

"Bunda!" Suara nyaring si bocah akhirnya menarik atensi sang bunda yang masih khusyuk bermain.

Wanita itu refleks menghentikan permainannya, lalu menatap Nevano dengan semringah. "Nevano, kamu sudah pulang?"

Nevano mengangguk, buru-buru menunjukkan kertas ulangan di tangannya. "Lihat, Bunda! Nevano dapat nilai 100 ulangan Bahasa Inggris hari ini!" beritahunya penuh semangat.

"Hebat sekali anak Bunda!" Senyuman manis seketika terukir di bibir wanita berparas jelita dengan rambut panjang bergelombang itu, menampakkan dua lesung kecil di kedua pipi—mirip dengan milik si bocah bila tersenyum. Diraih kertas ulangan itu dan dipandanginya dengan perasaan gembira.

"Tapi, Bunda ...," ucap Nevano dengan nada pelan. Tiba-tiba saja raut bocah itu berubah muram. "Jangan bilang papa, ya? Soalnya tadi ulangan matematika Nevano dapat jelek lagi."

Ucapan itu membuat sang bunda sedikit menghela napas. Alih-alih menunjukkan kesan marah ataupun kecewa, justru wanita bernama lengkap Agnia Martadinata itu mengusap puncak kepala Nevano dengan penuh sayang. Hal yang selalu ia lakukan tiap kali putranya terlihat gelisah.

"Dapat nilai berapa memangnya?"

"65, Bun." Nevano meringis. Wajahnya yang polos jadi semakin menggemaskan. "Bunda nggak marah, 'kan? Nevano nggak suka pelajaran matematika. Susah!"

"Nggak ada yang susah. Kamu hanya perlu semakin rajin belajar, nanti pasti kamu bisa."

"Nggak mau. Liat rumusnya aja Nevano udah pusing."

"Kalau begitu terus, kapan kamu mau pintar matematika?"

Nevano menunduk, sedikit memanyunkan bibirnya. Itu adalah ekspresi yang selalu ia tunjukkan tiap kali ia merasa tak suka terhadap sesuatu.

Dengan sabar, Agnia membimbing putra semata wayangnya itu untuk duduk di sampingnya. Kemudian kembali bicara, "Kadang-kadang, kalau kita ingin menguasai sesuatu, kita harus menyukainya terlebih dahulu, Nevano."

Nevano mendongak, tapi ia tak menyahut apa-apa.

"Kamu inget nggak sama pepatah yang bilang 'Tak kenal maka tak sayang?' Maksudnya, kalau kamu sudah mengenal pelajaran matematika dengan baik, kamu pasti bakal suka sama pelajaran itu."

"Gimana caranya? Nevano liatnya aja udah ngantuk duluan, Bun."

Agnia tersenyum. "Matematika itu mudah kok kalau kamu sudah paham memecahkan rumusnya. Sama seperti bermusik, saat kita sudah mengerti memainkannya, semuanya jadi terasa mudah 'kan? Tapi, bermusik dan matematika itu perlu belajar yang tekun supaya bisa mahir."

Nevano mengembuskan napas. Bibirnya kembali cemberut.

"Ayolah, kamu pasti bisa. 'Kan ada Bunda di sini yang akan bantu kamu, atau kita cari guru tutor yang bagus. Biar kamu nggak kesulitan lagi sama matematika." Agnia mengusap lagi puncak kepala Nevano. "Dan papa itu pinter matematika loh. Kamu bisa minta ajarin papa nanti gimana caranya menguasai matematika."

"Masa sih, Bunda?"

Agnia mengangguk. "Iya, dan kamu tahu nggak kalau papa kamu juga pinter main gitar?"

"Papa bisa main gitar?" Nevano terbelalak. Jelas ia merasa kaget, sebab seingatnya ia tak pernah melihat papanya menyentuh satu pun alat musik di dalam rumah ini.

"Iya, bukan cuma gitar, piano pun bisa."

"Wah! Tapi, Nevano kok nggak pernah lihat?"

"Karena papa kamu sibuk sekarang. Bekerja di perusahaan itu sangat menyita waktu."

Nevano manggut-manggut. Masih sulit percaya kalau papanya bisa bermain musik. "Nevano nggak nyangka papa ternyata bisa main musik."

Agnia tersenyum. Tangannya dengan terampil memainkan lagi dua-tiga nada di atas tuts keyboard. Alunan musik nan lembut seketika berkumandang ke sepenjuru ruangan. Itu adalah lagu dari sebuah musik klasik kesukaannya.

Setelah nada tersebut sepenuhnya berakhir, wanita itu kembali berkata, "Bunda pertama kali lihat papa kamu main gitar saat kelas dua SMP. Waktu itu sekolah Bunda ngadain festival besar-besaran. Jadi, banyak sekolah lain yang juga ikut," kenang wanita itu sembari tersenyum. "Dan di sana-lah Bunda ketemu papa. Papa kamu kelihatan keren banget. Dia main gitar solo sambil nyanyi. Semua orang suka sama penampilannya, termasuk Bunda. Itulah yang bikin Bunda termotivasi ingin bisa main musik juga."

"Jadi kalian berdua lagi ngobrolin Papa nih?" Tiba-tiba terdengar suara berat menyela di ambang pintu.

Nevano dan bundanya serentak menoleh ke arah sumber suara. Rafianto tampak berdiri tegak, sedang menatap mereka dengan senyuman lebar. Rupanya sejak tadi ia sudah berada di sana, mendengarkan percakapan anak-istrinya.

Menyadari kemunculan papanya di sini, Nevano cepat-cepat berpaling ke arah sang bunda. "Bun, jangan kasih tahu papa soal ulangan matematika Nevano, ya?" bisiknya dengan tatapan memohon.

Agnia hanya merespon dengan kekehan pelan. Kemudian, ia kembali menatap suaminya yang kini sedang berjalan menuju tempat mereka. "Sudah pulang, Mas? Tumben cepat pulang hari ini?"

Rafianto mengangguk. "Iya, papa rencananya mau ngajak kalian berdua makan malam di luar malam ini. Kebetulan pekerjaan di kantor juga sudah selesai. Jadi, sebaiknya papa pulang saja biar cepat ketemu sama kalian."

Agnia tersenyum mendengar jawaban suaminya, sementara Nevano merasa senang mendengar gagasan makan malam di luar yang dicetuskan papanya.

"Nah, tadi kalian ngobrolin apa soal papa?"

"Itu, Pa. Kata Bunda, Papa bisa main gitar dan piano." Nevano cepat-cepat memberitahu.

"Iya, dong. Papa memang jago soal itu." Rafianto menatap putranya dengan senyuman jenaka. "Terus apa lagi yang dibilang Bunda?"

"Bunda bilang katanya Papa waktu di festival sekolah keren banget sampe bikin Bunda termotivasi untuk main musik."

Rafianto sontak tertawa. Ia langsung merangkul dan mencium kening istrinya dengan penuh sayang. "Begitu, ya?"

"Kenapa kamu kasih tahu Papa sih, Nevano?" Agnia menatap Nevano gemas. Ada semburat kemerahan menghiasi kedua pipinya.

"Eh, maaf, Bun." Nevano buru-buru mengatupkan mulut rapat-rapat, tapi kemudian ia tersenyum kecil. Merasa lucu melihat raut malu-malu yang ditunjukkan bundanya.

Rafianto masih tertawa-tawa. Sebelah tangannya yang bebas ia letakkan ke bahu Nevano. "Ya, memang itu yang terjadi, Nevano. Papa juga merasa itu kenangan yang indah untuk Papa. Soalnya Bunda adalah gadis pertama yang bikin hati Papa berdebar waktu itu."

Nevano mengernyit. Dipandangi kedua orang tuanya yang saat ini tengah saling menatap dengan sorot penuh cinta. "Bikin hati Papa berdebar? Maksudnya, Pa?"

"Nanti ketika kamu dewasa, kamu akan paham." Rafianto menepuk-nepuk lembut bahu putra semata wayangnya itu. "Hanya saja pesan papa, saat nanti kamu sudah bertemu dengan seseorang yang bisa mendebarkan hati kamu, jangan pernah kamu lepaskan. Karena mungkin saja dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan buat kamu, seperti Bunda yang sekarang menjadi bagian hidup Papa."

Nevano cuma mengangguk-ngangguk, meski dalam hati masih belum sepenuhnya paham. Namun, ia akan mengingat pesan itu di sepanjang hidupnya. Pasti akan membahagiakan bila ia bisa seperti Papa dan Bunda, di mana kedua orang itu terlihat saling mencintai satu sama lain. Nevano selalu berharap semua kebahagiaan ini takkan pernah berakhir hingga ia dewasa nanti.

-

Lihat selengkapnya