Pagi-pagi sekali Zora sudah bangun, membereskan rumah, menyiapkan sarapan untuk Zia berangkat sekolah dan segala macam pekerjaan rumah lain yang cukup menguras energi. Gadis itu berusaha menyibukkan diri. Setidaknya ia masih bisa melakukan kegiatan yang bermanfaat di rumah selama masanya menganggur sebelum mendapatkan pekerjaan baru.
Setelah selesai menyiapkan bekal makan siang untuk Zia, Zora pun segera berjalan ke kamar adik perempuannya itu, menyuruhnya bergegas agar tidak terlambat.
"Zia ...," panggil Zora di depan pintu kamar yang tertutup seraya mengetuk. "Sarapan, yuk! Nanti keburu telat."
Tak berapa lama pintu kamar itu terbuka. Zia yang telah rapi mengenakan seragam, melangkah keluar dengan raut yang tampak lesu dan sedikit pucat dari biasanya.
Zora yang menyadari keadaan adiknya itu serta-merta bertanya, "Eh, kamu sakit?"
Zia menggeleng sambil mengulas senyum tipis. "Nggak, Kak."
"Muka kamu pucet gitu. Kalo kamu sakit mendingan nggak usah masuk sekolah dulu."
"Aku ada ulangan hari ini, Kak. Mana boleh nggak masuk."
"Tapi—"
"Kak, udah tenang aja. Aku nggak papa. Lagian kayak nggak biasa aja liat muka aku yang begini." Zia menyahut tenang. Kepalanya menggeleng-geleng seolah Zora bersikap berlebihan padanya.
Gadis remaja itu kemudian berjalan menuju ruang makan. Zora pun mengikuti di belakang, masih dalam perasaan harap-harap cemas. Tak dipungkiri sebagai satu-satunya kakak perempuan dan juga seseorang yang bertanggung jawab atas diri adiknya itu, Zora merasa takut jika tak bisa menjaganya dengan baik.
"Oh ya, kenapa Kakak nggak pake baju rapi? Kakak nggak ke kantor?" tanya Zia ketika Zora menyodorkan segelas susu padanya.
"Eh?" Zora tersentak. Netranya otomatis melirik sekilas baju yang dikenakannya saat ini. Masih kaus atasan semalam dan celana training hitam kesayangan yang selalu ia pakai saat tidur. Kemudian ia menyengir, tampak salah tingkah. Zora memang belum mengatakan perihal dirinya dipecat dari kantor kemarin. Ia tak ingin adiknya merasa khawatir. Lagipula Zora sudah bertekad untuk mendapatkan pekerjaan lain sesegera mungkin.
"Ya, nanti Kakak bakal ganti baju kok. Tadi belum sempet aja." Zora cepat-cepat menjawab sebelum Zia keburu curiga.
Adik perempuannya itu hanya manggut-manggut, lalu mulai menikmati sarapannya, sementara Zora menarik kursi dan duduk di seberang Zia.
"Kakak nggak lupa 'kan kalo sebentar lagi ulang tahun ibu?" ucap Zia tiba-tiba sambil menatap kakaknya.
Zora menoleh. Baru teringat kalau beberapa hari lagi ulang tahun ibunda mereka. Meski Zia sebenarnya cuma sebentar memiliki momen bersama sang ibu. Namun, tetap saja gadis itulah yang paling bersemangat dalam hal-hal seperti ini.
"Oh iya, untung aja kamu inget," sahut Zora sambil meringis. Maklum saja ia bisa terlupa lantaran begitu banyak hal yang memenuhi pikirannya belakangan ini. "Nanti kita pergi ziarah ke makam ibu, ya."
Zia mengangguk. Namun, ekspresinya tiba-tiba berubah mendung.
"Kenapa?" Zora yang memerhatikan seketika bertanya.
"Cuma berpikir seandainya ayah juga mau ikutan pergi."
Zora terdiam mendengar kalimat itu, lalu membuang pandang ke arah lain. Rasanya ia malas sekali membicarakan sesuatu jika sudah menyangkut ayah kandungnya.
"Ayah nggak pernah sama sekali ziarah ke makam ibu. Emangnya ayah nggak kangen sama ibu?" lanjut Zia murung.
"Udah jangan mikirin hal yang nggak ada gunanya."
"Ya 'kan, kalau ayah ikut pasti rasanya seru. Lagian kita juga nggak pernah nyoba ajak ayah selama ini. Siapa tahu aja ayah mau ikut."
"Zia ...." Zora menghela napas. Merasa jengah. "Apalagi yang kamu harapin dari ayah? Ayah nggak akan peduli."
"Ya, tapi 'kan—"
"Nggak usah berandai-andai tentang hal semacam itu. Nanti kamu capek. Anggap aja ayah udah nggak ada."
Zia menunduk. Wajahnya langsung cemberut.
"Ada kalanya kamu harus bersikap realistis. Berharap sesuatu yang nggak pasti cuma bakal bikin kamu kecewa."
"Tapi, aku yakin suatu saat ayah pasti bakal berubah." Zia mengangkat mata, menatap Zora. Ada pendar penuh harap terpancar di kedua netranya. "Semua orang pasti bisa berubah, Kak. Entah itu jadi baik atau buruk. Kakak hanya perlu kasih ayah kesempatan."
Zora terdiam. Mungkin Zia benar, tapi ia sudah terlanjur skeptis memikirkan itu. Bagaimanapun, semua hal menyakitkan ini tidak akan terjadi jika ayahnya bisa diandalkan sejak dulu. Dan ketika Zora menatap lurus adik perempuannya itu, Zora seperti melihat dirinya di masa lalu. Di mana ia selalu berpikir naif tentang manisnya dunia tempatnya berpijak. Berpikir bahwa ia bisa meraih apapun asalkan ia selalu bertekad dan optimis terhadap apa yang diinginkan.
Nyatanya hidup tidaklah semudah itu.
Zora sadar bahwa ia terlalu kerdil, bahkan untuk bisa menggapai angan-angan yang menggantung di atas kepalanya sendiri. Dunia yang ia pijak bukanlah negeri dongeng yang selalu terisi penuh oleh keajaiban. Jadi, gadis itu sudah terlalu lelah walau hanya untuk sekedar bermimpi ataupun berharap. Bersikap realistis adalah satu hal yang kini mesti dilakukannya.
"Udah selesain aja sarapan kamu, nanti kesiangan," kata Zora akhirnya. Memang sebaiknya ia menyudahi pembicaraan ini atau ia akan semakin muak. Lagipula yang menjadi objek pembicaraan pun tak akan mendengar ataupun peduli.