Jika ditanya hal apa yang paling Zora takuti di dunia ini, maka gadis itu sudah pasti akan menjawab kehilangan.
Zora sudah pernah mengalami mimpi buruk itu ketika menginjak usia 15 tahun. Ibunya meninggal secara tiba-tiba karena penyakit jantung yang dideritanya. Seolah dunia tak ingin repot-repot bersimpati, dua bulan kemudian ayah Zora pun mengalami kecelakaan dan kaki kirinya tak bisa lagi digunakan secara normal. Kecelakaan itu membuat Gustian depresi lantaran ia juga di PHK dari tempatnya bekerja. Lalu, satu tahun berikutnya giliran Zia divonis menderita penyakit jantung bawaan.
Semua kejadian buruk itu menimpa keluarga Zora secara beruntun. Gadis itu sempat tak tahu lagi bagaimana menjalani hidupnya dengan normal. Namun, Zora tetap berusaha bersikap optimis dan percaya bahwa akan selalu ada pelangi di setiap badai yang datang.
Tetapi, itu dulu. Dulu saat Zora masih berpikir naif. Saat Zora masih percaya mukjizat dan keajaiban dalam hidup ini. Saat Zora masih dipenuhi harapan serta mimpi-mimpi indah. Sekarang Zora sendiri tidak yakin apakah harapannya tentang pelangi itu benar-benar nyata. Dunia yang ia jalani terlalu monokrom, sehingga satu pelangi saja rasanya takkan mampu mewarnai dunia kelamnya.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seorang dokter keluar dari ruangan ICU di mana Zia tengah dirawat di dalam sana.
Zora pun buru-buru menghampiri dokter pria tersebut. Dokter itu memakai kacamata dengan potongan rambut rapi dan usianya hampir separuh baya.
"Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Zora serta merta. Tak bisa menyembunyikan lagi kegelisahan yang menderanya sejak tadi.
Dokter itu melepas kacamatanya dan menjawab, "Pasien sekarang sudah berhasil melewati masa kritisnya. Hanya saja ...."
Kedua mata Zora melebar mendengar pernyataan itu. Jantungnya pun semakin berdebar tak karuan. "Apa ada masalah, Dok?"
Dokter itu mengangguk. "Ya. Setelah tadi dilakukan pemeriksaan, ternyata pasien memiliki lubang lain di bagian aortanya. Kita sebaiknya melakukan operasi penambalan cepat agar kondisi pasien tidak semakin memburuk."
Zora merasa lututnya lunglai. Ia nyaris terjatuh jika tak buru-buru menyeimbangkan diri dengan benar. Zia memang menderita penyakit jantung bawaan dengan jenis yang tidak benar-benar bisa diperbaiki, dan karenanya akan terus menerus mengancam hidup gadis itu.
"Operasi?" ulang Zora sambil menahan napas. Biaya operasi Bypass jantung setahu Zora sangat mahal, sementara ia tidak punya tabungan yang cukup untuk membiayainya. Belum lagi, kemarin ia baru saja dipecat.
"Lebih cepat lebih baik. Jika pasien sudah memiliki asuransi kesehatan, segera saja daftarkan. Kita tidak bisa menundanya lagi terlalu lama. Lubang itu bisa mengancam nyawa pasien bila tak segera ditangani."
"Baik, Dok. Tidak apa-apa. Lakukan saja. Tolong, selamatkan adik saya," kata Zora nyaris memohon. Tatapannya mengarah ke jendela kaca ruangan Zia dirawat. Terlihat adik kesayangannya itu masih berbaring dengan mata terpejam. Banyak selang-selang yang terhubung ke tubuh gadis itu. Menyaksikannya sungguh membuat Zora ingin menangis.
"Kalau begitu, mari ikut ke ruangan saya. Saya akan jelaskan prosedur dan juga detail operasi yang harus dilakukan."
Zora mengangguk, berjalan cepat di sisi sang dokter. Setidaknya masih ada harapan untuk Zia selamat. Zora akan melakukan apapun demi adik sematawayangnya agar bisa tetap hidup. Rasanya gadis itu tak sanggup jika harus menghadapi lagi apa yang dinamakan dengan kehilangan.
Sementara itu, tanpa Zora sadari sejak tadi ada Levi yang memerhatikan dirinya di ujung lorong dalam diam. Levi tak tahu harus bereaksi bagaimana. Pemuda itu hanya bisa termenung dengan perasaan bimbang dan sedikit kaget.
Pertama, ia baru menyadari keadaan Zora yang tampak begitu susah dan kesulitan. Kedua, ia juga baru tahu tentang adik Zora yang bernama Zia dan kenyataan penyakit yang diidapnya.
Dua fakta tersebut membuat Levi dirundung kebimbangan teramat sangat. Namun, pemuda itu buru-buru menepis perasaan itu. Kebencian yang sejak lama menggerogoti hati jelas lebih dominan menguasai dirinya. Levi tak ingin menyesali apa yang telah menjadi keputusannya. Lagipula, gadis itu hanyalah bagian dari masa lalunya saja. Semua yang terjadi bukan lagi urusannya.
Levi berbalik. Berniat kembali ke lobi. Mungkin saja Dokter Gibran yang akan menjadi dokter pembimbingnya selama di sini sudah datang. Jadi, ia sebaiknya mengurus urusannya yang jauh lebih penting daripada berdiri tanpa tujuan di sini.
Namun baru saja beberapa langkah, Levi malah membalikkan badan. Lalu, ia berjalan menuju ruangan Zia dirawat. Rupanya raga dan pikiran pemuda itu sama sekali tidak sejalan. Alih-alih beranjak pergi, Levi justru kembali.
Pemuda itu tampak mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya memutar kenop pintu dan melangkah masuk.
Suara denyut jantung pada Electrocardiogram menyambut pemuda itu. Levi mengedarkan pandang, lantas memandang Zia yang masih berbaring di atas brankar dengan selang oksigen terpasang di penciumannya. Perlahan-lahan, dihampirinya gadis itu. Tiba-tiba Levi merasa sesak. Ia sama sekali tidak pernah mengetahui kenyataan ini. Pasti berat sekali bagi Zora harus mengurus seorang adik yang memiliki riwayat penyakit seperti ini.
"Kenapa kamu pengen banget jadi dokter?"
Pertanyaan itu membuat Zora yang baru saja hendak membuka bungkus es krim cone di tangannya terhenti. Ia menoleh, menatap Levi sembari menyunggingkan senyum tipis.
Gadis itu mengendikkan bahu. "Pengen aja."
"Bohong. Pasti ada alasan khusus, 'kan?" desak Levi tak percaya. Ia tahu benar bagaimana kerasnya Zora belajar demi mengejar beasiswa di sekolah kedokteran.
Zora mendesah. Alih-alih menjawab, ia malah balik bertanya, "Kamu sendiri kenapa tiba-tiba pengen jadi dokter juga?"
Levi menggigit kecil es krim vanila di tangannya sambil nyengir. "Mau jawaban jujur atau yang bohong?"
"Ih, apaan sih. Ya, yang jujur dong," sahut Zora sambil berdecak gemas.
Levi terkekeh. "Sebenernya, aku juga nggak tahu sih. Tapi, waktu aku nemu buku kamu waktu itu, hatiku jadi tergerak. Kayaknya jadi dokter adalah sesuatu yang bisa aku lakuin di masa depan," jelasnya. "Aku sempet kebingungan selama ini karena papa selalu berharap banyak sama aku, Ra. Dan aku juga nggak mau Kak Nevano makin benci sama aku kalo aku yang jadi penerus perusahaan papa. Lagian, jadi dokter juga pasti menyenangkan. Aku suka banget sama pelajaran IPA, terutama kimia."
Zora manggut-manggut dan tersenyum. Kemudian, mengalihkan tatapan ke langit biru jernih di atas mereka yang dipenuhi awan-awan berarak. Mereka seperti biasa sedang duduk di rooftop sekolah, tempat favorit sepasang remaja itu menghabiskan waktu istirahat. Melihat pemandangan dari atas sini benar-benar menyegarkan mata.