"Levi?" seru Zora sekali lagi, menatap pemuda yang berdiri di hadapannya dengan perasaan tak percaya. Ia mengerjap, mungkin saja ia salah lihat. Namun, penglihatannya memang tidak salah. Pemuda itu benar-benar Levi.
"Zo—Zora?" balas Levi dengan keterkejutan yang sama.
Zora melongo. Dari sejuta kemungkinan yang bisa terjadi, melihat Levi berada di ruangan ini adalah satu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Gadis itu sampai bertanya-tanya, apa yang membuat Levi bisa berada di sini?
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Zora akhirnya menyuarakan pikirannya setelah terdiam beberapa saat.
Levi menghela napas gugup. Pemuda itu sedikit menyesal kenapa nekat masuk kemari dan akhirnya tertangkap basah. Seharusnya memang ia kembali saja ke lobi tadi. Sekarang apa yang harus ia katakan? Tidak mungkin ia menjawab sejujurnya bahwa ia merasa penasaran dan ingin mencari tahu.
"Kayaknya aku ... uhm ... salah masuk ruangan," jawab Levi sambil berdeham. Tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Zora cuma mengangguk, walau ia masih merasa takjub dengan apa yang terjadi saat ini.
Keduanya kembali bertatapan. Ada hal yang mengganjal dalam hati Zora. Menyaksikan Levi yang tiba-tiba hadir di depan kedua mata, membuat gadis itu kebingungan untuk bereaksi bagaimana. Semuanya terlalu mendadak dan sangat di luar nalar.
Sementara Levi sendiri justru hanya terdiam dengan raut tegang. Jantungnya pun tak henti bergemuruh sejak tadi. Tatapan hangat Zora, wajah lugu gadis itu, serta suara lembutnya yang selalu berhasil membuat hati Levi berdebar. Ada rindu dan juga perasaan dejavu yang menyesakkan. Semua perasaan itu perlahan-lahan merambat ke dalam raga, menyebar ke setiap pembuluh darah, melumpuhkan sistem impuls saraf di otak dan me-malfungsikan seluruh persendiannya, membuat Levi seakan mati rasa.
Ah, beginilah dirinya bila sudah berhadapan dengan gadis itu. Begitu payah, seolah benteng pertahanan yang dibangunnya selama ini menjadi percuma.
"Apa kabar, Levi?" Suara Zora memecah keheningan yang menyelimuti keduanya. Gadis itu sedikit menunduk ketika menanyakan hal tersebut. Mungkin pertanyaan ini terkesan basa-basi, tapi cukup membuat Levi tergugu.
Kabar? pikir Levi getir. Naif sekali bila ia menjawab bahwa dirinya baik-baik saja setelah apa yang terjadi. Tidak. Ia jelas tidak baik-baik saja selama ini. Zora tidak pernah tahu betapa kerasnya ia berjuang mengumpulkan kepingan hatinya yang hancur karena ulah gadis itu.
"Selamat, ya—" Zora kembali berbicara. Kali ini ia sedikit menengadah. Netra bulatnya melirik sekilas ke arah jas putih yang tersampir di lengan kiri Levi. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang tampak begitu tulus. Senyuman khas seorang Zora Kaureen. "—kamu berhasil meraih cita-cita kamu."
Levi menghirup napas dalam-dalam. Paham apa yang tengah dimaksud oleh Zora. Ia ikut melirik jas putih di tangannya dan menjawab dalam nada dingin—sangat dingin. "Makasih."
Zora kembali menunduk. Jawaban dingin Levi membuat hatinya perih. Dan rasa bersalah itu mulai mengguyurnya seperti hujan di tengah badai. Apa yang ia harapkan? Bahwa Levi akan bersikap hangat padanya? Bahwa Levi akan melupakan semua yang telah ia lakukan? Jelas itu mustahil. Zora cukup tahu diri. Ia tidak akan bisa memperbaiki apa yang telah hancur dan rusak, meski Zora selalu berharap bisa melakukannya.
Pelan-pelan, gadis itu menggeser tubuh dari daun pintu, memberi ruang untuk Levi karena pemuda itu sepertinya tak sabar ingin segera pergi dari sini. Namun, Levi justru bergeming. Hanya memandangi Zora melalui kedua mata hitamnya dengan sorot tajam. Sama sekali tak beranjak.
"Itu Zia, 'kan? Adik kamu?" tanya Levi sejurus kemudian.
Zora refleks mendongak. Dilihatnya Levi tengah menggerling ke arah Zia yang berbaring di brankar. Zora pun menjawab dengan anggukan pelan.
"Sejak kapan dia sakit?"
"Udah lama. Sejak kita masih di sekolah."
"Aku baru tahu masalah ini. Kenapa kamu nggak pernah bilang?"
Zora terdiam. Mengingat kembali ke belakang, ia memang tak pernah menceritakan masalah ini pada Levi.
"Maaf ...." Hanya kata itu yang akhirnya meluncur dari mulut Zora. Kata-kata yang jelas memberi kesan pengecut. Sulit bagi Zora untuk menjelaskan apa yang sudah lama berlalu.
"Terlalu banyak rahasia, Zora." Nada bicara Levi terdengar getir. "Terlalu banyak hal yang kamu rahasia-in dari aku selama ini."
Zora lagi-lagi terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Gadis itu semakin dilanda rasa bersalah dan ini betul-betul membuatnya tersiksa.
Ada jeda yang perlahan-lahan mengisi ruangan itu. Tak ada yang bergerak maupun berbicara. Hanya terdengar suara denyut jantung Zia pada Electrocardiogram. Dua insan yang dulunya pernah sedekat nadi, walau kini telah menjadi sejauh matahari itu masih tetap membisu. Sibuk terhadap pemikiran tentang apa yang benar dan apa yang salah. Tentang kenangan-kenangan yang menyiksa. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Tentang sisa-sisa rasa yang mungkin masih belum sepenuhnya sirna.
"Kamu berhak benci sama aku, Levi," gumam Zora akhirnya seraya mengangkat mata, menatap lurus Levi. Ada kilatan sedih yang terpancar di kedua netranya. "Aku akan terima semua itu. Aku memang pantas untuk dibenci."
Levi mendengus. "Nggak perlu kamu minta, karena itulah yang udah aku rasain sama kamu."