Kringgggg!!!
Bel sekolah yang berbunyi nyaring itu menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Semua murid berseru antusias seraya membereskan buku pelajaran masing-masing ke dalam tas, bersiap untuk pulang, termasuk Zora yang berada di ruang kelas XI IPA 1.
Selesai membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas, Zora bergegas memacu langkah menuju ruang musik yang terletak di lantai tiga gedung sekolah. Gadis itu berniat untuk menemui guru seni mereka, membicarakan tentang kontes bulan Bahasa yang akan diadakan 2 minggu ke depan. Zora ingin mengundurkan diri dari kontes tersebut lantaran ia tidak bisa ikut. Zora tidak dapat meninggalkan Zia sendirian di rumah karena acara kontes itu diadakan di Cibubur selama tiga hari dan mengharuskan mereka untuk menginap.
Zora menaiki tangga menuju lantai tiga, menyalip di antara lautan siswa-siswi lain yang berebut ingin pulang. Ruang musik terletak paling ujung dan sering digunakan untuk pelajaran seni ataupun yang berkaitan dengan kegiatan ekstrakurikuler.
Saat Zora sampai di depan ruang musik tersebut, ia tak sengaja mendengar seseorang sedang menyanyikan lagu diiringi petikan gitar yang mengalun lembut. Kening Zora berkerut, otomatis mempertajam pendengaran. Gadis itu mendorong pelan pintu yang setengah tertutup, lalu masuk ke dalam. Pikirannya bertanya-tanya, siapakah gerangan yang sedang bernyanyi itu? Suaranya begitu merdu hingga menarik rasa penasaran Zora untuk mencari tahu.
Begitu berada di dalam, Zora langsung tertegun tatkala pandangannya membentur sosok murid laki-laki duduk di salah satu kursi yang terletak di tengah ruangan. Sebuah gitar akustik berada di tangan murid laki-laki itu. Kedua matanya terpejam, seolah tengah menghayati lagu yang sedang dimainkan. Zora menahan napas. Tak menyangka kalau ternyata oknum yang berhasil memancing rasa penasarannya itu adalah Nevano Abraham, kakak kelasnya.
Baru kali ini Zora mendengar Nevano bernyanyi secara langsung di depan kedua mata. Tak heran pemuda itu didapuk menjadi vokalis band sekolah mereka. Ternyata Nevano memang pandai bernyanyi. Suara baritone-nya sopan sekali masuk ke telinga, membuat Zora terhanyut tanpa sadar.
I don't mind spending every day...
Out on your corner in the pouring rain...
Look for the girl with the broken smile...
Ask her if she wants to stay a while...
And she will be loved...
And she will be loved...
Bait demi bait lagu She Will Beloved milik Maroon 5 yang dinyanyikan itu sukses merasuk ke sanubari Zora yang terdalam. Entah mengapa ada aura berbeda dari diri Nevano ketika ia bernyanyi, semacam aura magis yang mampu menggetarkan hati. Zora tak ingin berlebihan, tapi ia jujur mengakui kalau Nevano yang ia lihat saat ini sangat lain dari biasanya.
Dan nyanyian itu pun berhenti bersamaan dengan Nevano yang membuka kedua mata, sementara Zora masih membeku di tempatnya berdiri. Terlalu terkesima untuk bereaksi spontan.
Kedua remaja itu saling berpandangan sejenak. Tak ada yang bicara. Hanya suara deru pendingin ruangan yang terdengar bergema di sekeliling mereka. Ada hal yang rasanya sedikit janggal. Tentang bagaimana jantung Zora berdetak saat ini. Terlalu keras, terlalu cepat dan tidak beraturan.
Nevano perlahan-lahan beranjak dari duduknya, meletakkan gitar yang ia pegang ke tempatnya semula, lalu kembali menatap Zora dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Apa lo segitu terpesonanya sampe-sampe melongo gitu ngeliat gue dari tadi?" Suara baritone Nevano sukses mengembalikan kesadaran Zora yang hilang entah ke mana.
Zora mengerjap, buru-buru membuang pandang ke arah lain. Agak menyesal karena sempat merasa kagum dengan pemuda di hadapannya ini meski cuma beberapa detik saja.
"Jangan salah sangka," sahut Zora kemudian.
Nevano menyipitkan mata, tampak tak percaya. "Terus kenapa lo kemari kalo bukan karena pengen liat gue nyanyi?"
"Mau ketemu Pak Taufik di sini." Zora memutar bola mata. Baru menyadari kalau tingkat kepedean seorang Nevano ternyata sudah taraf akut.
Masih dengan ekspresi yang sama, Nevano maju beberapa langkah. Kemudian, berdiri tegak dengan kedua tangan berada di dalam saku. Memasang gaya pongah seperti biasa. Mata elangnya mengamati Zora selama beberapa saat. Begitu lekat, sampai-sampai gadis itu merasa jengah sendiri.
Zora kadang tidak mengerti, tapi ia bisa merasakan bahwa Nevano seperti ngengat pada nyala lampu tiap kali melihatnya. Seperti serigala pada seekor domba atau seperti harimau pada buruannya. Ada kilatan misterius yang terpancar dari iris cokelat gelap itu. Kilatan yang memberi kesan berbahaya.
Dan teringat pertemuan Zora dengan Nevano beberapa hari lalu, saat Nevano menarik gadis itu ke sebuah gudang, lalu memberi ancaman gila karena kedekatan Zora dengan Levi, membuat gadis itu bergidik. Zora sadar bahwa bersinggungan dengan Nevano berarti masalah. Jelas Zora harus menjauhi Nevano sebisa mungkin.
"Coincidence," gumam Nevano setelah terdiam beberapa saat.
"Apa?" Zora menatap pemuda itu dengan alis bertautan.
"Suatu kebetulan yang terjadi." Nevano mengangkat bahu. "Seperti pertemuan kita berdua di sini. Itu pun kalo memang suatu kebetulan. Karena kayaknya bukan tanpa alasan kita bisa ketemu di sini, 'kan?"
Zora tak menjawab, hanya menelaah ucapan Nevano yang terasa membingungkan.
Saat itu, Pak Taufik yang ingin Zora temui sejak tadi muncul di ambang pintu. Guru pria dengan tubuh jangkung itu sedikit terkejut melihat ada Nevano di dalam ruangan ini. Namun, ia tak berkata apa-apa dan memilih masuk ke ruangan seraya memandang Zora.
"Oh, ada apa, Zora? Ada yang mau kamu bicarakan?"
Zora hendak menjawab, tapi Nevano lebih dulu menyela seraya berjalan cepat menghampiri guru seni itu.
"Pak, saya mau bicara mengenai kontes festival bulan Bahasa. Kenapa surat izinnya belum turun juga?"
Pak Taufik mengalihkan atensinya pada Nevano seraya mendesah. "Maaf, Nevano. Kalian tidak bisa ikut festival itu. Band kalian tidak mendapatkan izin."
Nevano mendelik. "Nggak dapet izin? Kenapa? Bukannya kami bawa nama sekolah?"
"Karena papa kamu sudah memberi ultimatum pada kami untuk melarang kalian ikut festival manapun, terutama kamu Nevano."
Nevano menggertakkan rahang. Ucapan itu membuat emosinya seketika naik ke kepala. "Jadi ...," katanya seraya menggeram. "...maksud Bapak kami harus mengundurkan diri dari festival itu? Apa Bapak bercanda?"
"Bapak tahu kamu pasti akan terkejut. Tapi, kalian memang tidak bisa ikut."
"Bapak tahu tidak apa yang sudah kami persiapkan selama ini demi bisa mewakili sekolah?"
"Maaf, Bapak tidak bisa mengambil resiko. Semua keputusan ada di tangan orang tua kalian. Sebaiknya kamu bicarakan ini pada papamu agar dia mau memberikan izin."
"Ini nggak lucu, Pak!" Nevano semakin berang. "Kalian sendiri yang bilang kami akan mewakili sekolah. Kenapa tiba-tiba begini? Apa kalian sengaja mempermainkan kami?"
"Sudah Bapak bilang kalau semua keputusan ada di tangan orang tua kalian. Sekolah tidak bisa memberi izin kalau orang tua kalian tidak—"
"DAMN!"
Baik Zora maupun guru seni itu sedikit berjengit mendengar suara Nevano yang menggelegar.
"Kamu bilang apa? Apa kamu barusan mengumpati Bapak?" Pak Taufik langsung memelototinya.
Nevano tak menjawab. Ia menarik napas dan mengembuskannya kasar, lalu menendang kursi yang berada di dekatnya dengan keras, membuat kursi itu terbalik. Kelihatannya Nevano benar-benar murka atas keputusan mengejutkan yang harus diterimanya.
Sambil merenggut tas ransel yang tergeletak di lantai dengan kasar, pemuda itu lantas bergegas meninggalkan ruangan. Masih dalam suasana hati yang dipenuhi amarah. Kepalan tinjunya ia hantamkan ke daun pintu yang setengah menutup hingga menimbulkan bunyi berderak keras.
Pak Taufik yang memperhatikan hanya bisa berdecak sembari geleng-geleng menatap kepergian muridnya yang sangat ajaib itu. Sementara Zora berjalan menghampiri kursi yang tadi ditendang Nevano, mengembalikannya ke posisi semula.
"Dasar anak itu! Kalau saja papanya bukan penyandang dana terbesar sekolah ini, sudah Bapak jemur dia di lapangan." Pak Taufik mendesah bersamaan dengan suara pecahan benda lain dari arah luar ruangan.
Entah apa yang dilakukan Nevano kali ini, yang jelas Zora sedikit terperanjat mendengarnya. Sementara Pak Taufik justru memilih tak menggubris pemuda itu. Ia lantas mengalihkan atensinya kembali pada Zora.
"Nah, Zora. Ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?"