"Gimana? Lo setuju?" Nevano menatap lurus Zora. Masih dengan senyuman khasnya yang menghiasi wajah.
Zora terperangah, tak tahu harus menjawab apa. Nevano itu gila dan ia sudah menyadari itu sejak lama. Namun, ia tak menyangka kalau pemuda itu lebih gila dari yang ia bayangkan.
"Cukup serahin tubuh lo dan gue bakal membantu semua masalah lo sampe tuntas," kata Nevano lagi. "Anggap aja gue Dewa Penolong yang dikirimkan Tuhan buat lo."
"Dewa Penolong?" geram Zora. "Kamu itu iblis yang datang cuma untuk ngancurin hidup aku!"
Nevano tersenyum mendengar makian itu. "Well, ini adalah penawaran yang pas buat situasi lo saat ini, Zora. Lo butuh uang dan gue perlu tubuh—I mean, jasa lo. Jadi, gue pikir itu impas."
Zora tak menjawab. Ucapan itu sangat menyentil harga dirinya. Rasanya ia seperti tak punya kehormatan lagi bila sudah berhadapan dengan Nevano.
"Pikirin aja tawaran ini baik-baik. Biaya operasi jantung itu sangat mahal, bisa sampe ratusan juta. Lo mau dapet uang segitu dari mana? Lo jual ginjal pun belum tentu laku," cibir Nevano seraya berjalan mendekati gadis itu. Kemudian ia berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa satu langkah.
Zora bisa melihat kilatan misterius terpancar dari sepasang mata elang Nevano. Kilatan yang selalu Nevano tunjukkan tiap kali mereka bertatapan.
"Lagian lo harus bersyukur. Selain gue, nggak akan ada laki-laki lain yang mau kasih tawaran semahal itu dengan kondisi lo yang ...." Ia sedikit mencondongkan tubuh, lalu berbisik pelan di telinga Zora, "... udah nggak perawan lagi."
Zora refleks mengepalkan tinjunya. Jika saja ia mengikuti emosinya saat ini, pasti ia sudah menampar pemuda itu untuk yang kedua kali. Namun, Zora memilih untuk menahan diri. Menghadapi Nevano memang butuh kesabaran ekstra. Semakin diladeni, pemuda itu akan semakin menjadi.
"Kenapa kamu selalu mandang rendah orang lain? Kamu pikir uang kamu bisa beli segalanya?"
"Gue hanya bersikap realistis. Di dunia ini nggak ada yang gratis."
"Aku nggak sefrustrasi itu untuk nerima tawaran gila kamu!" Zora mendelik tajam. Kepalanya ditegakkan dengan sikap menantang. "Dan aku pengen nanya satu hal sama kamu."
Kedua alis tebal Nevano otomatis terangkat. "Tentang?"
"Kenapa kamu segitu tertariknya nawarin aku bantuan? Aku tahu kamu itu bajingan dan punya banyak uang, tapi pasti ada alasan utamanya, 'kan? Apa ini semua masih karena Levi? Atau kamu memang sebenernya suka sama aku?"
Tawa Nevano seketika tersembur. "Lo serius nanya itu?"
"Ya. Karena aku nggak ngerti sama kamu. Kamu datang kemari, dan bicara hal-hal yang bikin aku sakit hati. Sebenernya tujuan kamu tuh apa? Kalau hanya menyangkut perusahaan, bukan begini caranya!"
Selama beberapa saat, Nevano tak menjawab. Tapi, kemudian ia mengangkat bahu santai. "Gue udah jawab dengan jujur saat Levi ada di sini tadi. Apa gue harus jawab dengan jawaban yang sama?"
"Jadi kamu memang suka sama aku? Iya?"
"Kalo lo pengen menganggapnya begitu." Nevano tersenyum, memunculkan lesung di pipi kiri-kanannya. Andai saja pemuda ini bukanlah manusia brengsek, Zora bisa saja mengakui bahwa visual Nevano memang sungguh sangat menarik.
Mendengkus sinis, gadis itu pun kembali bicara panjang lebar dalam satu tarikan napas dan begitu cepat. "Asal kamu tahu aku nggak pernah suka sama kamu Nevano, apapun yang terjadi sama kita di masa lalu itu cuma sebuah kesalahan bodoh yang pernah aku buat dan aku harap kamu berhenti ganggu hidup aku, kita udah nggak ada urusan jadi daripada kamu buang-buang waktu di sini mendingan kamu cari wanita lain yang bisa ikutin apapun kemauan kamu karena aku bukan lagi cewek bodoh yang bisa kamu mainin seenaknya!"
Sejenak, Zora menyangka Nevano akan murka mendengar perkataannya, tapi yang ia saksikan justru pemuda itu malah tertawa. Seolah yang ia katakan adalah lelucon.
"Udah? Marahnya udah?" ejek Nevano di sela gelak tawanya yang menyebalkan.
Zora menggertakkan gigi. Pipinya memanas. Apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi manusia super laknat ini? Stok kesabarannya pun rasanya sudah mencapai batas limit.
"Dasar gila!" Cuma itu akhirnya yang bisa Zora katakan.
"Gue cuma pengen lo kembali ke perusahaan," gumam Nevano begitu tawanya reda. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Lantas, menarik tangan Zora dan meletakkan benda yang diambilnya tadi ke atas telapak gadis itu.
Zora membelalak mendapati sebuah kartu kredit berjenis platinum berwarna hitam yang berada dalam genggamannya. Saat ia hendak memprotes, suara Nevano lebih dulu menginterupsi.
"Pake itu buat bayar biaya operasi adik lo. Jangan buang-buang waktu atau nyawa adik lo bisa terancam." Ia mengingatkan. "Sebagai gantinya, kembalilah ke perusahaan dan turutin apa yang gue perintahkan."
Zora melengos jengkel. Benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Nevano yang amat sukar ditebak. Dihempaskannya kembali kartu kredit itu ke arah Nevano seraya menukas, "Makasih, tapi aku masih bisa usaha sendiri. Nggak perlu bantuan dari kamu!" Setelah itu ia berbalik, tapi Nevano buru-buru menahannya.
Zora terperanjat ketika dirasakannya tangan Nevano bergelung di pinggangnya.
"Gue datang jauh-jauh ke sini bukan untuk menerima penolakan lo, Zora," sergah Pemuda itu. "Pertimbangkan baik-baik tawaran gue, jangan sampe lo nyesel."
"Tapi, aku nggak butuh bantuan kamu!"
"Yeah, I know. But in case, you should see your pathetic situation first. Kadang-kadang, terlalu memikirkan harga diri juga bukanlah sesuatu yang baik, apalagi dalam keadaan lo yang begini." Nevano tersenyum miring. Tatapannya semakin menajam, memberi isyarat peringatan.
Zora meneguk ludah, merasakan aura intimidasi Nevano yang seakan bisa meleburkannya dalam sekejap. Nevano mempererat rangkulannya, membuat jantung Zora bergemuruh tak beraturan. Ia menggigit bibir ketika dirasakannya tangan Nevano mulai merambat menelusuri punggung, lalu dengan kurang ajarnya menyelipkan kartu kredit itu ke arah saku belakang Zora sambil sedikit meremas bokongnya.
"Breng—sek ...," umpat Zora dengan suara tertahan, berusaha melepaskan diri.
Senyum Nevano melebar melihat reaksi yang ditunjukkan gadis itu. Ia sama sekali tak terganggu, justru semakin mendekatkan wajah ke arah telinga Zora seraya berucap lirih, "Honestly, I'm not lying that I really like you, Zora. I like when I rocking your body and you sigh my name gently—"
Zora memejamkan mata. Napasnya serasa tertahan di tenggorokan kala mendengar kalimat laknat Nevano selanjutnya, "I still wait you come to my place and we do it again in my bed."
Habis berkata begitu, Nevano langsung melepas rangkulannya dan pergi meninggalkan Zora yang masih mematung dengan perasaan syok hebat.
💫
"Bik, tolong bunga yang itu pindahin ke sini, ya! Dan yang ini, vasnya ganti sama yang kristal."
"Baik, Nyonya!"
"Tirai yang sebelah sini tolong diganti juga, sesuaikan sama warna tirai yang dipasang di jendela. Biar nggak keliatan ganjel gitu liatnya."
"Iya, Nyonya."
"Lukisan yang ini dipindahkan ke ruang baca saja. Ganti sama lukisan yang baru dibeli kemarin."
"Baik, Nyonya!"
"Dan yang ini mejanya coba agak digeser ke sebelah kiri. Dipanjangin gitu dan ganti piringnya sama yang tanpa corak. Polos saja. Perhatikan susunannya jangan sampai salah."
Kinanti sibuk mondar-mandir di sekitar area ruang makan, dapur dan juga ruang tamu. Mengatur para pelayan agar lebih maksimal dalam bekerja. Hari ini entah mengapa wanita yang dulunya merupakan seorang model itu, ingin mengganti suasana baru di dalam rumah. Sejak pagi tadi ia sudah sibuk berkeliling, mencari kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang kerap mengganggu selama beberapa hari belakangan.
Ya, tak dipungkiri sejak kekacauan acara makan malam yang terjadi pekan lalu, Kinanti bagai terkena mental. Ia tak bisa melupakan ucapan-ucapan menyakitkan yang ditujukan Nevano kepada dirinya dan juga Levi. Belum lagi ia sempat mendengar pertengkaran Nevano dan Rafianto waktu pemuda itu mengunjungi tempat ini kemarin. Padahal kalau dipikir-pikir, hal semacam ini seharusnya sudah biasa bagi Kinanti. Toh, Nevano memang selalu bersikap terang-terangan dalam menunjukkan kebenciannya terhadap orang-orang seisi rumah, terutama dirinya dan Levi. Namun tetap saja, Kinanti merasa sakit hati setiap kali ia teringat.
"—gara-gara seorang perempuan murahan, Nevano sampai kehilangan bunda!"
Perempuan Murahan!
Kinanti menelan ludah. Dua kalimat nyelekit yang dilontarkan Nevano tersebut bagai mantra ajaib yang terus membekas di dalam otak. Seharusnya Kinanti tak mendengar percakapan itu. Percakapan yang membuat hatinya bagai diiris sembilu. Percakapan yang tentu menyebabkan insomnia-nya semakin memburuk. Namun, sudah kepalang dengan apa yang terjadi. Saat itu Kinanti kelewat penasaran sampai-sampai melakukan sesuatu yang cuma melukai perasaannya sendiri.
Sembari menghela napas, Kinanti lantas memilih meneruskan langkah menuju tangga utama yang berada di ruang tengah, meminta beberapa pelayan mengganti karpet yang melapisi tangga tersebut dengan warna lain yang lebih terang. Saat itu netranya tanpa sengaja menangkap dua pelayan lain sedang berbisik-bisik di ujung lorong, dan tengah memegangi sesuatu di tangan.
Dahi Kinanti otomatis berkerut. Dengan penasaran, dihampirinya kedua pelayan itu, "Ada apa? Kenapa kalian tidak bekerja?"
Kedua pelayan itu tampak terkejut mendengar pertanyaan Kinanti. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu menatap majikannya itu dengan ekspresi takut-takut.
"Ada apa?" Kinanti semakin curiga.
Salah satu dari kedua pelayan itu ragu-ragu menyerahkan benda yang sejak tadi digenggamnya pada Kinanti.
"Ini, Nyonya. Tadi ada yang mengirimkan ini kemari. Kami harap Nyonya tidak marah karena kami tidak sengaja menerimanya."
Kinanti meraih benda tersebut dengan alis bertautan. Ternyata selembar undangan yang diikat rapi memakai pita. Terdapat sederet tulisan pada sampul depan undangan tersebut yang membuat jantung Kinanti berdegup kencang.
Peringatan Kematian Ke-18 tahun Musisi Berbakat Tanah Air Agnia Martadinata.