Zora menghela napas panjang seraya menatap langit kemerahan dari balik jendela di hadapannya. Matahari baru saja tenggelam, sementara gadis itu masih mematung sejak beberapa menit lalu. Malam ini akan menjadi malam keduanya menemani Zia di rumah sakit. Adik perempuannya itu untungnya sudah siuman sejak sore kemarin dan masih dalam masa perawatan. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Jadwal operasinya pun telah ditetapkan minggu depan. Namun sebelum itu, Zia mesti mengikuti serangkaian tes sebelum memasuki meja operasi.
Ada sesuatu yang masih mengusik pikiran Zora saat ini, yaitu tentang tawaran yang diberikan Nevano pada dirinya siang kemarin. Pemuda brengsek itu selalu saja berhasil membuat Zora tercengang untuk ke sekian kali. Ya, Zora sungguh tak habis pikir. Bisa-bisanya Nevano memberikan kartu kreditnya untuk ia pakai. Dan sejujurnya, Zora sedikit bimbang dengan tawaran itu. Haruskah ia menggunakannya? Tapi, pilihan itu tentu sangat beresiko. Zora tidak mungkin membiarkan dirinya jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali.
Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
Zora menggelengkan kepala kuat-kuat. Saat itu ponselnya yang berada di dalam saku tiba-tiba bergetar. Ada pesan masuk dari Alin, menanyakan ruangan mana Zia dirawat karena ia sudah sampai kemari untuk menjenguk. Zora pun bergegas membalas pesan tersebut seraya berjalan ke pintu dengan hati-hati.
Zia baru saja terlelap setelah tadi meminum obat. Ia perlu banyak istirahat, jadi Zora tak ingin sampai mengganggunya dan memilih menunggu Alin di luar saja.
Tak sampai lima menit, Alin pun muncul. Tergopoh-gopoh membawa sebuah paper bag berukuran sedang dan langsung diberikannya kepada Zora. "Nih, buat lo, Ra."
"Apaan nih, Mbak?" tanya Zora sembari menerima paper bag itu dengan kening berkerut.
"Makanan dari nyokap. Lo pasti belom makan. Jadi, nyokap suruh gue bawain ini buat lo," jawab Alin seraya mendudukan diri di kursi panjang tempat Zora tadi menunggu.
"Makasih banyak, Mbak. Salam buat Tante Dian, ya. Maaf, aku udah lama nggak main ke rumah," ucap Zora dengan perasaan terharu. Ada beberapa box berisi makanan rumahan di dalam paper bag tersebut. Masih hangat saat Zora memeriksa dan membuat perutnya serta merta keroncongan. Ia memang belum sempat memakan apa-apa sejak sore tadi.
Tante Dian adalah mama kandung Alin. Beliau memang sangat perhatian pada Zora selama ini, mengingat dulunya mereka pernah bertetangga. Keluarga Alin-lah tempat Zora setidaknya mendapatkan kasih sayang layaknya keluarga. Zora kadang merasa malu lantaran ia belum bisa membalas semua kebaikan yang mereka berikan kepadanya.
"Iya, nggak papa. Nyokap juga minta maaf belum sempet kemari jenguk Zia," kata Alin. "Gue juga baru pulang dari kantor dan buru-buru ke sini karena inget lo."
"Maaf, ya. Aku jadi ngerepotin."
"Ih, ngomong apaan sih. Kayak sama siapa aja deh. Justru gue yang minta maaf baru bisa jenguk Zia hari ini. Aturnya 'kan dari kemarin-kemarin."
"Iya, Mbak. Aku cuma nggak enak aja—"
"Mulai deh. Lo kalo ngomong sekali lagi soal nggak enak atau sungkan, gue getok beneran kepala lo, Ra!" omel Alin sambil melototkan mata.
Zora terkekeh mendengar omelannya.
"Udah makan tuh makanannya. Ntar keburu dingin. Lo harus banyak makan. Liat noh, badan lo udah kek gagang sapu. Kurus banget!"
"Iya-iya," sungut Zora sambil mengambil salah satu box makanan tersebut. Kadang-kadang Alin memang selalu bersikap bawel bila menyangkut hal-hal seperti ini.
"Oh ya, gimana keadaan Zia? Jadi dia di operasi?" Alin bertanya ketika Zora mulai menyantap makanan yang dibawakannya.
"Iya, minggu depan kalo nggak ada kendala."
"Terus biayanya gimana? Lo udah ngomong ke pihak asuransinya?"
Zora tercenung sejenak. Tadi siang ia memang sempat membicarakan masalah ini pada pihak asuransi kesehatan Zia dan mereka setuju untuk meng-cover biaya operasi tersebut. Namun, untuk biaya perawatan pasca operasi harus Zora tanggung sendiri lantaran mahalnya total biaya operasi yang mesti dibayarkan. Namun, itu tidak menjadi masalah. Setidaknya yang terpenting, Zia bisa di operasi tanpa kendala apapun. Keselamatan Zia adalah hal yang perlu Zora utamakan.
"Udah kok. Mereka setuju bakal nge-cover biaya operasinya," sahut Zora kemudian.
"Syukur deh." Alin menghela napas lega. Tangannya menepuk-nepuk pundak Zora lembut. "Kalo memang ada apa-apa, lo kasih tahu aja. Gue pasti bakal bantu lo sebisa gue."
Zora mengangguk. Tak tahu lagi bagaimana melukiskan perasaan bahagianya bisa menemukan sahabat sebaik Alin.
Alin menjulurkan kakinya sambil mendesah panjang. Punggungnya ia sandarkan pada dinding di belakang mereka. Lalu tiba-tiba gadis berambut sebahu itu berbicara dalam nada hati-hati. "Oh ya, nggak tahu salah liat apa bukan, tadi gue nggak sengaja ketemu orang yang mirip banget sama Levi waktu mau naik lift ke sini."
Ucapan itu seketika membuat jantung Zora berdegup kencang. Ia tak segera menjawab. Matanya fokus menatap nasi rames dalam box yang tengah ia santap. Setelah pertemuannya dengan Levi kemarin, mereka sudah tak pernah lagi berjumpa apalagi berbicara.
"Itu memang dia kok, Mbak," ucap Zora pelan. Serasa ada yang mengganjal di tenggorokannya dan Zora yakin bukan karena makanan yang ia santap. "Kayaknya dia tugas atau praktek di sini."
"Terus dia tahu soal Zia dirawat?"
Zora mengangguk.
"Kalian sempet ketemu dan ngobrol?"
Zora mengangguk lagi.
"Astaga!" Alin membelalak tak percaya. "Dan ... gimana tanggapannya setelah kalian ketemu? Apa dia masih benci sama lo?"
Untuk kali ini Zora memilih diam. Hatinya tiba-tiba berdebar nyeri saat teringat sorot kebencian yang ditunjukkan Levi kemarin. Zora memang tidak berharap banyak, tapi tetap saja gadis itu tak bisa menepis perasaan pedih yang melanda dirinya.
"Dunia sempit banget ya, Ra. Bisa-bisanya lo sama dia ketemu lagi. Udah kemaren lo sekantor sama Nevano, sekarang malah ketemu Levi di rumah sakit yang sama," dengus Alin sambil berdecak.
Zora cuma tersenyum getir. Kalau di pikir-pikir ia juga ingin tertawa dengan semua kenyataan yang terjadi dalam hidupnya.
"Dan ngomong-ngomong soal Nevano ...." Alin berkata seraya membetulkan posisi duduknya agar mereka berhadapan sementara Zora memperhatikan sambil melanjutkan kembali kegiatan makannya.
"Gara-gara lo dipecat, Nevano jadi uring-uringan mulu di kantor. Semua orang abis kena semprot ama dia. Bahkan, dia sampe manggil semua manager di seluruh divisi buat diomelin. Terus Pak Barata juga dipecat sama dia karena mecat lo."
Zora langsung menutup mulutnya tak percaya. "Ya ampun!"
"Makanya, semua orang sibuk sama proyek rancangan produk baru itu. Katanya mereka sedikit kesulitan sama ide yang lo gagas kemarin."
Zora menghela napas. Kepalanya menggeleng-geleng. Teringat lagi dengan kedatangan Nevano kemari, lalu memberikannya kartu kredit serta mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakhlak, membuat Zora tak kaget bila Nevano bisa bersikap seperti itu di kantor.
"Nevano juga sempet ke sini kemarin, Mbak," beritahu Zora. Tangannya sibuk mengaduk-aduk nasi di pangkuannya dengan tak bersemangat.
"Nevano ke sini?" ulang Alin terkejut.
"Iya. Dia kasih kartu kreditnya ke aku buat bayar operasi Zia." Zora menatapnya. Tiba-tiba nafsu makannya lenyap gara-gara membicarakan topik ini. "Dan dia suruh aku kembali ke kantor."
"Serius lo?"
Zora cuma mengangguk.
Alin meraih tangan Zora, meremasnya sambil menatap tajam gadis itu. Sorot matanya tampak memberi isyarat peringatan. "Ra, inget jangan terjebak lagi sama dia. Dia udah ngancurin hidup lo sembilan tahun lalu. Lo harus inget gimana perjuangan lo untuk bisa survive dari semua mimpi buruk lo waktu itu."
"Iya, Mbak. Aku tahu."
"Baik Nevano maupun Levi, dua cowok itu sama-sama nggak baik buat lo. Lo harus jauhin mereka apapun yang terjadi," peringat Alin lagi. Ia benar-benar serius untuk hal ini. "Kemaren aja bokap mereka udah turun tangan mecat lo dari kantor, jangan sampe lo kena masalah lagi sama kedua orang itu."
Zora mengangguk. Ucapan Alin benar. Mengingat apa yang terjadi dalam hidupnya di masa lalu, Zora paham Alin sampai bersikap demikian. Alin dulunya pernah bersekolah di sekolah yang sama dan sempat satu kelas dengan Nevano. Jadi sedikit banyak, Alin tahu benar bagaimana perjalanan hidup gadis sahabatnya itu. Namun entah mengapa, rasanya sulit sekali bagi Zora untuk bisa terbebas sepenuhnya dari Nevano. Seakan-akan pemuda itu punya seribu cara untuk membuatnya terjebak.