Gerimis tiba-tiba turun saat Zora mengayunkan langkah keluar dari gedung rumah sakit malam itu. Sambil menadahkan tangan ke atas kepala, ia setengah berlari menuju halte yang terletak di depan gedung. Saat ini Zora ingin pergi menemui Nevano sesuai janji. Ia berniat untuk mengembalikan kartu kredit milik pemuda itu dan meminta Nevano agar tidak mengganggunya lagi.
Nevano sudah mengirimkan lokasi tempat pertemuan mereka malam ini, yaitu di sebuah cafe. Semula Nevano meminta Zora untuk datang ke rumahnya. Tentu saja Zora menolak mentah-mentah. Pergi ke rumah pemuda itu seorang diri sama saja cari mati.
Zora juga merasa lega bisa meninggalkan Zia di rumah sakit lantaran ayah mereka sore tadi tanpa diduga datang menjenguk. Ya, siapa sangka kalau Gustian yang selama ini selalu bersikap acuh tak acuh pada kedua putrinya, akhirnya mau menunjukkan sedikit kepedulian. Pria itu juga membawakan makanan yang ia masak sendiri untuk Zora, sementara Zia hanya boleh memakan makanan rumah sakit.
Sungguh. Zora tidak munafik kalau hari ini ia sangat bahagia. Bentuk perhatian sekecil apapun yang Gustian berikan kepada dirinya dan Zia adalah sesuatu yang sejak lama ia idamkan. Entah ada angin apa Gustian bisa bersikap seperti ini, yang jelas Zora berharap ayahnya benar-benar akan berubah dan bisa berlaku layaknya seorang ayah sejati.
Sebuah taksi online yang Zora pesan, akhirnya datang menjemput. Tanpa membuang-buang waktu, Zora bergegas naik dan memberitahu alamat yang dituju kepada sang supir. Ia cukup terkejut mengetahui supir yang membawanya ternyata berjenis kelamin wanita.
Kendaraan beroda empat itu pun perlahan-lahan melaju membelah jalanan Jakarta yang cukup padat malam ini. Zora menatap jam tangannya. Mereka sudah berjanji untuk bertemu pukul delapan dan waktu yang tersisa masih lima belas menit lagi. Zora berharap ia tak terlambat barang satu detik pun, mengingat perangai Nevano yang kadang sulit ditebak dan juga sedikit gila. Bukan hal mustahil bila pemuda itu akan menjadikan keterlambatannya sebagai alasan untuk menyiksanya.
Sewaktu melewati perempatan jalan, taksi yang Zora naiki berhenti karena lampu merah menyala. Saat itu, Zora tak sengaja melihat sepasang muda-mudi di pinggir trotoar berdiri di bawah rinai hujan yang turun. Pemandangan itu sangat menarik perhatian Zora, lantaran sang pria kemudian berjongkok, berusaha membantu mengikat tali sepatu yang dipakai si wanita. Tak mempedulikan dirinya yang sudah sedikit kebasahan tersiram hujan.
Entah mengapa, Zora begitu terenyuh menyaksikannya. Ada sekelumit perasaan iri yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hati. Ia tak munafik jika berharap bisa dicintai dengan tulus seperti itu. Namun, rasanya itu akan menjadi hal mustahil jika mengingat keadaan dirinya yang sekarang. Memangnya siapa dia? Seorang gadis yang sudah tak punya kehormatan lagi jelas tak berhak mengharapkan sesuatu yang suci semacam itu.
Mungkin dulu ia pernah mendapatkannya. Tetapi, orang itu telah pergi, menyisakan kebencian. Menyisakan dendam dan luka. Ia sudah ditinggalkan. Tidak. Rasanya kata yang lebih tepat adalah ia telah dibuang dengan cara menyedihkan.
"Enak ya, kalo bisa dapet laki-laki yang baik kayak begitu," ucap sang supir wanita yang ternyata diam-diam juga memperhatikan.
"Iya," sahut Zora sambil tersenyum.
Kini kedua sejoli itu kembali berjalan menyusuri trotoar dan sang pria terlihat memayungi si wanita dengan jaket miliknya agar terhindar dari hujan.
Pemandangan itu lagi-lagi menimbulkan perasaan iri dalam hati Zora.
"Tapi sayangnya, laki-laki begitu cuma ada satu banding seribu, Dek. Lebih banyak yang brengseknya ketimbang yang bener," kata wanita itu lagi sembari menjalankan mobil karena lampu lalu lintas sudah berganti hijau. "Untuk anak muda kayak Adek, sebaiknya hati-hati dalam memilih laki-laki biar nggak nyesel di kemudian hari. Laki-laki itu kebanyakan baik kalo ada maunya."
Zora mengangguk. Ia seratus persen menyetujui kalimat itu dan secara otomatis otaknya jadi teringat dengan Nevano yang brengsek.
Zora jadi tersadar, apakah ia sekarang melakukan tindakan yang benar? Kenapa ia bisa nekat sekali mengajak Nevano bertemu pada malam hari seperti ini? Sungguh. Ia benar-benar sudah kehilangan akal, bukan? Seharusnya ia berpikir dua kali untuk melakukan pertemuan ini. Bisa dikatakan Nevano itu lebih dari sekedar brengsek. Mengingat apa yang selalu Nevano lakukan pada dirinya.
Bagaimana bila pemuda itu akan ....
Zora memejamkan mata. Perutnya tiba-tiba melilit. Tak sanggup membayangkan sesuatu yang buruk mungkin bisa saja terjadi. Beberapa kali berurusan dengan Nevano, Zora selalu saja terlibat masalah. Entah itu di masa lalu ataupun di masa kini. Semua yang Nevano lakukan padanya membuat Zora bagai dihinggapi mimpi buruk.
"Apa yang kamu lakuin sama aku!" seru Zora, terkejut ketika Nevano tahu-tahu menarik leher dan mencium bibirnya.
Alih-alih merasa bersalah, pemuda itu malah menjawab dengan santai, "Gue lagi cium lo, Zora."
"Kamu udah gila!"
"Sori, karena gue harus ngelakuin ini." Nevano mengendikkan bahu seraya tersenyum miring. "Tapi, gue nggak nyangka ciuman sama lo ternyata nikmat juga."
Sebelum Zora sempat berkata lagi, Nevano sudah kembali merangkulnya. Menciumnya semakin intens. Ia membawa tubuh Zora merapat ke dinding, menghimpitnya. Sama sekali tak memberi ruang untuk bergerak.
Sudut lantai tiga sekolah yang sunyi itu seakan menjadi saksi apa yang dilakukan Nevano pada Zora saat ini. Kini ciuman itu bukan lagi sekedar kecupan, melainkan juga pagutan serta lumatan yang dalam, seolah-olah Nevano berusaha menghisap habis seluruh oksigen yang Zora hela. Bisa dirasakan lidah pemuda itu bahkan mendesak masuk, belum lagi tangannya yang ikut bermain, membuat Zora terus meronta agar bisa melepaskan diri.
Basah dengan sedikit aroma mint serta nikotin.
Perpaduan itu seperti aliran magis yang sempat melumpuhkan kesadaran Zora selama beberapa detik. Namun, gadis itu tentu tidak akan membiarkan dirinya terlena. Lagipula, ini adalah tindakan yang tidak benar. Nevano betul-betul sudah gila!
"Ber ... henti, Nevano ...." Susah payah Zora memohon disela-sela lumatan pemuda itu. Air matanya merebak. Ia tak menyangka interaksi mereka beberapa menit lalu malah membuat dirinya diperlakukan seperti ini. "Please ...."
Alih-alih menghentikan ciumannya, justru Nevano semakin dalam menyatukan bibir mereka. Tangannya bergerak mencengkeram pergelangan Zora agar gadis itu berhenti meronta.
"Just enjoy it," bisik Nevano, terengah-engah di atas bibir Zora. "Gue udah nggak bisa berhenti ...."
Sungguh pemuda yang amat brengsek, bukan? Zora tak tahu lagi harus bagaimana. Teriak pun rasanya percuma karena takkan ada yang mendengar. Saat ini orang-orang di sekolah sudah banyak yang pulang.
Dan akhirnya detik-detik yang menyiksa itu terhenti sewaktu telinga Zora menangkap seruan bernada marah di dekat mereka, bersamaan dengan terlepasnya pagutan Nevano dari bibirnya.
Oksigen langsung membanjiri paru-paru Zora seperti air mengalir. Gadis itu mengerjap. Terlalu pening untuk mencerna apa yang terjadi sampai ia merasakan sesuatu yang pedih tiba-tiba menerpa wajahnya.
PLAAKK!!!
Tamparan keras itu sukses mendarat di pipi kanan Zora.
Zora terhuyung. Refleks memegangi pipinya yang terkena tamparan dengan mata terbelalak. Dilihatnya seorang gadis berambut lurus cokelat sepinggang, tengah menatapnya penuh amarah dan napas memburu.
"Dasar perek!"
Gadis itu kembali mengangkat tangan, hendak menampar Zora untuk yang kedua kali, tapi Nevano buru-buru menahannya.
"Stop, Lexa!"
Gadis bernama Lexa itu mengalihkan pandang, menatap Nevano tajam. Parasnya sudah semerah tomat menahan emosi yang menggelora. "Kamu pikir aku bisa diem aja setelah liat kalian berdua ciuman!" bentaknya marah.
Nevano tak menjawab. Tatapannya beralih pada Zora yang saat itu masih memegangi pipinya. Zora langsung membuang muka. Muak, benci dan jijik adalah tiga hal yang gadis itu rasakan saat ini.
Harusnya Nevano yang mendapat tamparan itu, bukan? Pemuda itulah yang memulai semua kegilaan ini, bukan dirinya.
Ketika itulah Zora baru tersadar kalau Levi—entah sudah berapa lama—juga berada di sini. Pemuda itu berdiri di puncak tangga. Menatap Zora dengan mata terbelalak dan raut pucat pasi. Levi yang sebelumnya berniat mencari Zora di ruang musik, tanpa diduga justru harus menyaksikan pemandangan yang sangat melukai hatinya.
Jelas sekali bagaimana Nevano menciumi gadis yang dicintainya itu sedemikian rupa. Gadis yang bahkan, untuk sekedar menyentuh tangannya saja membuat Levi tak kuasa. Dan sekarang Nevano malah melakukan hal tercela pada gadis itu. Ini jelas-jelas sudah melewati batas.
"Le-Levi?" Buru-buru Zora berlari menuju pemuda itu. Menilai dari ekspresi yang Levi tunjukkan, sepertinya pemuda itu salah paham.