Study(ing) Love

ceciliafs
Chapter #13

SL Tiga Belas

Aku pun melangkah dengan gontai menuju lantai 5. Setelah menghabiskan waktu dengan teman-temanku dan berfoto ria, aku pun memutuskan untuk datang ke Karin dan mengajaknya makan. Aku sangat kelaparan. Namun rasa lapar sirna begitu aku memikirkan ucapan mereka tadi. Kulihat jam tanganku yang sudah menunjukan pukul 4 sore. Ah, mungkin yang dikatakan mereka benar karena aku sama sekali tidak melihat Nathan sejak aku datang tadi pagi sampai saat ini. Aku sudah didepan kelas yang tadi Karin pesan kan padaku. Cukup ramai didalam. Aku memutuskan untuk duduk diluar saja. Aku pun mengeluarkan ponselku untuk menelfon Karin dan mengajaknya pulang. Dia tidak mengangkatnya. Aku pun mengetik pesanku padanya. Kurasakan bangku yang kududuki bergerak. Sepertinya ada seseorang duduk disebelahku. Ah, aku sudah tak peduli lagi siapa yang duduk disampingku. Rasanya aku sangat lelah dan juga kelaparan. Aku pun menyenderkan tubuhku pada sandaran bangku dan mengistirahatkan sejenak tubuhku dan juga kepalaku dan juga pikiranku. Aku pun memejamkan kedua mataku. Kudengar suara Karin mendekati pintu, aku pun menoleh kearah pintu dan kutatap Karin yang masih berbicara dengan temannya dengan sedikit berteriak. Dia pun menoleh kearahku dan juga yang disebelahku.

“Nathan ? Kapan kesini ? Kenapa lo gak masuk ?” tanyanya dengan raut wajah yang heran.

Nathan ?? Aku pun langsung menoleh kearah manusia yang duduk disebelahku tadi. Mata kami bertemu untuk jarak yang dekat. Dia menatapku sangat dalam. Aku tak mengerti tatapannya. Aku masih syok. Ya Tuhan, berarti yang sejak tadi Nathan sudah berada disampingku bahkan disaat aku sedang mengistirahatkan pemikiranku yang bahkan topic pikiranku adalah dia.

“Gue baru aja sampai kok,” katanya yang masih menatap wajahku yang sudah pucat pasih. Aku pun mengalihkan pandanganku kearah yang lain tepatnya ke depan. Tidak menatap siapapun. Karin pun duduk disebelahku.

“Mentang-mentanglah lo lulus di UGM, lo gak mau kumpul lagi sama kita-kita,” kata Karin dengan sedikit ekspresi kesalnya. Dia tertawa renyah. Ah, aku rindu mendengar tawanya. Apa sih yang aku bilang ? Rindu ? Kamu ingat gak kalau kamu menyuruhnya untuk menjauhimu. Kamu ingat ? Dan sekarang kamu bilang rindu ? 

“Bukan seperti itu Rin, gue mau ketemu temen lama dulu,” katanya yang kurasakan dia masih menatapku. Temen lama? Jangan bilang maksud dari ucapan dia adalah aku. Rasanya ingin segera pergi dari mereka ini. Kenapa aku harus berada di tengah-tengan mereka. Aku merasa aku seperti tembok penghalang mereka untuk berbicara.

“Kalau gitu gue masuk dulu ya Rin,” pamitnya sambil melangkah memasuki kelas tempat teman-temannya berada.

Aku masih diam dan akan terus diam. Rasa laparku seketika hilang. Dan sepertinya ribuan pertanyaan yang ada dikepalaku sudah terjawab. Aku sangat senang mendengar ia lulus. Dan aku juga senang melihatnya baik-baik saja.

“Lo udah makan Ras?” tanya Karin mengalihkan pemikiranku. Iya Rin, aku lapar bahkan sangat lapar. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Aku kehilangan selera makanku.

Aku menggelengkan kepalaku lalu tersenyum lembut padanya. Karin pun hanya diam mendengar jawabanku. Dia pun menatap ponselnya.

Ingin sekali aku bertanya mengenai Nathan. Tapi aku sangat merasa bersalah bila membahas dia. Aku rasa aku sudah tidak pantas lagi bertanya mengenai Nathan. Aku egois dan dia pantas untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku.

Tiba-tiba kurasakan jemari seseorang menyentuh jemariku. Aku menatap tanganku dan juga tangannya. Kulihat senyum Karin sudah merekah padaku.

“Jangan melamun terus, gue tahu kalau lo lapar. Kita makan yuk, sekalian pulang. Keburu malam sampai rumah nanti,” kata Karin lembut. Aku membalas senyum Karin lalu mengangguk padanya. Mungkin inilah akhir ceritaku dengan Nathan. Mungkin suatu cerita tidak harus berakhir dengan bahagia. Terkadang sebuah cerita harus memiliki akhir yang sedih agar dia tahu bahwa suatu kebahagiaan itu berharga. Jadi, jangan sia-siakan sebuah kebahagiaan yang ada saat ini. Nikmatilah kebahagiaanmu.

Sesaat aku dan Karin akan pamit, teman-teman Karin mengajak kami makan bareng. Karin menatapku sejenak. Aku malas untuk menjawab jadi aku hanya diam saja saat Karin ingin meminta pendapatku. Dia pun mengangguk menjawab ajakan teman-temannya.

Kami pun berangkat. Tujuan kami adalah mall yang kata temennya Karin tadi kudengar ada tempat makan yang enak disana. Karin sedang fokus mengikuti mobil Nathan yang ada didepan. Aku duduk disamping Nathan. Iya, Nathan. Terkejut ? Aku pun juga. Teman-teman Karin ngotot masuk kedalam mobil Karin sehingga tidak ada tempat untukku di mobilnya dan dengan terpaksa aku menuju ke mobil Nathan dan ternyata hanya tersisa satu bangku yang kosong yang terletak tepat disamping Nathan. Nathan fokus menyetir sedangkan teman-teman yang dibelakang bergosip ria. Maklumlah, didalam mobil Nathan hanya dia yang berjenis kelamin laki-laki. Aku hanya menatap pemandangan yang ada disampingku. Sama sekali tidak menarik. Mengapa situasinya begitu canggung begini.

Perlahan mobil Nathan memasuki area mall menuju parkiran yang ada di basement. Akhirnya berhenti juga. Teman-teman yang lain pada buru-buru keluar.

“Nat, kami duluan ya. Kami mau pesan tempat dulu buat kita,” kata seseorang yang aku tidak tahu siapa namanya. Aku pun menatap kebelakang heran. Belum sempat dijawab Nathan mereka sudah pergi. Ah, ditinggal berdua ini ceritanya. Lebih baik keluar, menunggu Karin. Aku pun memegang knop pintu yang ada disamping namun tangan Nathan menahan lengan. Seketika jantungku berdebar kencang. Mungkin dia bisa mendengar suara jantungku saat ini sekarang.

“Gue sayang sama lo Ras,” ungkapnya.

Aku terdiam seketika. Jantungku sudah tidak karuan lagi. Dia pun mengalihkan jemarinya dari lenganku menuju wajahku. Ia pun memalingkan wajahku kearahnya. Aku tidak berani untuk menatap matanya. Aku tak ingin dia melihat betapa merahnya wajahku saat ini dan aku juga tak ingin dia melihat perasaanku saat ini.

“Gue beneran sayang sama elo Ras. Gue gak pernah berbicara seserius ini ke perempuan lain kecuali lo,” katanya dengan nada yang begitu serius. Dapat kurasakan matanya yang tidak lepas untuk menatapku. Aku pun menatapnya tepat dimatanya. Tak ada sama sekali suatu kebohongan disana. Yang terlihat adalah suatu ketulusan yang benar-benar ia sampaikan. Ia pun menggenggam tanganku.

“Gue merasa tersiksa ketika lo bilang gue harus menjauhi lo. Gue khawatir, gue selalu merasa khawatir dengan keadaan lo. Gue merasa gue harus melindungi elo. Tapi saat lo mulai menghindari gue, entah kenapa gue merasa ada sesuatu yang hilang. Gue sayang sama lo Ras dan gue gak tahu kenapa. Gue mohon buka hati lo buat gue Ras. Gue janji gue gak bakalan sia-siain hati yang udah terbuka buat gue,” katanya menyakinkanku. Aku menatap ada harapan dan juga kasih sayang dimatanya.

“Setiap hal yang gue lakukan pasti ada alasannya Nat dan lo harus ngerti itu,” jawabku senduh yang begitu menyakitkanku. Kulihat raut wajahnya berubah. Dia tidak mengerti apa yang aku katakan.

Lihat selengkapnya