Study(ing) Love

ceciliafs
Chapter #14

SL Empat Belas

Aku sedikit berlari menuju parkiran mobil mengejar Karin yang berjalan begitu cepat. Kok jadi gini sih, padahal maksud awal aku itu hanya bercanda, gak lebih. Kalau tahu kalau Karin bakalan marah besar gini, lebih baik rencana mengenai kebohongan itu gak usah aku lakukan. Ia pun memasuki mobilnya Audinya yang berwarna merah mencolok dibandingkan mobil yang ada diparkiran itu. Aku pun masuk dan perlahan kami meninggalkan mall tersebut.

Dan didalam mobil juga Karin masih mendiamiku. Ah, aku benci suasana yang begini. Begitu kelam dan membingungkan. Oiya, teman-teman Karin tidak ikut dengan kami karena berhubung kami langsung pulang kerumah. Jadi karena tidak searah, kami berpisah tadi di parkiran mall itu.

Aku tak tahan dengan situasi ini.

“Rin, lo marah sama gue? Gue minta maaf ya, gue sama sekali tidak bermaksud buat bohong ke elo,” kataku menyesal.

Karin masih saja mengacuhkanku.

Kulihat mobil Karin memasuki area taman kota dan akhirnya berhenti. Dia pun melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Katanya mau pulang, kok berhenti disini sih? Aku pun turut turun dari mobil Karin dan mengikuti langkah kakinya menuju tempat duduk yang tersedia ditaman itu. Dan sama saja, Karin masih mendiamkanku disini. Suasana taman ini begitu bagus, ada air pancur yang lumayan besar di tengah taman ini dan anak-anak kecil sedang bermain ria dia area taman bermain yang ada ditaman ini. Terlebih suasana sore ini yang begitu bagus, kalau tadi Karin sedang tidak marah padaku, dengan senang hati aku akan berlari-lari ria seperti anak kecil disini. Tapi sayangnya dia sedang marah dan sepertinya masih tidak ingin berbicara padaku.

“Rin, gue minta maaf ya. Gue sama sekali gak bermaksud,” ucapku sangat menyesal. Karin tak pernah sebegitu marahnya padaku seperti saat ini. Biasanya jika marah, dengan bujukan saja dia akan berbicara dan kami akan baikan. Tidak pernah selama ini dia mendiamkanku.

“Rin, gue-”

“Lo keterlaluan Ras,” potong Karin yang membuatku semakin merasa bersalah.

“Lo tau betapa sedihnya gue ketika tahu lo gak lulus. Gue udah nganggap lo itu seperti keluarga gue, gue tau pasti perasaan lo saat itu sedang hancur makanya gue gak mau bahas apapun mengenai hasil ujian kemarin. Bahkan gue nyuruh temen-temen gue buat gak nanya mengenai itu ke elo. Kenapa? Karna gue tahu dengan jelas apa yang lo rasakan. Dan dengan teganya elo bohongin gue. Dimana hati nurani lo sebagai sahabat gue Ras? Teganya elo bohongin gue. Gue pikir hanya gue yang mengganggap sahabat disini,” kata Karin yang begitu menusuk hatiku yang paling dalam. Apakah aku begitu menyakitinya? Perlahan air mataku kembali jatuh. Aku pun memeluknya.

“Maafin gue Rin, gue sangat menyesal melakukan ini ke elo. Gue gak bermaksud buat lo sedih. Gue janji gue gak akan bohong lagi ke elo. Elo sahabat terbaik gue Rin, bahkan gue mengganggap lo lebih dari keluarga gue. Lo itu udah seperti kembaran gue yang selalu mengerti dan merasakan apa yang gue rasakan. Maafin gue Rin, please.. Maafin gue,” kataku terisak yang mungkin sudah tak didengar Karin.

“Iya Ras, maafin gue juga kalau udah meragukan lo. Maafin juga tadi udah gak ngomong sama elo, abis lo nakal banget sih,” katanya sambil tertawa dan juga membuatku tertawa.

“Ah elo dari dulu sampai sekarang gak berubah. Masih aja cengeng,” kata Karin sambil menghapus air mataku. Aku tertawa mendengar gurauan Karin.

“Gue ke toilet dulu ya Ras, mascara gue rusak gara-gara elo nih. Gue baper nih denger lo nangis sampe kayak tadi. Jangan kemana-mana lo, ntar kalau hilang yang ada lo nyusahin gue,” gurau Karin. Aku pun mengangguk lalu Karin pun pergi menuju toilet. Aku pun mengambil tisu untuk membersihkan wajahku. Sepertinya mataku sudah sangat merah dan bengkak saat ini. Bayangkan saja, dalam kurun waktu 3 jam aku sudah dua kali dibuat menangis oleh orang yang penting dalam kehidupanku.

Tiba-tiba seorang anak kecil menghampiriku dan memberiku setangkai bunga mawar biru yang sangat indah.

“Kakak cantik gak boleh nangis. Kata mama, kalau ada orang yang nangis berarti dia orang yang lemah,” kata anak kecil itu yang membuatku tersenyum manis padanya. Aku pun segera menyamakan tubuhku dengan tubuh mungilnya.

“Adik kecil. Kata mama kamu bener, jadi kamu gak boleh nangis seperti kakak ya. Kamu harus jadi orang yang kuat gede nanti ya,” kataku lembut sambil mengelus kepala anak kecil itu.

Ia pun mencium pipiku lalu melenggang pergi. Aku pun tersenyum mengiringi anak kecil itu kembali ke mamanya yang sedang duduk bersama anjing peliharaan mereka.

“Ah Laras, anak kecil aja tak cengeng seperti mu,” gerutuku pelan pada diriku yang lemah ini. Tiba-tiba datang lagi anak kecil memberiku setangkai bunga yang sama. Namun kali ini dia tidak berbicara padaku, dia langsung pergi begitu saja setelah mencium pipiku. Begitu juga dengan anak kecil lain. Ini sedikit membingungkanku. Aku pun kembali duduk di kursi taman tersebut. Aku menatap bungai mawar biru yang ada ditanganku, aku menyatukannya menjadi bouquet yang cantik. Ini sangat indah. Dan pun mengarahkan hidungku ke bunga tersebut dan seketika wangi mawar memasuki indra penciumanku.

Aku pun menatap jam tanganku, kenapa Karin lama sekali ke toiletnya. Jangan-jangan dia sedang memperbaiki make upnya. Pasti akan sangat lama jika itu terjadi.

Anak kecil tadi menghampiriku kembali dan cukup membuatku kaget. Ia langsung menarik tanganku untuk ikut dengannya.

“Kita mau kemana adik kecil? Kakak sedang menunggu orang disini, jika kakak tinggal nanti dia akan menangis mencari kakak,” kataku lembut berusaha menolak ajakan anak kecil itu.

“Kakak cantik gak boleh duduk sendiri, main bareng Emon aja ya,” katanya dengan suara yang sangat menggemaskan. Aku tak kuasa untuk menolaknya dan aku pun mengikuti langkah kakinya menuju ke tengah taman. Ia pun melepaskan tangannya dan langsung melenggang pergi. Aku pun menatap heran dan menatap kesekelilingku. Ini sangat indah. Terlebih cuaca sore ketika matahari akan terbenam jika dilihat dari sini. Aku sangat menyukainya. Sepertinya disini aka nada acara, karena ditaman ini dihiasi dengan balon biru yang sangat banyak dan tanpa kusadari aku sedang berada ditengah-tengahnya. Aku pun membalikkan tubuh ku untuk keluar dari area itu. Aku tak ingin merusak dekorasi itu. Namun, langkah kakiku tertahan ketika tepat di depanku ada Nathan yang sedang tersenyum padaku. Jantungku kembali berdebar-debar dengan kencang. Astaga, senyuman itu kembali. Kurasa aku akan semakin jatuh cinta jika ia sering tersenyum padaku saat ini. Tapi tunggu dulu, apa yang dia lakukan disini ? Bukannya tadi dia sudah pergi dengan yang lain. Aku pun hendak bertanya namun terhenti ketika ia berlutut didepanku. Ya Tuhan, apa yang akan dia lakukan. Ia pun meraih kedua tanganku. Bisa kurasakan saat ini kakiku gemetar dengan hebat dan mungkin sebentar lagi tak mampu untuk menahan bobot tubuhku yang berat. Ini pertama kalinya seorang pria melakukannya padaku.

“Can I be your boyfriend ?” ucapnya sambil tersenyum.

Dia menembakku? Bukannya tadi sore dia sudah menyatakan perasaannya padaku ? Berarti dia menyiapkan ini hanya untukku? Aku menatap manik matanya hitamnya. Tidak ada kebohongan, suatu ketulusan yang besar ada disana. Aku tak tahu harus berkata apa. Rasa bersalahku pada wanitanya dulu kembali muncul dan ini membingungkanku. Bagaimana jika dia hanya menjadikanku sebagai pelampiasannya saja. Bagaimana jika nanti wanitanya datang kembali dan pasti dia mencampakkanku? Aku tak siap untuk patah hati. Aku tak ingin mengambil resiko besar yang bisa membuat hatiku sekarat nantinya.

Tiba-tiba kata-kata Karin terngiang di kepalaku. Jangan pernah lo sia-siakan orang yang sayang sama lo, karena setelah dia pergi lo bakalan menyesal. Dan jangan pernah lo sia-siain kesempatan yang udah diberikan kepadamu karena ketika kesempatan itu hilang, lo gak bakalan mendapat kesempatan kedua karena kesempatan yang kedua tidak akan sama seperti yang pertama. Aku sedikit frustasi memikirkan semuanya. Aku pun menatap Nathan yang masih berlutut dengan senyum indah didepanku. Dia masih setia menunggu jawabanku. Aku pun mengalihkan pandanganku kesekelilingku. Tak ada siapapun yang bisa untuk aku minta pendapatnya. Dan akhirnya aku pun menutup mataku dan bertanya pada hati kecilku yang paling dalam. Aku sayang dia. Aku nyaman berada didekatnya. Aku suka dengan perhatiannya. Aku senang jalan dengannya. Dan bahkan dia sangat mengerti aku, paham akan diriku yang bahkan aku sendiri tak mengenal diriku. Dan dia itu sedang berlutut didepanku untuk memintaku menjadi penjaga hatiku dan pengisi didalamnya.

Perlahan aku pun membuka mataku, dan dia masih dengan setia menatapku dengan rasa sayangnya dan dengan senyumannya yang aku sukai.

“Yes, you can,” kataku sambil tersenyum padanya.

Dia pun langsung berdiri dan memelukku.

“Aku sayang kamu Ras. Sangat. Makasih untuk hati yang kamu beri, aku tak akan pernah menyia-yiakannya,” bisiknya ditelingaku.

“Aku juga sayang kamu Nath,” kataku yang masih berada di pelukannya.

Tiba-tiba Karin dan juga teman-temannya lainnya muncul entah darimana. Aku dan Nathan langsung melepas pelukan kami. Aku malu. Bisa kurasakan betapa merahnya wajahku saat ini. Dan aku juga marah. Sepertinya ini semua sudah direncanakan.

“Cieee yang udah jadian. Makan-makan jelas kan Nat?” goda Rani sambil mencolek pinggangku. Aku semakin malu.

“Udah ah, lo buat cewek gue malu. Liat, dia udah kayak udang yang baru digoreng,” sambung Nathan yang membuat langsung memasang wajah kesal padanya. Dia pun tertawa dan langsung menggandeng tanganku.

“Akhirnya ya Nat. Selamat ya bro. Akhirnya gue lepas juga dari uring-uringan lo yang gak jelas kalau Laras cuek ke elo,” canda Aldi yang langsung saja mendapat tatapan membunuh dari Nathan. Ternyata yang dikatakan Karin benar, dia selalu menunggu kabar dariku.

Lihat selengkapnya