Jam tanganku menunjukkan pukul 16.00 wib. Aku telat. Jika diingat, perjanjian yang disepakati pukul 15.30 wib. Mungkin sampai disana, dia akan langsung menyemburkan dengan sumpah serapa yang bakalan gak akan ada habis-habisnya. Aku pun melangkahkan kakiku memasuki sebuah café yang sudah menjadi tempat kesepakatan kami kemarin. Aku mencari sosoknya dan kudapati dia sedang duduk di dekat jendela di sudut cafe tersebut. Aku pun berjalan kearahnya. Kulihat dia menyadari kehadiranku dan langsung mengarahkan wajahnya kearahku lalu tersenyum. Aku membalas senyumannya lalu duduk tepat didepannya.
“Apa kabar Ras? Makin kecil aja lo gue liat,” canda Dimas mengawali percakapan kami.
“Haha.. elo orang yang kesekian yang ngomong gitu Dim,” sahutku sambil tertawa.
“Oh ya, berarti gue terlambat ya. Kenapa ya kalau udah urusannya berhubungan sama elo gue selalu telat,” ucap Dimas yang membuat keringat dinginku seketika meluncur didahiku. Aku tak sanggup untuk menatap matanya. Kurasakan dia menatapku dalam. Aku tak tau lagi harus bagaimana.
“Ehem Ras. Lo pesen dulu deh, gue liat wajah lo pucat banget sejak tadi. Elo pasti belum ada makan apapun sejak pagi kan. Buruan pesen gih,” kata Dimas menyodorkan buku menu padaku. Aku pun menatap buku menu itu lalu mengambilnya. Kulirik dia dari sudut mataku, dia juga sedang memilih menu yang mau ia santap.
Setelah mengatakan pesanan kami pada pelayan dan pelayan itu pergi, suasananya semakin arkwrk. Aku tak tau harus berbicara apa pada Dimas. Dia pun kurasa juga begitu karna sejak tadi ia hanya membaca buku yang berbau hukum. Dia memang jenius. Aku bisa membayangkan jika dia akan menjadi orang sukses nantinya.
Suasana masih saja dingin hingga makanan yang kami pesan datang. Dan kami pun sibuk dengan makanan kami masing-masing. Aku tak selera dengan makananku. Aku hanya menatapnya sejak tadi.
“Kamu kenapa Ras? Makanannya gak enak ya?” tanya Dimas dengan raut wajah heran. Aku langsung menggelengkan kepalaku.
“Bukan Dim, enak kok. Dulu aku dan Karin sering mampir kesini kalau udah pulang sekolah. Makanannya enak kok. Aku aja yang mungkin gak selera Dim,” kataku tanpa menatapnya.
“Iya, gue tau kok. Gue kan juga dulu sering kesini, ini tempat nongkrong yang asik apalagi duduknya bareng sama orang yang kita sayangi,” tambah Dimas yang membuatku seketika diam. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk aku jujur padanya.
Aku pun menatap mata Dimas.
“Hmm.. Dim, gue…” kataku ragu. Aku sungguh tak ingin menyakitinya. Haruskah aku yang melakukannya?